Ramadan: Madrasah Spiritual Orang-Orang Beriman (Bagian 1)

Ramadan merupakan anugerah agung yang diberikan Allah kepada umat manusia. Sebab, Allah menurunkan kitab-kitab suci yang menjadi petunjuk bagi manusia pada bulan Ramadan, seperti suhuf Nabi Ibrahim as., Taurat, Zabur, Injil, dan Al-Qur’an. Allah memuji bulan Ramadan di antara bulan-bulan yang lain, dan Dia memilih Ramadan sebagai bulan turunnya Al-Qur’an dan kitab-kitab suci lainnya. Diturunkannya Al-Qur’an pada bulan Ramadan ini disebutkan dalam al-Baqarah (2): 185, yaitu: “Bulan Ramadan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan Al-Qur’an, sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang benar dan yang batil)” (Imam Ibnu Kaśîr, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Aîm, 2000: 238).

Selain itu, Allah menganugerahkan ibadah agung berupa puasa pada bulan Ramadan untuk orang-orang yang beriman. Ramadan dipilih sebagai tempat untuk melaksanakan kewajiban puasa karena pada waktu itu Allah menurunkan Al-Qur’an. Mengapa waktu turunnya Al-Qur’an dipilih menjadi waktu untuk melaksanakan kewajiban puasa? Sebab, Al-Qur’an adalah kitab petunjuk bagi sekalian umat manusia menuju jalan yang lurus, membebaskan mereka dari huru-hara kegelapan, penjelas atas ajaran para nabi sebelumnya, pemisah antara hak dan batil, serta pemisah antara perkara halal dan perkara haram. Dengan demikian, kewajiban puasa bagi orang-orang beriman ini sangat tepat dilaksanakan pada bulan Ramadan, yang merupakan bulan turunnya Al-Qur’an. Sebab, mereka menjadikan Al-Qur’an sebagai pedoman hidup (Buya Hamka, Tafsir al-Azhar, Jilid 1: 424).

Menurut Habib M. Quraish Shihab, diturunkannya Al-Qur’an pada bulan Ramadan juga mengisyaratkan bahwa umat Islam sangat dianjurkan untuk membaca dan mempelajari serta mengkaji Al-Qur’an selama bulan Ramadan. Setiap Muslim yang mempelajari Al-Qur’an pada bulan Ramadan itu diharapkan mendapatkan petunjuk dan memahami serta mengamalkan isinya. Sebab, Muslim yang membaca Al-Qur’an tersebut telah menyiapkan jiwanya untuk menerima petunjuk-petunjuk Ilahi, sehingga pikiran dan hatinya menjadi cerah dan jernih. Dengan demikian, dia akan mendapatkan kemampuan untuk membedakan perkara yang hak dengan perkara yang batil (Tafsir al-Misbah, Volume 1, 2002: 404).

Baca Juga:  Islam: Antara Universalitas dan Partikularitas

Dari Lauhul Mahfuz ke Baitul ‘Izzah

Disebutkan bahwa malaikat Jibril menerima Al-Qur’an di Lauhul Mahfuz dan membawanya ke Baitul ‘Izzah yang ada di langit dunia secara sekaligus dalam jumlah yang utuh pada malam Lailatul Qadar tanggal 24 Ramadan. Malaikat Jibril mendiktekan Al-Qur’an itu kepada para malaikat tukang tulis, dan mereka pun langsung menulis Al-Qur’an itu dalam lembaran-lembaran (suhuf) secara utuh sesuai urutan (dari al-Fâtiḥah sampai an-Nâs), sebagaimana bisa dilihat dalam mushaf Utsmani sekarang. Suhuf-suhuf itu lalu disimpan di Baitul ‘Izzah yang ada di langit dunia. Setelah itu, malaikat Jibril menurunkan Al-Qur’an kepada Nabi Muhammad saw. secara berangsur-angsur sesuai kebutuhan dan realitas yang dihadapi selama 23 tahun (Syekh Ahmad aṣ-Ṣâwî, âsyiyah al-‘Allâmah aâwî ‘alâ Tafsîr al-Jalâlain, Juz 1: 83)

