Pertanyaan paling awal yang harus dikemukakan kepada orang-orang beragama, adalah: Buat apa beragama, apa tujuan akhirnya? Menjawab pertanyaan ini, Allah sudah berfirman dengan jelas: yakni, beragama adalah jalan untuk mendapatkan keselamatan di (dunia dan) di akhirat:
“Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja di antara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, Hari Akhir dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran atas mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati” (QS. Al-Baqarah [2]: 62).
Lihat, apa yang Allah sebutkan sebagai syarat mendapatkan keselamatan itu? Beriman kepada Allah dan Hari Akhir, serta beramal salih (berbuat kebaikan bagi sesama makhluk Allah).
Dalam ayat lain yang sejalan, Allah memfirmankan:
“…Barangsiapa yang memasrahkan diri (“wajah”) sepenuhnya kepada Allah, sedang ia berbuat ihsan (kebaikan yang indah/disempurnakan), maka baginya pahala pada sisi Tuhannya dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati” (QS. Al-Baqarah [2]:112).
Dalam sebuah ayat lain, Allah menyebut bahwa tujuan-Nya menciptakan mati dan hidup adalah untuk memastikan bahwa manusia beramal dengan penuh ihsan:
“(Dia) yang menciptakan kematian dan kehidupan untuk menguji kamu, siapa di antara kamu yang paling ihsan amalnya…”(QS. Al-Mulk [67]: 2).
Ya. Sesederhana itu. (Catatan: begitu sederhananya syarat keselamatan dalam keimanan itu, sehingga Syekh Muhammad Abduh pernah menyampaikan bahwa rukun iman itu sesungguhnya hanya ada dua yaitu percaya pada Allah dan Hari Akhir). Dan mengenai ihsan—yang mencakup spiritualitas, kebersihan hati, dan kemuliaan akhlak—tak kurang dari Ibn Taymiyah pun menyebutnya sebagai tujuan puncak keberislaman. Kiranya hal ini terkait dengan panduan yang diberikan Nabi dalam hadis Jibril, yang meletakkan ihsan di puncak keberislaman. Yakni setelah ber-“islam”—dalam makna sempit, yakni bersyariah—dan beriman (berakidah). Hadis Jibril ini sangat masyhur di kalangan ahlus Sunnah, dan diriwayatkan oleh tak kurang dari Imam Bukhari dan Muslim. Tapi, hadis dengan nada yang sama, sesungguhnya juga diriwayatkan di kalangan Syiah:
جَلَسَ رَسُولُ اَللَّهِ صَلَّى اَللَّهُ عَلَيْهِ وَ آلِهِ مَجْلِساً فَأَتَاهُ جَبْرَئِيلُ فَجَلَسَ بَيْنَ يَدَيْ رَسُولِ اَللَّهِ صَلَّى اَللَّهُ عَلَيْهِ وَ آلِهِ وَاضِعاً كَفَّيْهِ عَلَى رُكْبَتَيْ رَسُولِ اَللَّهِ صَلَّى اَللَّهُ عَلَيْهِ وَ آلِهِ فَقَالَ يَا رَسُولَ اَللَّهِ حَدِّثْنِي عَنِ اَلْإِسْلاَمِ قَالَ اَلْإِسْلاَمُ أَنْ تُسْلِمَ وَجْهَكَ لِلَّهِ عَزَّ وَ جَلَّ وَ أَنْ تَشْهَدَ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اَللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ وَ أَنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَ رَسُولُهُ قَالَ فَإِذَا فَعَلْتَ ذَلِكَ فَقَدْ أَسْلَمْتَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اَللَّهِ حَدِّثْنِي عَنِ اَلْإِيمَانِ قَالَ اَلْإِيمَانُ أَنْ تُؤْمِنَ بِاللَّهِ وَ اَلْيَوْمِ اَلْآخِرِ وَ اَلْمَلاَئِكَةِ وَ اَلْكِتَابِ وَ اَلنَّبِيِّينَ وَ اَلْمَوْتِ وَ اَلْحَيَاةِ بَعْدَ اَلْمَوْتِ وَ تُؤْمِنَ بِالْجَنَّةِ وَ اَلنَّارِ وَ اَلْحِسَابِ وَ اَلْمِيزَانِ وَ تُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ كُلِّهِ خَيْرِهِ وَ شَرِّهِ قَالَ فَإِذَا فَعَلْتَ ذَلِكَ فَقَدْ آمَنْتَ قَالَ يَا رَسُولَ اَللَّهِ حَدِّثْنِي مَا اَلْإِحْسَانُ قَالَ اَلْإِحْسَانُ أَنْ تَعْمَلَ لِلَّهِ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ
(Diriwayatkan dalam Bihar al-Anwar)
Lihat bagaimana Rasul saw. memastikan bahwa kita sudah berislam jika sudah bersyahadat—tentu kemudian hidup sesuai syahadat (kesaksian) itu—dan beriman dengan percaya kepada Allah, Hari Akhir, para Nabi, Malaikat, Kitab-kitab, Kematian, dan Hidup Setelah Mati, kepada Surga dan Neraka, Hisab, Mizan, serta Keseluruhan Qadar, baik dan buruknya. Dan Nabi menegaskan hal itu dengan kalimat: “Maka kau sudah berislam/beriman jika kau lakukan itu.” Tinggal kita sempurnakan itu semua dengan ihsan, dengan spiritualitas dan kecintaan kepada Allah serta makhluk-Nya.
