Nabi Yunus termasuk Nabi yang kisahnya diceritakan berkali-kali dalam Al-Qur’an, bahkan namanya diabadikan menjadi salah satu nama surah. Nabi Yunus diutus oleh Allah untuk menyampaikan wahyu di kota Ninawa, daerah Irak sekarang. Ia mengajak para penduduk kota itu untuk beriman dan meninggalkan berhala.
Namun, para penduduk kota itu menolak ajakannya dan tetap memilih sesat dalam kekafiran. Nabi Yunus pun marah, sedih, dan kecewa kepada kaumnya karena tidak mau menerima petunjuk Allah, sehingga Nabi Yunus menyampaikan bahwa Allah akan memberikan azab kepada mereka.
Setelah menyampaikan hal itu, Nabi Yunus pergi meninggalkan kota tersebut. Setelah kepergiannya, kaum Nabi Yunus mulai melihat pertanda azab Allah itu, akhirnya mereka menyadari bahwa Nabi Yunus itu memang benar utusan Allah, sehingga mereka bertaubat. Kisah ini menunjukkan bahwa hampir saja Allah menurunkan azab kepada kaum Nabi Yunus, karena kepergian Nabi Yunus dengan marah, sedih, dan kecewa.
“Dan (ingatlah kisah) Zun Nun (Yunus), ketika dia pergi dalam keadaan marah, (sedih dan kecewa) lalu dia menyangka bahwa Kami tidak akan menyempitkannya, maka dia berdoa dalam keadaan yang sangat gelap, ‘Tidak ada Tuhan selain Engkau, Mahasuci Engkau. Sungguh aku termasuk orang-orang yang zalim’. Maka Kami kabulkan (doa)-nya dan Kami selamatkan dia dari kesedihan. Dan demikianlah Kami menyelamatkan orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Anbiya’ [21]: 87-88)
Al-Quran merupakan petunjuk yang mengandung pesan dan perumpamaan yang tidak terbatas, berlapis lapis, dan sangat dalam, selaras dengan pesan dan perumpamaan yang ada di alam semesta dan manusia sendiri.
Allah dinisbahkan sebagai Yang Lahir dan Yang Batin. Setiap makna dalam Al-Qur’an pun selalu ada makna lahir maupun makna batin.
Alfuryabi meriwayatkan dari Hasan Al-Basri. Sesungguhnya Nabi bersabda, “Setiap ayat itu mempunyai makna lahir dan batin, setiap huruf terdapat batasan, dan setiap batasan terangkat.”
Setiap kisah para Nabi dalam Al-Qur’an selalu ada hikmah dan makna batin yang lebih dalam. Ibn ‘Arabi menulis kitab Fushush al-Hikam, yang khusus membahas hikmah dan makna batin dari kisah para Nabi dalam Al-Qur’an. Setiap kisah Nabi mempunyai hikmah yang khusus. Kisah Nabi Yunus tentunya juga mempunyai hikmah dan makna batin tersendiri.
Kebanyakan kisah Nabi Yunus yang kita baca dan dengar sejak kecil menekankan makna lahir saja. Seperti ketika Nabi Yunus dilempar ke laut, kemudian secara ajaib Nabi Yunus ditelan oleh ikan besar dan hidup dalam perut ikan selama 40 hari. Dikisahkan bahwa nabi Yunus mengalami “penderitaan” yang merupakan “hukuman” karena “melanggar” perintah Allah.
Ada 3 makna batin dalam kisah Nabi Yunus ini.
Pertama, ketika nabi Yunus pergi dalam kondisi marah, sedih, dan kecewa, secara makna batin sebenarnya adalah suatu “makar” Allah. (Surah Yunus ayat 21). Dalam The Message of The Quran karya Muhammad Asad kata “makar” ini diterjemahkan sebagai “rekayasa”. Suatu cara Allah merancang segala hal, sehingga membuat kita merasa selalu berada dalam ketidakpastian tentang kebijaksanaan mutlak (hikmah) Allah yang terselubung hijab. Mungkin kata ini bisa juga diartikan sebagai “pengelabuan” atau “penyamaran” Allah. Jadi, kepergian Nabi Yunus dari kaumnya bukanlah merupakan “pelanggaran” kepada Allah.
Kedua, ketika Nabi Yunus dilempar ke laut lalu ditelan ikan besar secara batin mempunyai makna ‘uzlah, yang bertujuan memberikan ketenangan dan memperkuat batin, pencerahan sekaligus hiburan bagi kesedihan Nabi Yunus. Peristiwa ini seperti Isra’ dan Mi’raj, ketika Nabi Muhamad berada demikian dekat dengan Allah, yang merupakan hiburan bagi kesedihan Nabi Muhamad, pencerahan, sekaligus puncak kesempurnaan tertinggi. Jadi, Nabi Yunus ketika berada dalam perut ikan bukanlah suatu “hukuman” dan “penderitaan”, tapi justru merupakan hiburan dari Allah, mendapatkan ketenangan batin, pencerahan, serta kesempurnaan.
Ketiga, ketika Nabi Yunus pergi dalam keadaan marah, sedih dan kecewa, hampir saja Allah menurunkan azab kepada kaum Nabi Yunus. Allah mencintai para nabi dan wali-Nya, sedemikian sehingga kemarahan dan kekecewaan para nabi adalah kemarahan dan kekecewaan Allah.
Namun, sebenarnya kaum Nabi Yunus adalah bagian dari diri Nabi Yunus sendiri, jadi kemarahan dan kekecewaan Nabi Yunus tehadap kaumnya adalah kemarahan dan kekecewaan terhadap dirinya sendiri. Nabi Yunus belum mencapai maqam kesempurnaan, masih terdapat kemarahan, kesedihan, dan kekecewaan yang menunjukkan belum tercapainya maqam rida.
Allah ingin mendidik, menghibur serta menyempurnakan Nabi Yunus dengan berbagai peristiwa tersebut. Sehingga ketika kembali kepada kaumnya, Nabi Yunus sudah mencapai maqam yang sempurna, sehingga kaum Nabi Yunus juga ikut terimbas dan mereka menjadi beriman. Semuanya adalah “makar” Allah Yang Maha Berkehendak. Semua kehendak-Nya adalah indah dan sempurna.
Wallahualam.