Hikmah diturunkannya Al-Qur’an secara terpisah dan berangsur-angsur ini adalah: pertama, untuk mengukuhkan hati Nabi Muhammad saw. dengan Al-Qur’an; kedua, untuk memperbarui (up date) hujah dan argumentasi terhadap orang-orang yang menentang Nabi Muhammad saw.; dan ketiga, untuk menambahkan keimanan terhadap orang-orang beriman. Ketiga hal ini disebutkan dalam Al-Qur’an, seperti al-Furqân (25): 32, al-Anfâl (8): 2, dan al-Isrâ’ (17): 106.

Al-Qur’an sendiri memiliki 30 juz, 114 surat, 6.616 ayat, 77.934 kalimat, dan 33.3671 huruf. Imam Hasan al-Baṣrî menyebutkan bahwa Allah menurunkan 104 kitab. Seluruh pengetahuan dalam 104 kitab itu disimpan dalam 4 kitab, yaitu Taurat, Zabur, Injil, dan Al-Qur’an. Seluruh pengetahuan dalam Taurat, Zabur, dan Injil disimpan dalam Al-Qur’an disertai tambahan pengetahuan-pengetahuan lain yang tidak terbatas (Sayyid Muhammad ‘Alawî al-Mâlikî, Jalâ’ al-Afhâm Syar ‘Aqîdah al-‘Awâm, 2004: 66 dan Syekh Muhammad Nawawî al-Jâwî, Nûr aalam, 1996: 90).

Menurut Habib ‘Aidrus al-Habsy, Allah mengajari Nabi Muhammad saw. Al-Qur’an pertama kali secara langsung tanpa perantara malaikat Jibril. Setelah itu, Allah mengajarinya Al-Qur’an dengan perantara malaikat Jibril secara berangsur-angsur. Pendapat ini dipahami dari Al-Qur’an, yaitu: “Dan sesungguhnya kamu benar-benar diberi Al-Qur’an dari sisi (Allah) Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui” (an-Naml [27]: 6) dan “Kami akan membacakan (Al-Qur’an) kepadamu (Muhammad), maka kamu tidak akan lupa” (al-A‘lâ [87]: 6) (Habib Zain bin Smith, Fawâ’id al-Mukhtârah li Sâlik arîq al-Âkhirah, 2008: 184).

Baca Juga:  Islam dan Kehendak Bebas Manusia (4): Konsistensi dan Konteks Konsep Kemahakuasaan Tuhan dan Kebebasan Manusia

Bulannya Allah yang Membakar Dosa-Dosa

Para ulama menyebutkan bahwa Ramadan memiliki makna yang beragam. Pertama, Ramadan berasal dari kata ar-Ramâ’, yaitu hujan yang turun sebelum musim gugur dan membersihkan bumi dari debu. Hal ini menandakan bahwa bulan Ramadan membersihkan umat Islam dari dosa-dosa dan menyucikan hati mereka, sebagaimana hujan membersihkan bumi dari debu-debu.

Kedua, Ramadan berasal dari fi‘il mâî “Ramia Yarmau Ramaan” (lalu ditambahi alif dan nûn menjadi Ramaânu). Makna ar-Ramau sendiri adalah panasnya batu yang terkena terik matahari yang sangat panas. Makanya, bulan itu disebut Ramadan karena terbakar(panas)nya perut orang-orang beriman yang menahan lapar dan dahaga (berpuasa) pada bulan itu (Imam Fakhruddîn ar-Râzî, at-Tafsîr al-Kabîr, Juz 5, 1981: 89-90).

Ketiga, ada yang berpendapat bahwa orang-orang dahulu menamai bulan tertentu berdasarkan cuaca yang terjadi pada bulan itu. Makanya, bulan Ramadan disebut Ramadan karena pada bulan itu bertepatan dengan cuaca terik (sangat panas).

