Khidir dalam Pandangan Syekh Muhammad Nawawī al-Jāwī
Salah satu dasar keyakinan dalam Islam adalah percaya (iman) kepada para rasul. Allah mengutus mereka untuk menyampaikan ajaran-ajaran-Nya kepada manusia. Mereka merupakan hamba Allah yang paling utama dan memiliki empat sifat utama, yaitu aṣ–ṣidq (jujur), al-amānah (terpercaya dan terpelihara dari perkara haram dan makruh secara lahir dan batin), at-tablīg (menyampaikan ajaran-ajaran yang telah diwahyukan oleh Allah kepada manusia), dan al-faṭānah (cerdas dan cakap). Keempat sifat tersebut merupakan perkara yang wajib bagi mereka (Muhammad Nawawī al-Jāwī, Nūr aẓ–Ẓalām, hlm. 11 & Kāsyifah as-Sajā, hlm. 11).
Di sisi lain, Allah juga mengangkat hamba-hamba-Nya yang dikehendaki menjadi nabi. Mereka hanya memiliki tiga sifat utama, yaitu aṣ–ṣidq, al-amānah, dan al-faṭānah. Mereka tidak memiliki sifat at-tablīg. Sebab, nabi berbeda dengan rasul. Nabi adalah orang yang menerima wahyu dari Allah, tetapi tidak diperintahkan untuk menyampaikan wahyu tersebut kepada manusia. Ia hanya diperintahkan untuk memberitahukan status kenabiannya saja kepada manusia agar dihormati dan dimuliakan. Adapun rasul adalah orang yang menerima wahyu dari Allah dan diperintahkan untuk menyampaikan wahyu tersebut kepada manusia (Muhammad Nawawī al-Jāwī, Qaṭr al-Gayś fī Syarḥ Masā’il Abī al-Layś, hlm. 7, Nūr aẓ–Ẓalām, hlm. 11 & Kāsyifah as-Sajā, hlm. 11).
Menurut Syekh Nawawī, setiap muslim wajib percaya kepada adanya para nabi dan rasul secara umum, baik yang disebutkan dalam Al-Qur’an maupun tidak. Selain itu, umat Islam juga wajib mengetahui nama-nama 25 rasul yang disebutkan dalam Al-Qur’an. Mereka adalah Adam, Nuh, Idris, Hud, Saleh, Ibrahim, Lut, Ismail, Ishak, Yakub, Yusuf, Ayyub, Syuaib, Harun, Musa, Ilyasak, Zulkifli, Daud, Sulaiman, Ilyas, Yunus, Zakaria, Yahya, Isa, dan Muhammad ṣalawātullāh wa salāmuhū ‘alayhi wa ‘alayhim dā’imān sarmadān (Qaṭr al-Gayś, hlm. 7-8).
Para nabi dan rasul adalah laki-laki dan memiliki jumlah tertentu yang hanya diketahui oleh Allah. Para ulama menyebutkan jumlah mereka (para nabi dan rasul) secara beragam. Ragam jumlah para nabi yang disebutkan oleh para ulama adalah 123.687; 124.000; 125.000; 224.000; 1.200.000; dan 1.424.000. Adapun ragam jumlah para rasul yang disebutkan oleh para ulama adalah 313; 314; dan 315. Perbedaan ini berdasarkan keterangan hadis yang berbeda-beda. Menurut Syekh Nawawī, hadis-hadis yang menyebutkan tentang jumlah para nabi dan rasul merupakan hadis ahad. Dalam hal ini, keterangan dalam hadis ahad yang menyangkut urusan i‘tiqādiyyah (keyakinan) adalah tidak bersifat qaṭ‘ī (pasti), tetapi hanya bersifat ẓannī (dugaan) saja. Sebab, urusan i‘tiqādiyyah harus didasarkan kepada dalil-dalil yang bersifat qaṭ‘ī. Bahkan jika keterangan hadis-hadis yang menjelaskan tentang jumlah para nabi dan rasul itu diamalkan secara tekstual (lahiriah), maka ia akan bertentangan firman Allah “dan di antara mereka ada (pula) yang tidak Kami ceritakan kepadamu (Gāfir [40]: 78).” (Kāsyifah as-Sajā, hlm. 11, aś-Śimār al-Yāni‘ah fī ar-Riyāḍ al-Badī‘ah, hlm. 10-11, Qaṭr al-Gayś, hlm. 7, Fatḥ al-Majīd fī asy-Syarḥ ad-Durr al-Farīd, hlm. 45, dan Bahjah al-Wasā’il bi Syarḥ al-Wasā’il, hlm. 8)
Oleh karena itu, Syekh Nawawī berpendapat bahwa sebaiknya tidak membatasi para nabi dan rasul (yang hanya diketahui oleh Allah) dengan jumlah tertentu. Sebab, memberikan jumlah tertentu kepada para nabi dan rasul akan menyebabkan dua hal. Pertama, memasukkan orang yang bukan nabi atau rasul sebagai nabi atau rasul. Kedua, tidak memasukkan (meniadakan) orang yang diangkat menjadi nabi atau rasul sebagai nabi atau rasul (Fatḥ al-Majīd, hlm. 45 & Qaṭr al-Gayś, hlm. 7). Contohnya, jika kita menganggap jumlah nabi adalah 124.000, tetapi ternyata jumlah nabi adalah 125.000, maka berarti kita telah meniadakan 1000 nabi. Sebaliknya, jika ternyata jumlah nabi adalah 123.687, maka kita telah memasukkan 313 orang yang bukan nabi sebagai nabi. Begitu juga dengan rasul.
