THARIQAH ‘ALAWIYAH DAN TASAWUF FILOSOFIS (‘IRFAN)

Thariqah ‘Alawiyah kadang disebut sebagai thariqah khafifah (ringan), karena lebih berorientasi pada riyadhah berupa amalan-amalan nafilah (sunnah), termasuk pembacaan doa-doa/wirid-wirid harian, tanpa mujahadah (upaya-upaya/praktik-praktik melawan hawa nafsu) yang berat dan menyusahkan. Thariqah ‘Alawiyah bisa juga disebut khafifah terkait dengan orientasinya kepada akhlak praktis, ketimbang kepada aspek filosofis/’irfani tasawuf – sebagaimana diungkapkan khususnya oleh Ibn al-‘Arabi, sebagai tokoh-utamanya, atau al-Hallaj, Bayazid Busthami, dan sebagainya. Bahkan, ada pandangan salah yang menyatakan bahwa Thariqah’ Alawiyah memandang sesat pemikiran-pemikiran model ‘irfan ini. Benarkah demikian?

Salah satu kisah populer yang sering disitir di kalangan sebagian pengikut Thariqah’ Alawiyah adalah sebagai berikut:

Syaikh Bahraq (w. 930 H) mengisahkan bahwa gurunya, Syaikh Abi Bakr al-‘Aydarus, pernah bercerita: “Aku sama sekali tak ingat bahwa ayahku pernah memukul atau menghardikku, kecuali sekali saja saat ia melihat di tanganku ada satu juz dari kitab Al-Futuhat al-Makkiyyah (karya Ibn ‘ al-Arabi). Beliau begitu marah. (Sehingga) sejak saat itu, kucampakkan lah kitab ini.” Tapi, yang lebih jarang dikutip orang adalah sambungan/akhir cerita Habib. Abubakr itu, sebagai berikut:

“Ayah melarangku untuk membaca kitab Al-Futuhat dan Al-Fushush (Fushush al-Hikam), keduanya karangan Ibnu al-‘Arabi, tetapi ayah juga menyuruhku untuk berbaik sangka atas isi kitab tersebut. Dan tentang isi kitab tersebut beliau berkata bahwa kitab-kitab tersebut mengandung hal-hal yang tidak difahami oleh orang-orang yang masih rendah (ilmunya), maka kitab-kitab tersebut hanya untuk dibaca oleh kalangan yang (ilmunya) sudah tinggi”.

Lagipula, jika kita mau sedikit repot meneliti, peristiwa pemukulan tersebut terjadi pada saat umur Habib Abubakar masih belasan tahun, sehingga diduga larangan itu lebih disebabkan karena sang anak masih terlalu muda – dan mungkin juga ilmunya belum cukup – untuk dapat memahami dengan benar kompleksitas dan kedalaman pemikiran Syaikh al-Akbar ini.

Habib Abdullah Haddad, yang dikenal sebagai salah satu perancang (suatu cabang) dalam Thariqah ‘Alawiyah yang disebut Thariqah Ahlil Yamin yang diperuntukkan bagi awam pada umumnya – bahkan amat tegas dalam menempatkan pemikiran Syaikh al-Akbar dalam posisi yang amat mulia. Dalam al-Nafa’ is al-‘Uluwiiyah karya beliau sendiri, beliau menulis demikian:

“Ketahuilah, sangat banyak hal rumit yang ada dalam karangan Syaikh Muhammad bin Ali bin ‘Arabi, terutama pada al-Fushush dan al-Futuhat. Terkadang, ada ucapan yang disisipkan, padahal bukan ucapan beliau. Tetapi terkadang timbul dari beliau sendiri ketika mengalami kondisi spiritual dan kekuatan hakikat yang sedang menguasainya. Sehingga hal itu termasuk ke dalam kategori syathahat (ucapan-ucapan wali ketika dalam kondisi ekstase), dan orang yang sedang dikuasai kondisi spiritual semacam itu ucapannya dimaklumi.

Baca Juga:  Membidik Kebahagiaan

Dan adakalanya Syaikh itu menampakkannya, dan menggambarkan tentang asrar (rahasia-rahasia Ilahi) dan makna-makna yang sulit diuraikan, sehingga kadang-kadang pada alam fisik tampak melenceng dari kebenaran, sedangkan bagi alam ruh dan hakikat merupakan sesuatu yang benar dan lurus. Perkataan Syaikh yang rumit itu insya’ Allah tidak keluar dari salah satu dari tiga makna tadi. Syaikh itu termasuk seorang yang memiliki pijakan yang kuat dalam ilmu, makrifat, takwa, dan zuhud di dunia.

Seseorang yang memiliki rasa takut kepada Allah.  Yang mengetahui keadaan Syaikh seperti yang kami sebutkan itu, tidak boleh menuduhnya menyimpang dari kebenaran. Seperti yang dilakukan oleh sebagian orang yang terlalu berani melakukan sesuatu yang seharusnya tidak mereka lakukan.

