Kita pastinya sering mendengar dalam tiap-tiap mukadimah sebelum penyampaian pidato atau ceramah, kata-kata berikut : Salawat dan salam tak lupa kita haturkan kepada Nabi Muhammad saw. yang mana atas perjuangannyalah, kita (umat manusia) mampu beranjak dari zaman kegelapan, kebodohan, kejahiliahan menuju zaman yang terang benderang dipenuhi cahaya ilmu pengetahuan sebagaimana yang kita rasakan sekarang.
Kata-kata tersebut, karena saking seringnya disebutkan dalam tiap-tiap kesempatan, mungkin telah membuat kita seolah tak lagi menghiraukannya, dan tak terlalu menghayati makna yang terkandung di dalamnya, sehingga ia telah menjelma menjadi sekadar kata-kata basa-basi untuk formalitas semata. Dengan kata lain, tak lebih dari tetek bengek sepintas lalu untuk mengawali suatu pembicaraan saja.
Padahal, sejatinya itu merupakan kata-kata pamungkas yang menjadi pengingat bagi tiap-tiap mukmin bahwa Nabi Muhammad adalah pembawa pencerahan bagi umat manusia. Nabi Muhammad adalah seorang aktivis yang seluruh usianya dihabiskan untuk mencerahkan masyarakatnya agar lepas dari belenggu kebodohan dan kezaliman. Dengan apa? Ya, dengan ilmu pengetahuan.
Kita takkan sulit menemukan dalil-dalil yang menerangkan betapa ilmu merupakan sesuatu yang sangat penting dalam Islam. Begitu pentingnya, bahkan dalam hadis—yang sangat populer di tengah masyarakat— dijelaskan bahwa setiap mukmin entah laki-laki atau perempuan diminta untuk menuntut ilmu dari buaian hingga liang lahat. Sedemikian Islam sangat menghargai kemuliaan ilmu pengetahuan, sehingga tak ada batasan dalam mencari ilmu, hanya kematian yang dapat menggugurkan kewajiban seseorang dalam mencari ilmu. Bahkan, ilmu bila melekat pada seseorang, maka orang itupun akan menjadi mulia dan diangkat derajatnya oleh Allah sebagaimana firman Allah dalam surah Al-Mujadalah ayat 11.
Maka tak heran, bila wahyu pertama yang diturunkan pada Nabi adalah perintah untuk membaca; iqra’!. Quraish Shihab menjelaskan bahwa lima ayat surah al-‘Alaq yang pertama kali turun tersebut, mengandung prinsip-prinsip epistemologi Islam, yakni bagaimana untuk memperoleh suatu pengetahuan dalam Islam. Dan gerbang pertamanya adalah dengan membaca, meneliti, serta memahami sesuatu, baik yang tersurat maupun yang tersirat. Tak lupa juga bahwa membaca tersebut hendaknya dengan senantiasa bismirabbik, yakni selalu diniatkan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan Sang Pencipta.
Membaca merupakan kegiatan memahami realitas, atau dalam istilah Schleiermacher sebuah ‘seni memahami’. Bila buku merupakan jendela pengetahuan, maka membaca adalah kunci untuk membukanya. Lebih dari itu, alam semesta ini merupakan kitab yang dibentangkan oleh Allah, sehingga sejatinya kemanapun kita memandang, semuanya merupakan ayat-ayat Allah. Manusia sebagai makhluk Allah yang memiliki akal diperintahkan untuk mentadaburi alam. Dengan kata lain, menjadi manusia berarti siap menjadi pembaca yang baik. Tujuannya tak lain adalah memahami tanda-tanda kebesaran Allah swt, yang dengan itu manusia memperoleh kebahagiaan dan kesuksesan di dunia dan akhirat. Dalam hal ini, kita—umat Islam—boleh sedikit berbangga, sebab hanya Alquran satu-satunya kitab suci yang memerintahkan umatnya untuk membaca dan meningkatkan budaya literasi.
Langkah awal telah dimulai oleh Nabi semasa ia masih hidup. Dalam kisah yang cukup populer, Nabi pernah membebaskan para tawanannya (kafir Quraisy) dengan syarat mau mengajarkan baca-tulis pada umatnya. Padahal, Nabi bisa saja memperoleh keuntungan besar dari uang tebusan untuk membebaskan tawanan itu. Akan tetapi, Nabi lebih memilih tujuan jangka panjang, ketimbang kepentingan-kepentingan sesaat.
Hasilnya luar biasa. Beberapa abad setelah Nabi wafat, umat Islam akhirnya mengecap manisnya buah dari Iqra’. Semangat literasi tumbuh pesat di tengah umat Muslim. Para pembaca dan penulis handal muncul menyemarakkan peradaban. Nama-nama seperti Ibn Sina, Al-Ghazali, Ath-Thabari, Al-Khwarizmi, Imam Syafi’i—dan masih banyak lagi— merupakan para pakar dalam ilmu pengetahuan yang begitu giat membaca. Karya-karya besar mereka tak lekang oleh masa memenuhi khazanah pemikiran dunia.
