Sumber yang paling autentik bagi dunia pasca Muhammad untuk mengerti isi pesan-pesan kenabiannya adalah Al-Qur’an. Bagi sejarawan revisionis Fred Donner, Al-Qur’an sangat autentik karena ia terdokumentasi pada periode yang sama dengan kehidupan Muhammad, dan bersih dari fantasi dan legenda-legenda.
Kitab suci ini termasuk yang paling beruntung. Ia dirawat sedemikian rupa justru pada masa ketika budaya literasi dan dokumentasi belum benar-benar ada di lingkungannya. Kaum Muslim awal mengerti bahwa hampir pasti tidak akan ada lagi tokoh secerdas dan sehebat Muhammad, dan tidak akan ada lagi karya tulis seindah dan sekuat Al-Qur’an. Kesadaran ini membuat mereka terdorong untuk membukukan Al-Qur’an.
Semenjak sadar akan pentingnya Al-Qur’an, dan yang lebih penting lagi, sadar akan pentingnya dorongan Al-Qur’an kepada mereka untuk membangun peradaban humanis berbasiskan pengetahuan, kaum Muslim secara pasti memulai produksi karya-karya ilmiahnya. Al-Qur’an membuat mereka menciptakan nahwu, sharaf, balaghah, fiqih, ushul fiqih, manthiq, kalam, falsafah, hingga tasawuf.
Karena alasan autentisitas dan orisinalitas Al-Qur’an tersebut, maka sudah sewajarnya apabila kitab ini dijadikan sebagai arena utama penggalian makna Kemahakuasaan Tuhan dan kebebasan manusia, yang dibawa oleh Islam.
Konsep-konsep religius Islam seperti Kemahakuasaan Tuhan, Takdir Tuhan, dan kebebasan manusia berada dalam paket pandangan-dunia Al-Qur’an. Harus diakui bahwa kitab suci ini membawa sebuah pandangan-dunia yang unik. Dan keunikannya tersebut baru bisa dipahami dengan cara membuat ia berbicara kepada kita secara apa adanya.
Akan tetapi, di luar perkiraan kita yang mengira bahwa proses pembacaan ini pasti mudah dilakukan oleh semua Muslim, pada faktanya, yang sering terjadi adalah pembacaan ideologis.
Alih-alih berdialog dengan Al-Qur’an untuk mendengarkan apa yang ia sampaikan, para fuqaha, mutakallimun, atau falasifah klasik sering menafsirkan Al-Qur’an supaya mengikuti minat pandangan teologis, filosofis, atau lebih buruk lagi, politik mereka.
Inilah alasannya mengapa sarjana seperti Toshihiko Izutsu dan Fazlur Rahman memberi saran untuk tidak mendistorsi pesan-pesan religius Al-Qur’an dengan tendensi teologis dan ideologis dari fuqaha, mutakallimun, atau falasifah pada era post-Quranic. Dalam God and Man in the Quran, begini kata Izutsu:
“For the purpose of isolating the fundamental conceptual framework of the Quran as a whole, the first requirement is that we should try to read the Quran without any preconception. We must, in other words, try not to read into it thoughts that have been developed and elaborated by the Muslim thinkers of the post-Qu’anic ages in their effort to understand and interpret their Sacred Book each according to his particular position. We must try to grasp the structure of the Qu’anic world conception in its original form, that is, as it, was read and understood by the Prophet’s contemporaries and his immediate followers. Strictly speaking, this must always remain an unattainable ideal, and yet at least we should do our best to approach this ideal even a step nearer.”
Oleh karena itu, adalah penting bagi kita untuk membuka Al-Qur’an “selebar” mungkin, dengan membacanya sebagaimana ia hendak menyampaikan pesan-pesannya sendiri kepada lawan bicara yang ia respons secara langsung pada waktu kitab suci ini diwahyukan.