Di sisi lain, para ulama juga berbeda pendapat mengenai kenabian Khidir (tokoh-tokoh lain yang masih diperselisihkan kenabiannya adalah Iskandar Żūlqarnayn, ‘Uzayr, Luqmān, dan Khālid bin Sinān). Pendapat pertama mengatakan bahwa Khidir adalah seorang wali. Pendapat kedua mengatakan bahwa Khidir adalah seorang nabi. Pendapat ketiga mengatakan bahwa Khidir adalah seorang rasul (Qaṭr al-Gayś, hlm. 8, Bahjah al-Wasā’il, hlm. 8-9, dan Nūr aẓ–Ẓalām, hlm. 5).
Syekh Nawawī sendiri lebih setuju dengan pendapat kedua, yaitu Khidir adalah seorang nabi. Khidir adalah keturunan Nabi Nuh as. Ia merupakan putra seorang raja yang zuhud dan meninggalkan gerlap dunia. Khidir memiliki nama asli Balyā, kunyah-nya adalah Abū al-‘Abbās, laqab-nya adalah Khidir, dan nama bapaknya adalah Malkān. Menurut sebagian ahli makrifat, barang siapa yang mengetahui nama asli Khidir, kunyah-nya, laqab-nya, dan nama bapaknya, maka ia akan masuk surga, yaitu Khidir Abū al-‘Abbās Balyā bin Malkān (Marāḥ Labīd li Kasyfi Ma‘nā Qur’ān Majīd, I: 503 & Nūr aẓ–Ẓalām, hlm. 6). Penulis pernah diajari bertabaruk kepada Nabi Khidir as. oleh bapak penulis ketika hendak belajar di Pondok Pesantren Darul Ulum Banyuanyar. Caranya adalah membaca Al-Fatihah untuk Nabi Khidir as. sebanyak tiga kali setiap hari. Pertama, bi mu‘jizati nabiyyinā khiḍir abū al-‘abbās balyā bin malkān alayhi as-salām al-fātiḥah. Kedua, bi barakati nabiyyinā khiḍir abū al-‘abbās balyā bin malkān alayhi as-salām al-fātiḥah. Ketiga, ilā rūḥi nabiyyinā khiḍir abū al-‘abbās balyā bin malkān alayhi as-salām al-fātiḥah.
Kata “الخضر” biasa dibaca al-Khaḍir, tetapi ia juga bisa dibaca al-Khiḍr dan al-Khaḍr. Makna al-Khaḍir secara harfiah adalah “yang hijau”. Khidir―yang memiliki nama asli Balyā―dijuluki Khidir karena ia pernah duduk di sebuah tanah tandus, lalu tiba-tiba tanah itu bergetar dan menumbuhkan rerumputan dari belakang tubuhnya sehingga tanah itu tampak hijau. Keajaiban ini merupakan salah satu mukjizat yang dimiliki oleh Khidir. Khidir pernah meminum mā’u al-ḥāyah (air kehidupan) sehingga masih hidup sampai sekarang, bahkan akan hidup sampai hari kiamat (nabi lain yang masih hidup sampai sekarang adalah Idris, Ilyas, dan Isa). Ia akan meninggal ketika Al-Qur’an sudah dilenyapkan oleh Allah dari muka bumi (Nūr aẓ–Ẓalām, hlm. 5-6 & 14, Marāḥ Labīd, hlm. 503, dan Ahmad Warson Munawwir, Al Munawwir: Kamus Arab – Indonesia, 1997: 346). Lenyapnya Al-Qur’an dan ilmu-ilmu yang bermanfaat (baik dari tulisan maupun hafalan) serta kembalinya penduduk bumi kepada kekafiran merupakan salah satu tanda kiamat yang besar (Muhammad Amin al-Kurdī, Tanwīr al-Qulūb fī Mu‘āmalah ‘Allām al-Guyūb, hlm. 62 & 65).
