Seingat saya, sudah sejak lebih dari 4 dekade yang lalu, saya tertarik kepada filsafat sains dan hubungannya dengan agama—belum lagi spiritualitas, pada waktu itu. Saat itu saya masih mahasiswa relatif baru di ITB. Saya membaca tentang paradigm shift (pergeseran paradigma) ala Thomas Kuhn. Lalu terbawa ke dalam diskusi tentang shift (pergeseran) seperti itu, dari fisika Newtonian ke Fisika Kuantum. Maklum, pergeseran itu mempunyai dampak langsung terhadap, khususnya, epistemologi sains.
Minat itu sebenarnya tak pernah betul-betul putus dalam diri saya. Selalu ada saat, di sepanjang waktu dalam hidup saya, untuk menyentuh lagi diskusi tentang fisika kuantum. Sampai akhirnya, belakangan saya lebih tersedot kepada wacana spiritualitas. Maklum, belakangan, memang, malah studi akademis saya berkisar di antara filsafat Islam dan tasawuf—yakni, spiritualitas Islam itu.
Justru, kali ini, daya tarik fisika kuantum makin kuat lagi pada diri saya. Apalagi, setelah sejak sekitar sepuluhtahunan ini saya tertarik untuk mengikuti minat saya kepada psikologi. Tepatnya, Psikologi transpersonal, yang tak lain adalah semacam psikologi yang melibatkan spiritualitas juga. Klop sudah. Spiritualitas dan psikologi transpersonal ketemu fisika kuantum. Jadilah, diskusi fisika kuantum yang sebelumnya hilang-timbul sepanjang hidup saya, kini lebih lestari saya geluti.
Seingat saya, ketika masih mahasiswa di ITB, saya juga sempat diajar tentang mekanika kuantum—semacam versi matematis fisika atau teori kuantum. Tapi waktu itu saya tak pernah-benar serius mempelajarinya, karena memang saya tak begitu telaten belajar matematika, dan tak tahu juga apa gunanya belajar matematika/mekanika kuantum. Alhasil, boleh dibilang tak ada lagi sisa penguasaan saya atas aspek matematis fisika kuantum ini. Yang selalu tak pernah hilang dari diri saya tentang hal ini, adalah relasi teori fisika kuantum dengan filsafat (ilmu) dan spiritualitas.
Bukan kebetulan juga tampaknya, bahwa minat saya di bidang filsafat atau tasawuf adalah pada aliran tasawuf filosofis yang biasa disebut sebagai ‘irfan, atau hikmah. Di antara banyak yang lain, aliran ini melibatkan paham kesatuan wujud (wahdah al-wujud atau tauhid al-wujud). Sebutlah, dengan sedikit simplifikasi, paham panteisme.
Sebetulnya minat saya ini sudah bersemi sejak masa saya masih mahasiswa ITB itu. Saya waktu itu menenggelamkan diri—betapa pun dengan kemampuan terbatas untuk memahaminya—ke dalam karya Muhammad Iqbal, yang berjudul Reconstruction of Religious Thought in Islam. Bukan saja pemikiran filosofis cendekiawan anak benua India ini banyak dipengaruhi oleh pemikiran ‘irfan dan Filsafat Hikmah, Iqbal juga banyak melibatkan teori-teori fisika (matematis) dalam pemikiran Islamnya. Termasuk fisika kuantum.
Saya ingat, di antara pemikiran Iqbal dalam bukunya yang satu ini, yang selalu saya ingat, adalah kritiknya terhadap Imam al-Ghazali, yang mempertentangkan akal (rasional) dengan intuisi—yakni daya-daya suprarasional di balik akal rasional, termasuk di dalamnya imajinasi dan spiritualitas. Iqbal berargumentasi bahwa alih-alih berlawanan kesemua daya itu sebenarnya menyusun suatu kontinum yang integral. Bukan diskret. Kalau ada perbedaan di antara daya-daya itu maka, menurutnya, itu “hanyalah” persoalan martabat/hirarkis. Yang satu lebih rendah dari yang lain. Yakni, akal (rasional) merupakan prekursor bagi spiritualitas. Bahkan keduanya membawa kepada kebenaran yang sama— meski spiritualitas lebih dekat kepada pemahaman yang lebih hakiki—yakni kepada hakikat segala sesuatu. Inilah yang, setelah saya makin memahami fisika kuantum, menjadikan saya lebih bergairah lagi mempelajari paradigma pasca-Newtonian ini (Bersambung)