Akan tetapi, pada kenyataannya, setelah ia dibukukan, Al-Qur’an praktis hanya menuliskan jawaban dan responsnya, sementara mukhathab dan situasi yang direspons olehnya secara langsung tidak lagi tercatat. Tidak lagi tercatat secara total dalam Al-Qur’an, tentu saja; tetapi, ia masih tercatat dalam sejarah Arab Jahiliah dan khususnya dalam syair-syair Jahiliah.
Inilah maksud dari membuka Al-Qur’an “selebar” mungkin, dan maksud dari pembacaan kontekstual non-reduksionis yang saya kemukakan di bagian pengantar.
Dengan mengerti terlebih dahulu masyarakat seperti apa yang Al-Qur’an respons, maka selanjutnya kita bisa mengerti mengapa Al-Qur’an mengatakan kepada mereka bahwa, misalnya, manusia adalah khalifah Tuhan, manusia dikaruniai ilmu dan kebebasan, dan Tuhan adalah yang paling berkuasa untuk menentukan segala sesuatu.
Jelas bagi siapa pun yang mampu membaca dan mengerti Al-Qur’an bahwa kitab suci ini berisi keterangan-keterangan mengenai “Kemahakuasaan Tuhan” atau mengenai “keabsolutan takdir Tuhan”. Akan tetapi, apakah yang kita pahami dari Kemahakuasaan Tuhan itu sama dengan yang ingin Al-Qur’an sampaikan mengenainya?
Menurut Fazlur Rahman, mutakallimun dan falasifah sering melompati makna sebenarnya dari pesan Al-Qur’an mengenai, misalnya, kemutlakan Kekuasaan Tuhan atau kebebasan manusia.
Alasannya, sebab Al-Qur’an tidak dibaca sebagaimana ia berbicara pada lawan bicaranya, melainkan ia justru dibaca berdasarkan hasrat kita sendiri supaya ia sesuai dengan minat ideologis, teologis, atau filosofis yang partikular dan seringkali sektarian.
Menurut Rahman, pembacaan ideologis atas Al-Qur’an adalah sebuah tindak kekerasan atas kitab suci tersebut. Dalam Major Themes of the Quran, begini kata Rahman:
“If this kind of analysis shows anything, it is that the Quran must be so studied that its concrete unity will emerge in its fullness, and that to select certain verses from the Quran to project a partial and subjective point of view may satisfy the subjective observer but it necessarily does violence to the Quran itself and results in extremely dangerous abstractions. It is notorious how frequently Muslims themselves, let alone Westerners, have mutilated the Quran by projecting their own points of view or that of their “schools” of thought; except that with so many Westerners both unconscious prejudice and deliberate distortion have played roles, as well as the study of verses of the Quran in abstract isolation. The Quran, as the Word of God, is as concrete as the Command or the Law of God—indeed, as God Himself—and represents the depth and breadth of life itself; it will refuse to be straight-jacketed by intellectual and cultural bias.”
Berbeda dengan reduksi dan distorsi ideologis yang lumrah terjadi bahkan hingga zaman kita sekarang, dalam tulisan ini saya berusaha menyajikan pandangan Islam mengenai kebebasan kehendak manusia sebagaimana ia dipromosikan oleh Al-Qur’an ketika menghadapi fatalisme dan fanatisisme dunia Arab Jahiliah yang berusaha diubahnya.
Akibat dari metodologi khas yang dipilih ini, maka kita akan membebaskan diri terlebih dahulu dari prakonsepsi-prakonsepsi teologis, seperti misalnya dari Asy’ariyah dan ahlul hadits yang mendakwa—setelah melalui proses rasionalisasi yang rumit—bahwa tidak ada yang benar-benar namanya kehendak bebas manusia, sebab kehendak Tuhan adalah mutlak, dan bahkan semua perbuatan manusia adalah ciptaan Tuhan, dan bahwa sekali pun mempunyai peran dalam kasb, namun yang efektif dalam perwujudan perbuatan manusia adalah tetap saja kehendak Tuhan, bukan kehendak manusia.