Jika Anda membaca perkataan Syaikh tersebut dan Anda mendapati sesuatu yang sulit dipahami, maka terimalah, jangan Anda membahasnya. Juga jangan mencari-cari takwil untuk menguraikan kerumitannya, sehingga Anda hanya akan mendapatkan keletihannya.

Ini yang kami tunjukkan kepada Anda dan kepada semua orang yang membaca kitab Syaikh tersebut. Begitu pula kitab-kitab milik orang-orang yang telah mencapai hakikat, yang mereka tampakkan hakikat itu dalam kitab-kitab mereka. Seseorang yang tidak melaksanakan dan tidak belajar dari uraian kami dikhawatirkan ia akan terjerumus dalam kesalahan besar atau kecil. Semoga Allah menguatkan kita dengan ucapan yang kokoh (qaul tsabit). Menjadikan kita termasuk orang yang mengetahui kebenaran dan memegangnya serta mengetahui kebenaran dan memegangnya, serta mengetahui yang batil kemudian menjauhi dan membuangnya.” 

Selain itu, jika kita baca buku karya Syaikh Abubakr bin Salim, khususnya Mi’raj al-Arwah, kita akan dapati bahwa pemikiran-pemikiran penulis yang ada di buku tersebut sangat mirip dengan pemikiran Ibn al-‘Arabi -bahkan sampai peristilahan-peristilahan/terminologi-terminologi yang beliau pakai – meski beliau tak menyebut nama Ibn al-‘Arabi di dalamnya.

Habib Abdullah bin Muhsin al-Attas, yang biasa dipanggil Kramat Empang Bogor, juga dikenal mengapresiasi ibn Arabi dengan pernyataannya di dalam kalam beliau, kira-kira sebagai berikut: Larangan (membaca kitab-kitab Ibn al-‘Arabi) adalah bagi orang-orang yang tidak mendalaminya. Tapi bagi yang mendalaminya, dan memiliki niat yang ikhlas dalam mendapatkan manfaat darinya, tak mendapatkan selain  manfaat berlimpah yang bisa dihirupnya. Bahkan awam pun akan bisa menikmati buahnya berupa kebijaksanaan-kenijaksanaan untuk mengenali diri, dan kepemilikam akhlak mulia sebagai dampaknya.

Bahkan, beliau juga diriwayatkan membaca buku al-Insan al-Kamil, yang berada dalam mazhab pemikiran Ibn al-‘Arabi, bersama murid beliau, Habib Alwi bin Muhammad al-Haddad.

Baca Juga:  ASPEK ROHANI RASULULLAH SAW DALAM BACAAN MAULID SIMTHUD DURAR KARYA HABIB ALI BIN MUHAMMAD AL-HABSYI (Bagian 1)

Habib Abdurrahman bin Abdillah Bilfaqih, salah seorang murid utama Habib Abdullah Haddad, dalam risalahnya tentang Ihsan bahkan berusaha menjelaskan/memaklumkan kenapa sampai al-Hallaj mengeluarkan pernyataan “Anal Haqq” yang amat kontroversial itu (Sebenarnya ini tidak aneh. Karena, bahkan Imam Ghazali sendiri – yang amat dihormati di kalangan Thariqah ‘ Alawiyah, mengakui kebenaran ujaran al-Hallaj ini dalam Ihya’. Kalau pun ada kritik beliau, maka itu adalah lebih kepada ketidaksetujuan beliau kepada ketidakseyogyaan pengungkapan rahasia Ilahi ini di hadapan orang banyak). Pikiran-pikiran wujudi Habib Abdurrahman ini, menurut saya, juga implisit dalam kumpulan syair-syair beliau yang berjudul ar-Rashafat. Bahkan, pembaca yang teliti tak akan gagal melihat adanya jejak-jejak tasawuf wujudi dalam pemikiran Habib Abdullah bin Abu Bakar Alaydrus dalam bukunya yang berjudul al-Kibrit al-Ahmar. Saya menduga bahwa ungkapan “terbukanya gerbang laa ilaaha illal-laah” yang dirujuknya sebagai puncak pengalaman kesufian, sesungguhnya beliau maknai sebagai kesadaran akan Allah sebagai satu-satunya wujud, sebagaimana diyakini oleh tawhid wujudi (wahdatul wujud). Demikian pula, mudah-mudahan saya tak terlalu gegabah, pengaruh tawhid wujudi ‘irfani ini bukannya sama sekali absen dalam pemikiran Habib ‘Ali al-Habsyi sebagaimana tersirat dalam Simthud-Durar.

