Para ulama menyebutkan bahwa jalan menuju Allah adalah sebanyak napas makhluk yang ada di alam semesta, sebagaimana diabadikan dalam sebuah maqâla (perkataa) “aṭ–ṭuruq ila-Allâhi bi ‘adadi anfâs al-khalâ’iq” (Habib Zein bin Smith, Al-Fawâ’id al-Mukhtârah li Sâlik Ṭarîq al-Âkhrah, 2008: 128).
Salah satu jalan menuju Allah, yang dengannya orang-orang saleh sampai kepada-Nya, adalah memperbanyak wirid, seperti salat sunah, puasa sunah, membaca Al-Qur’an, bertasbih, dan lainnya (Syekh Muḥammad Nawawî al-Jâwî, Salâlim al-Fuḍalâ’, hlm. 14). Makanya, salah satu tarekat yang berkembang hingga sekarang adalah Mulâzamah Qirâ’ah Al-Qur’ân (istikamah membaca Al-Qur’an). Di Indonesia, Mulâzamah Qirâ’ah Al-Qur’ân merupakan salah satu tarekat yang mu‘tabarah versi Nahdlatul Ulama (NU).
Menurut para ulama, ada tiga jenis ibadah yang pasti diterima oleh Allah, yaitu: membaca Al-Qur’an, bersalawat, dan membaca ḥasbiyallâh wa ni‘mal wakîl atau ḥasbunallâh wa ni‘mal wakîl. Oleh karena itu, seorang Muslim tetap memperoleh pahala meskipun membaca Al-Qur’an dalam keadaan lupa (tidak khusyuk). Sedangkan Muslim yang membaca Al-Qur‘an dengan khusyuk memperoleh dua jenis pahala sekaligus, yaitu pahala membaca dan khusyuk (KH. Thoifur ‘Ali Wafa al-Madûrî, Bulgah aṭ–Ṭullâb, hlm. 7).
Al-Qur’an sebagai laku spiritual (jalan menuju Allah) ini memiliki kedudukan yang sangat utama dalam Islam. Sebab, banyak hadis yang menyebutkan keutamaan membaca Al-Qur’an. Dalam hal ini, Rasulullah saw. bersabda: “Paling utamanya ibadah umatku adalah membaca Al-Qur’an” (Imam al-Gazâlî, Iḥyâ’ ‘Ulûm ad-Dîn, 2005: 323).
Hadis lain menyebutkan bahwa orang yang membaca Al-Qur’an akan mendapatkan pahala sepuluh kebaikan dalam setiap hurufnya. Artinya, jika seseorang membaca Alif Lam Mim, maka dia akan mendapatkan tiga puluh kebaikan. Sebab, dia telah membaca ayat Al-Qur’an yang terdiri dari tiga huruf, yaitu Alif, Lam, dan Mim (Sayyid Muḥammad ‘Alawî al-Mâlikî, Abwâb al-Faraj, 2007: 72).
Menurut Rasulullah saw., Al-Qur’an adalah tali Allah, cahaya yang terang, dan penyembuh yang bermanfaat, pelindung bagi siapa yang berpegang teguh kepadanya, dan penyelamat bagi siapa saja yang mengikutinya. Al-Qur’an tidak akan membuat bosan para pembacanya meskipun dibaca berulang-ulang, dan keajaiban-keajaibannya tidak akan pernah habis. Selain itu, Rasulullah saw. menyebutkan bahwa Al-Qur’an akan menjadi penolong (memberikan syafaat) bagi para pembacanya di akhirat kelak (Abwâb al-Faraj, hlm. 72-73).
Oleh karena itu, Imam an-Nawawî (yang merupakan quṭub-nya para fakih) menekankan setiap Muslim agar senantiasa membaca Al-Qur’an, baik malam hari maupun siang hari; baik berada di rumah maupun sedang bepergian. Sebab, membaca Al-Qur’an merupakan wirid yang paling utama (Al-Ażkâr an-Nawawiyyah, 2001: 225). Menurut Rasulullah saw., membaca Al-Qur’an di luar salat lebih utama daripada membaca takbir (Allâhu Akbar) dan tasbih (subḥanallâh) (Abwâb al-Faraj, hlm. 72).
Di sisi lain, Imam Aḥmad bin Ḥanbal (tokoh utama mazhab Ḥanbalî) pernah bermimpi Allah. Dalam hal ini, Allah mengabarkan bahwa jalan yang paling utama untuk mendekatkan diri kepada-Nya yang digunakan oleh mutaqarribûn (orang-orang yang mendekatkan diri kepada Allah) adalah membaca Al-Qur’an, baik memahami kandungannya maupun tidak (Iḥyâ’ ‘Ulûm ad-Dîn, hlm. 324).
Imam an-Nawawî menyebutkan bahwa membaca Al-Qur’an bisa dilakukan kapan saja, karena tidak ada larangan membaca Al-Qur’an di waktu-waktu tertentu. Namun demikian, waktu yang paling utama untuk membaca Al-Qur’an adalah di dalam salat. Menurut Rasulullah saw., membaca Al-Qur’an di dalam salat lebih utama daripada membaca Al-Qur’an di luar salat. Kalangan mazhab asy-Syâfi‘î dan beberapa mazhab lain berpendapat bahwa memperlama berdiri dalam salat karena membaca Al-Qur’an lebih utama daripada memperlama sujud dan lainnya (Al-Ażkâr an-Nawawiyyah, hlm. 228 & Abwâb al-Faraj, hlm. 72).
Sedangkan paling utamanya waktu membaca Al-Qur’an di luar salat adalah malam hari terutama separuh terakhir. Dengan demikian, membaca Al-Qur’an di waktu separuh terakhir malam lebih utama daripada membaca Al-Qur’an di awal malam. Menurut Imam an-Nawawî, sunah membaca Al-Qur’an di antara waktu Magrib dan Isya. Jika seseorang tidak bisa membaca Al-Qur’an pada malam hari, maka dia bisa membacanya pada siang hari. Imam an-Nawawî menyebutkan bahwa waktu paling utama membaca Al-Qur’an pada siang hari adalah setelah salat Subuh (Ażkâr an-Nawawiyyah, hlm. 228).
Menurut Imam ‘Ali as., barangsiapa membaca Al-Qur’an di waktu salat dalam keadaan berdiri, maka dia memperoleh seratus kebaikan dari setiap hurufnya. Jika dia membacanya dalam keadaan duduk di waktu salat, maka dia memperoleh lima puluh kebaikan dari setiap hurufnya. Barangsiapa membaca Al-Qur’an di luar salat dalam keadaan suci (memiliki wuduk), maka dia mendapatkan dua puluh lima kebaikan dari setiap hurufnya. Namun, jika dia membacanya di luar salat dalam keadaan tidak punya wuduk, maka dia mendapatkan sepuluh kebaikan dari setiap hurufnya (Al-Fawâ’id al-Mukhtârah, hlm. 190). Wallâhu A‘lam wa A‘lâ wa Aḥkam.