Bersiap Hidup, Bersiap Menghadapi Cobaan, dengan Pertolongan-Nya
Dalam hidup ini kita ‘tak bisa menghindar dari cobaan/kesulitan. Karena Allah sendiri sudah menyatakan:
“(Dia) menciptakan hidup dan mati untuk menguji kalian tentang siapa yang paling sempurna amalnya. Dan Dia Mahaperkasa dan Mahapengampun” (QS. Al-Mulk [67]: 2).
Di ayat lain Allah menegaskan:
“Pasti akan kami uji kalian dengan sekadar ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar”(QS. Al-Baqarah [2]: 155).
Cobaan/ujian bukan hanya merupakan keniscayaan hidup, melainkan justru adalah sapaan cinta dari-Nya. Dalam sebuah hadis sahih, Nabi Saw. mengajarkan:
“Jika Allah mencintai seseorang (suatu kaum), maka Dia akan mengujinya.”
Cobaan/ujian dengan demikian adalah tanda cinta Allah kepada orang yang dicoba/diuji-Nya. Yang perlu kita perhatikan setelah itu adalah bahwa, sekaligus, dalam ayat yang terakhir dikutip di atas, Allah sendiri menyampaikan bahwa cobaan yang akan dijatuhkan-Nya kepada manusia hanyalah “sekadar”-nya—di sini Allah menggunakan kata “min” yang bermakna sebagian/sekadar. Yakni, sekadar kemampuan manusia menanggungnya. Hal ini diperjelas oleh doa yang Allah sendiri ajarkan kepada kita untuk membacanya:
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Dia mendapat (pahala) dari (kebajikan) yang dikerjakannya dan dia mendapat (siksa) dari (kejahatan) yang diperbuatnya. (Mereka berdoa), “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau lalai. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebani kami dengan beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tidak sanggup kami memikulnya. Maafkanlah kami, ampunilah kami, dan rahmatilah kami. Engkaulah pelindung kami, maka tolonglah kami menghadapi orang-orang kafir” (QS. Al-Baqarah [2]: 286).
Maka, seberat apa pun ujian/cobaan/kesulitan yang kita peroleh, percayalah bahwa bersama itu Allah sesungguhnya sudah membekalkan kemampuan kepada kita untuk menanggungnya. Karena itu, jangan pernah putus asa, karena putus asa adalah antitesis keimanan kepada-Nya.
Di bawah ini Allah mengajarkan bahwa, bahkan dalam musibah yang begitu besar yang dialami oleh Nabi Ya’qub dengan kehilangan Yusuf putranya bersama adiknya (Bunyamin) yang amat dicintainya, kita ‘tak boleh putus asa:
“Wahai anak-anakku, pergilah kamu, carilah berita tentang Yusuf dan saudaranya. Dan janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir” (QS. Yusuf [12]: 87).
Sebaliknya kita diminta bersabar, sampai-sampai Allah iming-imingi otang yang sabar itu dengan, bukan saja pendampingan-Nya secara terus-menerus, melainkan juga cintanya:
“Sungguh, Allah membersamai orang-orang yang sabar” (QS. Al-Baqarah [2]: 153), dan:
“Allah mencintai orang-orang yang sabar” (QS. Ali Imran [3]: 146).
Selanjutnya, orang hanya bisa bersikap sabar sesabar-sabarnya hanya jika dia selalu bertakwa (sadar Allah) dalam hidupnya. Maka bagi orang bertakwa ini, Allah menjanjikan jalan keluar bagi setiap kesulitannya serta menggantikan kesulitannya dengan rezeki—keamanan, kecukupan, ketenangan, dan ketenteraman—melalui jalan yang tak terduga:
“Siapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan membukakan jalan keluar baginya… dan memberinya rizki dari arah yang tidak disangka-sangka. Dan siapa bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya” (QS. At-Thalaq [65]: 2-3).
Semoga Allah menolong kita dalam menjadikan kita orang-orang yang sabar dan bertakwa, sehingga kita siap untuk menanggung cobaan-cobaannya, dan mentas darinya sebagai orang-orang yang mencapai derajat ihsan (kesempurnaan) dalam keberagamaan kita.