Term demokrasi Islam dan atau kesesuaian antara demokrasi dengan Islam mengundang perdebatan yang tajam, baik di kalangan internal umat Islam maupun di luar Islam. Dalam konteks Indonesia yang sebagian besar masyarakatnya beragama Islam, di satu sisi dan pada sisi yang lain bangsa ini sudah menyepakati demokrasi sebagai sistem politiknya, perbincangan tersebut selalu relevan untuk diketengahkan.
Cara tafsir yang secara sosiologis dapat mendukung prinsip-prinsip demokrasi diandaikan mampu untuk semakin mengokohkan demokrasi di republik ini dan menguatkan apa yang disebut sebagai social capital; tumbuhnya rasa saling percaya dan mampu bekerja sama sesama anak bangsa terlepas dari perbedaan identitas komunal yang ada dengan mendasarkan pada prinsip kebebasan dan kesetaraan, dan hal ini diharapkan menumbuhkan kreativitas warga negara. Dalam konteks inilah, terlepas dari bagaimana perdebatan teologis yang ada, penulis berargumen penting untuk mengetengahkan pemikiran Khaled Abou El Fadl dalam soal demokrasi dan Islam ini.
Lalu mengapa tafsir yang mendukung demokrasi diperlukan? Salah satu jawabannya, karena secara sosiologis, agama masih dipandang penting bagi masyarakat Indonesia dan sedikit atau banyaknya turut memengaruhi persepsi, pandangan dan bahkan perilaku mereka. Sehingga tafsiran yang sejalan dengan demokrasi akan lebih memberikan legitimasi terhadap demokrasi itu sendiri.
Latar Belakang Intelektual Khaled Abou El Fadl
Dalam diskursus akademik, terdapat berbagai macam pendapat yang menyebut bahwa Islam tidak compatible dengan demokrasi, hal tersebut sebagaimana yang terangkum dalam disertasi Saeful Mujani di Ohio State University yang berjudul Religious Democratic: Democratic Culture and Muslim Political Participation in Post-Soeharto (2003). Mujani menjelaskan, bahwa ilmuwan seperti Samuel P. Huntington dan beberapa nama lainnya, menyebut bahwa Islam menjadi faktor penyebab kelangkaan demokrasi yang melanda negara-negara muslim.
Bahkan, pendapat yang menyebut Islam tidak compatible dengan demokrasi, bukan hanya datang dari ilmuwan Barat, di lingkaran muslim sendiri terdapat anggapan bahwa demokrasi bukan sistem yang Islami, bahkan memosisikan demokrasi dan Islam secara diametral. Kesesuaian antara nilai Islam dan demokrasi pun merupakan hal yang diperdebatkan. Sementara itu, bagi salah satu cendekiawan muslim ternama, yakni Khaled Medhat Abou El Fadl, Islam sama sekali tidak bertentangan dengan demokrasi, malahan demokrasi merupakan bagian dari ajaran Islam.
Sebelum membicarakan pemikiran Khaled Medhat Abou El Fadl lebih lanjut, baiknya kita mengenal dulu latar belakangnya. Khaled Medhat Abou El Fadl lahir di Kuwait pada 1963, ia berasal dari keluarga muslim berdarah Mesir. El Fadl menyelesaikan studi pendidikan dasar dan tingkat menengah di tanah kelahirannya. Selain menempuh pendidikan formal, El Fadl juga aktif mengikuti kelas Al-Qur’an dan syariah setiap liburan di Masjid Al-Ahzar, Kairo. Sejak berusia 12 tahun, El Fadl sudah hafal Al-Qur’an dan dikenal sebagai anak yang cerdas.
El Fadl sendiri mempunyai pengalaman yang unik, yang sudah barang tentu memengaruhi cara pandangnya mengenai keharusan sistem demokrasi. Penting untuk diketahui, masa pertumbuhan El Fadl ditandai dengan keadaan sosial politik Mesir yang chaos. Kondisi tersebut mendorong Fadl untuk menimba ilmu ke luar negeri, yakni ke Amerika Serikat pada 1982. El Fadl pun mendapat kesempatan belajar di Yale University. Ia lulus dengan sangat memuaskan.
Menurut Fahruddin Faiz dalam buku Lintasan Perspektif (2020), pada Mei 1985, El Fadl kembali ke Mesir untuk mengadakan penelitian mengenai yurisprudensi Islam, dengan konsentrasi autentikasi hadis. Saat itu, El Fadl justru mendapatkan perlakuan represif dari aparat negara. Selama tiga minggu ia ditahan dan mendapat berbagai siksaan. Sebelumnya, El Fadl banyak melakukan kritik juga terhadap pemerintah Mesir.
Dari pengalaman-pengalaman pahit itulah yang membuatnya memimpikan sebuah komunitas yang menghormati dan menjamin kebebasan seseorang untuk mengungkapkan pikirannya tanpa ancaman. Di situlah pentingnya kehadiran suatu sistem yang demokratis. Setelah kunjungannya pada 1985 tersebut, El Fadl kemudian kembali ke Amerika yang lebih kondusif.