Bahkan founding fathers bangsa Indonesia merupakan orang-orang yang sangat-sangat mencintai buku. Bung Karno mengakui bahwa ia adalah seorang kutu buku. Dalam berbagai kesempatan, bung Karno selalu berpesan kepada semua orang agar memperbanyak membaca. Saking gemarnya membaca, dikatakan bahwa bung Karno memiliki koleksi buku yang sangat banyak sekali. Ketika beliau diasingkan ke Bengkulu oleh Belanda, dia membawa hingga 12 peti buku ke pengasingannya. Bayangkan! Berpeti-peti buku! Dan bukunya bukan hanya buku berbahasa Indonesia, malah kebanyakan berbahasa asing. Itu baru bung Karno, belum lagi bung Hatta dan bung-bung yang lainnya. Dari situlah akhirnya para founding fathers tersebut berhasil mengantarkan Indonesia menuju pintu gerbang kemerdekaan.
Sekarang, dimana-mana kita menyaksikan orang-orang mulai bersemangat untuk menjalankan perintah agama. Fenomena hijrah menjadi tren umat Muslim milenial yang dicirikan dengan upaya untuk hidup sesuai sunnah. Mulai dari pakaian hingga tutur kata sudah serba sunnah dan diarab-arabkan. Semua itu dilakukan tentu dengan tujuan untuk sedapat mungkin mencontoh dan mengikuti Nabi.
Namun, sepertinya ada sesuatu yang terlewat dari kita. Di saat kita sibuk memperbaiki penampakan zahir kita agar terlihat sunnah, kita melupakan perintah yang lebih esensial, yakni Iqra’, bacalah. Kita begitu semangat untuk memelihara jenggot, mengenakan jubah, mengarab-arabkan tutur kata—yang tentu tidak salah—, tapi sangat malas untuk membaca. Sehingga ketika pendiri bangsa mengatakan bahwa NKRI harga mati, sebagian kita malah menganggap negara ini taghut. Padahal, sejatinya kitalah yang bodoh sebab tak mampu membaca situasi dan kondisi sosial budaya di Indonesia yang tentu berbeda dari Arab.
Dalam hal membaca, kita ketinggalan jauh dari bangsa-bangsa lainnya. Anak-anak di Eropa, Amerika, ataupun Jepang bisa membaca dan menamatkan hingga belasan buku per tahun. Sedangkan di Indonesia setiap anak-anak, rata-rata membaca ‘NOL’ buku. Kalau kita mau kembali ke Alquran dan Sunnah, sebaiknya kita mulai dari perintah pertama dalam Alquran yakni membaca. Sayangnya, dalam hal ini bangsa-bangsa yang mayoritas kafir itu tampaknya lebih ‘Islami’ ketimbang kita. Itu baru membaca buku, belum lagi membaca alam semesta (sains). Tentu kita lebih ketinggalan lagi. Keunggulan Barat dalam membaca tersebut, membuat mereka unggul pula di berbagai bidang baik secara ekonomi, politik, maupun teknologi.
Akhirnya, tidak dapat dipungkiri bahwa kemampuan membaca sangat memengaruhi kemajuan suatu peradaban. Sebab, melalui kegiatan membaca—mulai dari membaca buku, membaca keadaan hingga membaca permasalahan—akan terungkap realitas. Dan ketika realitas terungkap, lahirlah berbagai ide dan gagasan yang mencerahkan, sehingga diperoleh solusi terbaik yang dibutuhkan. Semakin banyak bacaan, maka semakin banyak pula sudut pandang dalam melihat suatu persoalan. Pandangan pun menjadi luas dan mendalam. Sehingga, permasalahan apapun yang timbul bisa disikapi dengan bijak dan luwes, bukan dengan sikap kaku penuh emosi yang muncul dari kesempitan akal dan minim sudut pandang.
Perintah Iqra’ sebagai wahyu pertama telah demikian jelas mengisyaratkan pentingnya membaca. Tinggal lagi, apakah kita mau atau tidak hijrah dari malas membaca jadi rajin membaca?
Maka, salawat dan salam marilah kita kirimkan pada Nabi Muhammad yang telah memulai langkah awal bagi pengembangan literasi. Sehingga umat manusia yang sebelumnya jahil, yakni buta realitas, menjadi terang oleh cahaya ilmu pengetahuan. Lagi-lagi, umat Islam boleh berbangga memiliki Nabi yang begitu visioner, sehingga mampu membaca bahwa di masa depan perang bukan lagi dengan pedang, melainkan perang kebudayaan dan literasi. Luar biasanya lagi, mukjizat terbesar Nabi adalah Alquran. Sebuah kitab untuk dibaca.