Di luar itu semua, perlu diingat bahwa, menurut sejarah hagiografis di kalangan kaum ‘Alawiyin sendiri, sesungguhnya Al-Faqih al-Muqaddam Muhammad bin Ali- sebagai pengasas tasawuf di kalangan’ Alawiyin – sesungguhnya adalah sesama penerus Syaikh Abu Madyan al-Maghribi bersama Ibn al-‘Arabi. Ibn al-‘Arabi biasa menyebut Abu Madyan sebagai Syaikh al-Syuyukh, sedang al-Faqih dikisahkan mendapatkan khirqah dari tokoh sufi besar ini. Bukan tak ada juga kisah terkait al-Faqih yang menggambarkan fahamnya yang mirip dengan ujaran anal-Haqq al-Hallaj (meski tak semua tokoh habaib menerima kebenaran kisah ini). Yakni, dikisahkan bahwa suatu saat al-Faqih bermaksud membeli semacam sayuran dari seorang Badui penjual sayur yang lewat di hadapannya. Tapi si Badui menolak. Ketika para sahabat al-Faqih kesal dan bertanya:”Tahukah kau siapa orang ini?” dan si Badui merespon sinis dengan menukas: “Emangnya siapa dia? Allah???”, maka mendengar ini al-Faqih diriwayatkan berseru : “Ya, saya Allah!”, lalu jatuh pingsan. (Secara sambil lalu saja saya jelaskan bahwa pernyataan” Saya al-Haqq” atau “Saya Allah” bukanlah bermakna kesombongan, menganggap diri sebagai Tuhan. Malah, sebaliknya dari itu. Si pengujar sesungguhnya ingin menihilkan dirinya sendiri dengan menyatakan bahwa yg ada hanya Allah. Tak ada yang selain Allah. Al-Hallaj pada hakikatnya tiada, al-Faqih tiada. Karena, mengakui bahwa diri kita ada, di samping Allah Swt, justru dapat bermakna kesombongan,. Yakni, seolah kita sebagai manusia yang faqir ini, mumkinul wujud ini, bisa bersanding –sama-sama ada— bersama Allah sebagai wajibul wujud).

Baca Juga:  Angka Tujuh Angka Istimewa Bagi Agama, Tradisi dan Kepercayaan

Belum lagi jika kita ketahui betapa para tokoh ‘Alawiyin amat menyukai pemikiran’ irfani wujudi ibnul Farid, yang qasidah-qasidahnya sering mereka baca di majelis-majelis mereka. Dan masih ada indikasi-indikasi lainnya tentang apresiasi Thariqah ‘Alawiyah terhadap’ irfan.

Kekeliruan pernyataan bahwa Habib Abdullah Haddad menganggap pemikiran ‘irfan, Ibn al-‘ Arabi, al-Hallaj, dan sebagainya, sebagai menyimpang dari ajaran Islam sayangnya sudah telanjur menyebar dari generasi ke generasi. Salah satunya bersumber dari buku babon sejarah Hadhramawt, Adwaar at-Taarikh al-Hadhrami” karya Ahmad bin Muhammad bin Umar Asy-Syaathiri. Sayang buku tersebut tidak merujuk sumber – khususnya dari pernyataan Habib Abdullah Haddad sendiri –terkait sikap beliau kepada pikiran-pikiran ‘irfani (tasawuf filosofis) tersebut. Dikatakan di sana bahwa Habib Abdullah Haddad kritis terhadap pemikiran para’ arif tersebut. Kalau pun kita terima pernyataan ini— meski nyatanya, seperti saya kutip dalam sebelumnya, Habib Abdullah justru membela posisi Ibn al-‘Arabi dalam hal ini – tak ada ungkapan bahwa Habib Abdullah Haddad menganggap salah apalagi sesat pemikiran Ibn al-‘Arabi.

Dalam Adwaar pun dikatakan bahwa beliau kritis terhadap pemikiran para’ urafa’ yang menyebal dari zhahir syariah. Ada kata “zhahir” di situ. Dan dalam hal ini jelas-jelas Habib Abdullah Haddad mengatakan bahwa, meski bisa tampak melenceng dalam ukuran alam fisik, sesungguhnya pernyataan tersebut benar dan lurus secara ruhani dan hakikat.

Dalam bagian lain Nafais malah Habib Abdullah Haddad menganjurkan awam membaca karya Ibn al-‘Arabi berjudul Risalah Ruhul Quds fi Muhasabah al-Nafs. Dalam bukunya yang lain, berjudul Tatsbitul Fuad, disebutkan bahwa Habib Abdullah Haddad pernah membaca karya lain Ibn al-‘Arabi berjudul Risalah Qurbah bersama Yusuf al-Jawi (kemungkinan besar yang dimaksud adalah Syaikh Yusuf Makassari). Kesemuanya ini, sebaliknya dari menunjukkan penentangan beliau terhadap Ibn al-‘Arabi, justru menampilkan pembelaan dan pembenaran atas pemikiran-pemikiran ibn Arabi tersebut.

Demikianlah, apa yang saya tulis secara ringkas di atas sesungguhnya barulah potongan-potongan kecil, yang bisa jadi tidak akurat. Tapi, saya pikir, hal ini kiranya perlu mendapatkan perhatian para peneliti yang lebih ahli, karena akan bisa melengkapkan pandangan kita tentang Thariqah ‘Alawiyah. Semoga.

Wal’ afu minkum atas kelancangan saya membahas masalh besar ini dengan keterbatasan pengetahuan saya. WalLaah a’lam bish-shawab

0 Shares:
You May Also Like