Pada 1989, El Fadl menamatkan studi magister hukum pada University of Pennsylvania. El Fadl pun kemudian mengajar di University Texas di Austin. Pada 1999, El Fadl berhasil mendapatkan gelar Ph.D di bidang hukum Islam dengan hasil yang sangat memuaskan. Saat itu, disertasi yang ditulisnya yakni The Rebellion and Violence in Islamic Law, bahkan disertasinya tersebut dinobatkan sebagai salah satu karya terbaik dalam jajaran karya-karya besar hukum lainnya.
Kritik terhadap Tafsir yang Otoriter dan Implikasi dalam Sosial Politik
El Fadl sendiri dikenal sebagai orang yang begitu keras mengkritik otoriterisme dalam memahami suatu teks/ayat Al-Qur’an. Dalam buku Atas Nama Tuhan: dari Fiqih Otoriter ke Fikih Otoritatif (2003), ia mengkritik kembali ke “Islam yang murni” dan sebagainya, sebagaimana yang dilakukan oleh CRLO (Central for Scientific Research and Legal Opinions) maupun komunintas muslim di Amerika, yakni komunitas SAS (The Society for the Adherence of the Sunnah).
Hal tersebut, dikarenakan ungkapan kembali ke “Islam yang murni” justru mengabaikan keberagaman dalam penafsiran teks dan memposisikan diri seakan memiliki otoritas dari Tuhan. El Fadl tidak menyepakati sikap-sikap yang memosisikan diri sebagai representasi kehendak Tuhan. Sikap tersebut dinilainya otoriter, karena seakan menjadi orang yang paling tahu dengan apa yang dimaksud oleh Tuhan. Visi keberagaman dalam memahami teks Al-Qur’an tersebut, jelas berkaitan juga dengan visi demokratis yang diusung oleh El Fadl.
Visi keagamaan yang demokratis dalam cara memahami teks Al-Qur’an tersebut, ia terapkan juga dalam soal sosial politik. El Fadl berpendapat bahwa nilai dasar demokrasi, yaitu penghargaan terhadap perbedaan, merupakan salah satu nilai yang sudah diajarkan oleh Al-Qur’an, dan bahkan sudah dipraktikan pada generasi awal Islam.
Dalam buku Islam dan Tantangan Demokrasi (2004), El Fadl menulis, “Jika kita berkonsentrasi pada nilai-nilai moral yang mendasar itu, saya yakin, kita akan menyaksikan bahwa tradisi pemikiran politik Islam memuat kemungkinan-kemungkinan interpretatif maupun praktis yang dapat dikembangkan ke dalam sebuah sistem demokrasi”.
Posisinya tersebut, jelas menunjukkan penolakannya atas pemerintahan yang teokratis. El Fadl (2004) menyebut bahwa ungkapan “pemerintahan mutlak oleh Tuhan” merupakan argumen yang membahayakan. Karena, argumen tersebut mengandaikan ada sebagian atau beberapa orang manusia yang memiliki akses sempurna kepada Tuhan.
Bagi El Fadl (2004), akal manusia dapat dijadikan pertimbangan untuk menjalin kehidupan, termasuk dalam membuat keputusan politik dan mengupayakan keadilan. Terlebih lagi, dalam Al-Qur’an, akal merupakan cerminan dari keagungan Ilahi. Oleh karena itu, pertimbangan akal sebagaimana yang diandaikan oleh demokrasi dalam mengambil keputusan, sama sekali tidak bertentangan dengan perintah Tuhan.
El Fadl (2004) pun menegaskan bahwa Al-Qur’an tidak memuat aturan secara eksplisit mengenai bagaimana bentuk pemerintahan. Al-Qur’an hanya menyebut nilai-nilai penting dalam pemerintahan, yakni mencapai keadilan (QS Al-Hujarat [49]:13; Hud [11]:119), kemudian membangun sistem pemerintahan konsultatif dan yang ketiga melembagakan kasih sayang dalam interaksi sosial (QS Al-An’am [6]:12,54; Al-Ambiya [21]:77; Al-Hajj [22]: 77; Al-Jaatsiyah [45]:20). Itu sebabnya, El Fadl berpendapat bahwa demokrasi mempunyai korelasi yang kuat dengan Islam.
Sebagai tambahan, El Fadl (2004) pun menawarkan cara penafsiran teks yang disebutnya lively interpretative atau interpretasi yang dinamis, sebagai upaya menggali konteks kekinian dari makna asal sebuah teks.
Dalam hemat saya, cara tafsir yang demikian lebih memungkinkan manusia untuk menumbuhkan kreativitas termasuk dalam upaya untuk mewujudkan keadilan sosial dengan tidak mengabaikan konteks sosiologis dan kultural, dan dewasa ini cara pandang yang demikian diperlukan dalam upaya menumbuhkan demokrasi yang lebih substantuif. Terlebih, dalam konteks Indonesia yang sangat beragam ini, prinsip demokrasi, yakni kebebasaan dan kesetaraan terlepas dari asal identitas komunal tentu diperlukan untuk menguatkan integrasi nasional dan mewujudkan keadilan sosial.