Prof. Dr. Mulyadhi Kartanegara
Guru Besar Fisafat Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Pemahaman agama yang literal, simple-minded, dan dogmatik, sebagaimana yang dipahami kaum Khawarij pada masa akhir periode Khulafa’ al-Rasyidin, telah menelan korban dengan terbunuhnya Sayyidina Ali r.a oleh salah seorang pengikut Khawarij. Pemahaman yang serupa seperti yang banyak kita saksikan di negeri tercinta saat ini, tidak mustahil akan menghasilkan kejadian yang sama. Perbuatan tersebut tentu saja merupakan sebuah perbuatan yang sangat tercela, apapun alasannya, karena itu sangat bertentangan dengan esensi ajaran Islam yang cinta damai.
Sungguh aneh, bahwa kejahatan kemanusiaan yang seperti itu (ditambah dengan ungkapan kebencian, berita palsu, dsb.), telah dianggap oleh sebagian masyarakat sebagai sesuatu yang wajar, biasa, dan normal, karena pengaruh dari pemahaman literal dan dogmatis di atas. Padahal semua itu adalah perbuatan yang sangat tercela khususnya dari sudut pendangan moral dan syariat Islam. Tak ada satu ajaran dari al-Qur’an maupun sunnah Nabi yang membenarkan tidakan-tindakan tersebut, tidak juga atas nama mencegah kemungkaran (al-amaru bi al-ma’ru>f wa al-nahy ‘an al-munkar(.
Kini kita betul-betul merasakan kehilangan kearifan cara berdakwah yang disampaikan oleh para wali kita yang sangat kita hormati dan kagumi. Mereka menyampaikan dakwah Islam dengan sangat persuasif, toleran, dan bijaksana. Nampaknya saat ini kita sangat membutuhkan teladan dari mereka yang telah mengajarkan Islam yang substansial bukan literal. Nampaknya juga pengajaran Islam yang lebih komprehensif—yang meliputi bukan hanya fikih, tapi juga kalam, falsafat, dan tasawuf—sangat diperlukan saat ini, dan ini harus menjadi tanggung jawab setiap diri kita (guru, dosen, pemimpin, penceramah, dan orang tua) yang menginginkan sebuah Islam yang damai, anggun, terhormat, bermartabat, santun, indah dan yang terpenting dari itu semua menjadi sumber kasih sayang bagi seluruh makhluk (rahmatan lil-‘alamin)
(Nuralwala/DA)