Keempat, ada pula yang berpendapat bahwa Ramadan dinamai Ramadan karena terbakarnya dosa-dosa pada bulan itu. Rasulullah saw. bersabda bahwa bulan itu disebut Ramadan karena bulan itu membakar hangus dosa-dosa hamba Allah (hlm. 90). Syekh Aḥmad aṣ-Ṣâwî lebih cenderung ke pendapat ini, yaitu Ramadan berasal dari kata ar-Ramau (masdar kata Ramia) yang bermakna “terbakar”. Sebab, bulan Ramadan membakar dosa-dosa orang-orang beriman yang berpuasa (âsyiyah al-‘Allâmah aâwî, hlm. 83).

Kelima, ada pula yang berpendapat bahwa Ramadan adalah nama Allah. Sehingga bulan (Ramadan) ini dinamai dengan nama Allah (yaitu Ramaân), karena dosa-dosa menjadi hangus dan musnah di sisi rahmat Allah seperti terbakar. Oleh karena itu, makna Syahru Ramaâna adalah Syarullâh (bulannya Allah). Makanya, bulan (Ramadan) itu juga disebut Ramadan, karena dosa-dosa menjadi terbakar karena berkat Ramadan (at-Tafsîr al-Kabîr, hlm. 89-90).

Baca Juga:  Muhammad Quraish Shihab: Nabi Muhammad Sebagai Nabi dan Manusia

Menurut Imam Ibnu Kaśîr, sebagian ulama salaf memakruhkan umat Islam mengucapkan kata Ramaân secara langsung. Mereka menyarankan agar umat Islam menambahkan kata Syahru sebelum Ramaân, sehingga menjadi Syahru Ramaân (bulan Ramadan). Sebab, Ramadan adalah salah satu nama Allah. Dalam hal ini, sebuah hadis menyebutkan bahwa Rasulullah saw. melarang para sahabat menyebut Ramadan secara langsung. Beliau menganjurkan agar menyebut Syahru Ramaân (bulan Ramadan), karena Ramadan adalah salah satu nama Allah (Tafsîr al-Qur’ân al-‘Aîm, hlm. 238). Allah sendiri menyebut Syahru Ramaân, bukan Ramadan secara langsung, sebagaimana diabadikan dalam al-Baqarah (2): 185.

Beberapa pendapat para ulama yang telah disebutkan itu menjurus kepada makna yang sama, yaitu Ramadan adalah bulan yang membakar dan membersihkan dosa-dosa. Syekh Uśmân al-Khaubawiyyi menyebutkan bahwa Ramadan adalah bulan kasih sayang (ramah) dan ampunan (magfirah) dari Allah. Pendapat ini sejalan dengan hadis yang menyebutkan bahwa bulan Ramadan dibagi menjadi tiga bagian. Bagian permulaan (10 hari pertama) adalah ramah (kasih sayang). Bagian pertengahan (10 hari kedua) adalah magfirah (ampunan). Bagian terakhir (10 hari terakhir) adalah ‘itqun min an-nâr (bebas dari api neraka). Makanya, barangsiapa yang tidak mendapatkan ampunan dari Allah pada bulan Ramadan, maka dia termasuk orang yang rugi (Durrah an-Nâiîn, hlm. 7 dan Syekh Ibrahim bin ‘Ubaid Âli ‘Abd al-Muḥsin, ‘Uqûd al-Lu’lu’ wa al-Marjân fî Waâ’if Syar Ramaân, 1981: 29). Oleh karena itu, kita harus memanfaatkan bulan Ramadan secara baik dan maksimal dengan melakukan ibadah-ibadah dan meninggalkan kemaksiatan-kemaksiatan agar mendapatkan ampunan dan rahmat Allah (bersambung). Wallâhu A‘lam wa A‘lâ wa Akam…

0 Shares:
You May Also Like