Terlepas dari hadis Jibril di atas, amat banyak hadis lain yang menunjukkan bahwa beragama itu identik dengan amal saleh dan akhlak mulia. Dalam sebuah hadis lain, Nabi menyabdakan:
“Yang paling banyak memasukkan orang ke surga, adalah taqwa (kesadaran ketuhanan, yang lagi-lagi bermakna spiritualitas dan kemampuan membawa diri dengan cara yang mendatangkan keridhaan Allah dan menghindari apa-apa yang membuat-Nya tidak ridha) dan amal saleh.
Inilah Islam, inilah tujuan keberislaman. Inilah akhir yang harus kita tuju dalam kehidupan kita sebagai Muslim.
Nah, dalam konteks ini, keberadaan mazhab-mazhab—bahkan sebetulnya agama (din) itu sendiri—adalah “cuma” jalan yang akan membawa kita ke tujuan akhir itu. Dan Allah pun sudah menjamin akan menunjukan jalan—Allah menyebutnya “jalan-jalan” (subul), dalam kata majemuk/plural—kepada siapa saja yang bersungguh-sungguh ingin menuju kepada-Nya:
“Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh dalam menuju/mencari Kami, sungguh Kami akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami” (QS. Al-‘Ankabut [29]:69).
Mungkin akan ada yang bilang begini: Kalau jalan yang kita tempuh salah, yakni kita salah memilih mazhab, bukankah kita akhirnya tidak akan mencapai tujuan?
Untuk menjawab hal itu, mari kita kembali kepada uraian saya sebelumnya. Yakni, bahwa syarat untuk dapat meraih tujuan adalah beriman kepada Allah dan Hari Akhir—beserta keimanan kepada unsur-unsur yang terkait dengan itu—serta bersyariat, sesuai yang diungkapkan dalam Hadis Jibril di atas—lalu beramal saleh dan menyempurnakan/mengihsankan keimanan dan amal-amal saleh itu. Nah, sekarang mari kita lihat kenyataan keberadaan mazhab Ahlus-Sunnah dan Syiah—dengan melihat ajaran masing-masing mazhab tersebut, sebagaimana yang diyakini oleh mayoritas pengikut-pengikut mayoritasnya, seraya mengesampingkan kaum ekstremis (apalagi radikal) di antara mereka. Maka, tidakkah akan kita dapati kedua mazhab besar ini sepakat dalam kesemua syarat itu. Tanpa perbedaan sama sekali? Tentu ada perbedaan dalam hal- hal yang lebih detil—yang kenyataannya bukan hanya terdapat di antara kedua mazhab besar itu, melainkan juga ada dalam internal masing-masing mazhab? Dan juga jika kita lihat kualitas pengikut kedua mazhab tersebut, sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang secara umum sama baiknya dalam hal-hal esensial keberagamaan tersebut?
Orang-orang dari mazhab apa pun, yang baik ya baik, yang buruk ya buruk. Tak peduli apa pun mazhab mereka. Kenapa masih mengorek-ngorek masa lampau yang sudah berumur berabad-abad dengan kemarahan dan sikap sok benar sendiri? Kalau pun kita harus menengok sejarah, marilah ia kita jadikan bahan pelajaran, yang kita ambil dengan penuh kebijaksanaan, bukan semangat mengunggulkan atau membenar-benarkan diri. Lagi pula, bukankah kaum Muslim saat ini tak ikut campur dalam peristiwa-peristiwa kesejarahan itu? Dan kenapa terus berfokus pada perbedaan-perbedaan dalam hal-hal yang lebih rinci, dan bukan melihat kenyataan kesamaan-kesamaan mendasar yang terlihat sekarang? Kenapa harus fanatik bersikap “right or wrong is my mazhab”, padahal bahkan agamawan besar Syiah, seperti Haidar HubbulLah, sudah menegaskan bahwa mazhab apa pun tidak ma’shum—meski kita yakin Nabi saw ma’shum atau, menurut keyakinan Syiah, para imam itu ma’shum (Lihat, Risalah Salam Madzhabiy, hal 175-176).
Saya kira malah lebih banyak lagi ulama Sunni yang bersikap sama. Orang Syiah pun boleh percaya bahwa keimanan kepada aimmah itu perlu, tapi bukankah jalan menuju bimbingan Allah Swt. dan Rasul saw. bisa tersebar melalui berbagai jalan “barakah Muhammadiyah“, melalui para awliya’ yang ada di semua mazhab, dan melalui jalan-jalan lain yang bersumber dari luthf (kebaikan/kelembutan) Allah Swt. yang tak terbatas?
Maka, mari kita merenung dengan penuh keikhlasan dan kerendahan hati, agar jangan sampai fanatisme kebermazhaban kita—yakni, sikap merasa benar sendiri, apalagi sikap menyalah-nyalahkan mazhab lain—yang sebetulnya merupakan pekerjaan hawa nafsu syaithaniyah dalam diri kita, justru menjadi jebakan dalam keberagamaan kita. Semoga Allah beri kita petunjuk agar tetap berada di jalan-Nya, dalam kejernihan akal dan kebersihan hati, serta akhlak yang mulia kepada sesama.