Khidir tidak hanya memiliki umur yang sangat panjang, tetapi juga memiliki pengetahuan yang mendalam dan komprehensif tentang syariat dan hakikat. Allah menunjukkan kedalaman ilmu hakikat yang dimiliki oleh Khidir, baik kepada Nabi Musa as. secara khusus maupun kepada umat manusia secara umum, dalam surat Al-Kahfi (18): 65-82. Dalam hal ini, Nabi Musa as.―yang bergelar kalīmullāh (orang yang bisa berbicara langsung dengan Allah)―merasa bahwa tidak ada satu pun orang yang lebih pandai darinya di muka bumi ini. Namun, Allah langsung menepis perasaan Nabi Musa as. tersebut sembari memperkenalkan nama Khidir. Dia menyebutkan bahwa Khidir lebih unggul daripada Nabi Musa as., baik dari segi ibadah maupun dari segi pengetahuan (Qaṭr al-Gayś, hlm. 8 & Marāḥ Labīd, hlm. 502).
Khidir memiliki ilmu hakikat yang diberikan langsung oleh Allah (ilmu laduni), sedangkan Nabi Musa as. hanya memiliki ilmu syariat saja. Makanya, ketika Nabi Musa as. berguru kepada Khidir selalu memprotes tindakan-tindakan gurunya―yang secara nyata bertentangan dengan ilmu syariat―tersebut. Sebab, beliau waktu itu belum mengetahui hikmah dari tindakan-tindakan gurunya tersebut. Beliau baru mengetahui semua hikmah dari tindakan-tindakan gurunya itu ketika hendak berpisah. Dalam hal ini, Khidir menjelaskan semua hikmah yang terkandung dalam tindakan-tindakannya itu satu per satu sebagaimana termaktub indah dalam surat Al-Kahfi (18): 78-82 (Marāḥ Labīd, hlm. 503-506).
Sebelum pergi, Nabi Musa as. meminta wasiat khusus kepada gurunya, Khidir. Maka, Khidir pun memberikan beberapa wasiat. Pertama, “Janganlah engkau menuntut ilmu hanya untuk diceritakan kepada orang lain, tetapi tuntutlah ilmu untuk engkau amalkan.” Kedua, “Jadilah engkau orang yang murah senyum, dan janganlah engkau menjadi orang yang suka tertawa. Tinggalkanlah sikap keras kepala, dan janganlah engkau pergi jika tidak memiliki keperluan. Janganlah engkau merasa risau dengan dosa-dosa orang lain, tetapi tangisilah dosa-dosamu sendiri, wahai putra ‘Imrān.” (Marāḥ Labīd, hlm. 506)
Khidir biasa bertemu dengan Nabi Ilyas as. di Makkah setiap tahun sekali pada musim haji. Mereka hanya meminum seteguk air zamzam dan memakan selembar daun seledri setiap tahun sekali. Khidir memiliki tugas untuk menjaga lautan, dan Ilyas memiliki tugas untuk menjaga daratan (Qaṭr al-Gayś, hlm. 8). Ketika mereka hendak berpisah, maka mereka mengucapkan kalimat “bismillāh māsyāallāh lā quwwata illā billāh. Māsyāallāh kullu ni‘matin minallāh. Māsyāallāh al-khayru kulluhū bi yadillāh. Māsyāallāh lā yaṣrifus sū’a illallāh” (dengan menyebut nama Allah, masyaallah, tiada kekuatan, kecuali dari Allah. Masyaallah, semua kenikmatan adalah dari Allah. Masyaallah, semua kebaikan berada di dalam kekuasaan Allah. Masyaallah, tidak ada satu pun yang bisa menghilangkan keburukan selain Allah). Menurut Imam al-Gazālī, barang siapa yang membaca kalimat tersebut sebanyak tiga kali di waktu pagi, maka insyaallah ia akan selamat dari kebakaran, tenggelam, dan kemalingan (Iḥyā’ ‘Ulūm ad-Dīn, I: 358).
Penulis pernah diajari bapak penulis untuk memanggil salam kepada Nabi Khidir as. ketika berada di laut (assalāmu ‘alaykum yā nabī khiḍir abūl ‘abbās balyā bin malkān alayhis salām) dan memanggil salam kepada Nabi Ilyas as. ketika berada di hutan (assalāmu ‘alaykum yā nabī ilyās alayhis salām). Tujuannya adalah agar diberi keselamatan oleh Allah ketika berada di laut atau di hutan. Menurut Syekh Nawawī, Khidir, Ilyas, dan Isa tergolong sahabat Nabi Muhammad saw. Hal ini menandakan bahwa mereka pernah bertemu dengan Nabi Muhammad saw. sewaktu beliau masih hidup dalam keadaan sudah menjadi rasul. Sebab, definisi sahabat adalah seorang mukmin yang pernah bertemu atau melihat atau dilihat oleh Nabi Muhammad saw. sewaktu beliau masih hidup dalam keadaan sudah menjadi rasul. Ketika Nabi Muhammad saw. diutus menjadi rasul, maka Khidir beribadah kepada Allah sesuai dengan syariat yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. (Nūr aẓ–Ẓalām, hlm. 5-6). Wallāhu A‘lam wa A‘lā wa Aḥkam…