Pentingnya Dakwah dengan Akhlak di Era Digital

Syekh ‘Abdullâh bin Bayyah menyebutkan bahwa setiap masa memiliki prioritas. Adapun prioritas masa sekarang adalah memelihara dan memperbaiki akhlak (lihat akun Twitter @Bin_Bayyah, 30/05/2020). Oleh karena itu, para ulama (baik Kiai, Bu Nyai, Gus, Ning, Ustaz, Ustazah, maupun cendekiawan) bisa memberikan perhatian lebih terhadap persoalan akhlak, terutama sekali bagi kalangan generasi muda. Sehingga dekadensi moral yang tengah menyerang kehidupan masyarakat bisa dikurangi dan tidak semakin menjadi-jadi di masa depan.

Pendidikan akhlak tersebut selain dilakukan di rumah, lembaga pendidikan, juga bisa dilakukan di tempat-tempat umum melalui sarana dakwah sesuai cara masing-masing pendakwah. Pada umumnya dakwah dilakukan dengan lisan dan tulisan (dakwah bi al-lisân dan dakwah bi al-qalam), yaitu mengajak orang lain kepada kebaikan dan kebenaran dan mencegah perbuatan-perbuatan buruk secara oral (baik pengajaran di lembaga pendidikan, ceramah, diskusi, dan ngobrol bareng, maupun lagu) dan tulisan.

Namun demikian, terdapat cara dakwah lain yang sangat penting bagi kehidupan masyarakat era digital sekarang ini, yaitu dakwah bi al-âl (dakwah dengan perilaku dan akhlak). Artinya, seorang Muslim bisa mengajak orang lain kepada kebaikan dan kebenaran dan mencegah keburukan-keburukan dengan perilaku(akhlak)-nya. Hal ini bisa dilakukan oleh para orang tua, pendidik, ulama, pemerintah, dan masyarakat umum.

Dengan demikian, keteladanan tidak menjadi barang yang sangat mahal dan sulit dijumpai di bumi Nusantara tercinta ini. Sebab, para orang tua memberikan keteladanan kepada anak-anaknya, para pendidik memberikan keteladanan kepada anak-anak didiknya, para tokoh agama memberikan keteladanan kepada jemaah-jemaahnya, dan para pemimpin (pemerintah) memberikan keteladanan kepada rakyat-rakyatnya.

Dalam hal ini, Sayyidina Umar bin Khattab ra. pernah berkata: “Jadilah kalian pendakwah yang mengajak kepada Allah dalam keadaan diam (tidak berbicara). Ketika ditanya bagaimana caranya, maka beliau menjawab: “Dengan akhlak kalian. Menurut penulis, meskipun dakwah dengan akhlak ini tidak perlu banyak bicara, tetapi ia lebih berat dan sulit daripada dakwah dengan lisan dan tulisan yang membutuhkan retorika. Sebab, banyak orang yang mampu berdakwah dengan lisan dan tulisan, tetapi terkadang tidak mampu berdakwah dengan akhlak.

Baca Juga:  Makna Esensial Hijrah

Menurut Imam al-Gazâlî, perilaku/perbuatan lebih berpengaruh daripada ucapan (lisân al-âl anaqa/afau min lisân al-maqâl). Sebab, tabiat manusia memang lebih cenderung memerhatikan dan mengikuti perbuatan daripada ucapan (Bidâyah al-Hidâyah, hlm. 8).

Oleh karena itu, Imam al-Gazâlî mengingatkan setiap Muslim agar tidak menjadi bagian dari golongan ‘ulamâ’ as-sû’ (ulama yang buruk), yaitu orang alim yang menjadikan ilmunya sebagai modal untuk memperoleh kenikmatan dunia, baik kekayaan, kedudukan, popularitas, maupun pengikut. Celakanya lagi, dia merasa memiliki kedudukan yang tinggi di sisi Allah. Sehingga tidak mungkin mau menerima nasihat-nasihat dari orang lain (hlm. 7-8).

Hal ini karena meskipun lisan ‘ulamâ’ as-sû’ itu menasihati masyarakat agar tidak terlena dan tertipu dengan gemerlap dunia, tetapi perbuatannya mengajak mereka agar mencintai dunia (ubbu ad-dunyâ). Dengan demikian, perbuatannya yang rusak lebih merusak jiwa dan pikiran masyarakat daripada ucapannya yang baik tersebut. Sebab, ketika seorang ulama berani ubbu ad-dunyâ, maka masyarakat akan berani melakukan hal yang sama (hlm. 8).

Dengan demikian, ketika ada seorang dai yang secara terang-terangan mengafirkan, menyesatkan, mencaci, menghina, dan mendoakan buruk orang lain (baik masyarakat sipil maupun pejabat), dan menebarkan kebencian di antara sesama anak bangsa (baik di dunia nyata maupun di media sosial), maka besar kemungkinan masyarakat juga akan berani melakukan hal sama. Apabila perilaku buruk ini dibiarkan, maka tidak menutup kemungkinan akan tercipta masyarakat yang saling membenci dan memusuhi satu sama lain, yang pada akhirnya bisa berujung kepada pertumpahan darah.

Akhlak Merupakan Kunci Utama Keberhasilan Dakwah

  1. Abdulmalik Abdulkarim Amrullah (Buya Hamka) menyebutkan beberapa syarat yang harus dimiliki seorang dai agar dakwahnya berhasil dengan baik, seperti mengetahui Al-Qur’an, hadis, sejarah Rasulullah saw., al-khulafâ’ ar-râsyidûn, kondisi sosial masyarakat yang menerima dakwah, tata negara, dan beberapa syarat lain. Namun, Buya Hamka menegaskan bahwa syarat yang paling utama dan menentukan bagi keberhasilan dakwah adalah akhlak yang baik―yang jauh dari kepura-puraan dan kepalsuan (Tafsir al-Azhar, jilid 2: 872-876).
Baca Juga:  Syair Sufistik Hamzah Fansuri

Oleh karena itu, setiap dai harus memiliki akhlak yang baik agar dakwahnya berhasil dan diterima oleh masyarakat. Sebab, banyak pendakwah yang gagal karena memiliki akhlak yang buruk. Dalam hal ini, sekali saja seorang dai berbuat curang, maka masyarakat tidak akan memercayainya lagi untuk selama-lamanya (hlm. 876).

Menurut Maulana Habib Luthfi bin Yahya Pekalongan, dakwah dengan perilaku (sikap) yang baik lebih dibutuhkan daripada dakwah dengan lisan (ceramah). Sebab, perilaku yang baik merupakan bagian dakwah yang paling efektif (lihat akun Twitter @nahdlatululama, 05/02/2021).

Hal senada juga disampaikan oleh KH. M. Anwar Manshur (Pengasuh Pesantren Lirboyo). Menurutnya, dakwah dengan perilaku (sikap) yang baik lebih kuat (utama) daripada dakwah dengan lisan. Oleh karena itu, memberikan contoh dengan perilaku lebih kuat daripada hanya sekadar bicara. Sebab, bicara saja tanpa melaksanakannya hanya sia-sia belaka (lihat akun Twitter @NUCreativeMedia, 17/07/2018).

Di sisi lain, KH. Mustofa Bisri (Gus Mus) dalam salah satu ceramahnya memohon dengan sangat supaya para Habib, Kiai, dan Ustaz menghadirkan lagi akhlak dan kasih-sayang Rasulullah saw., baik berupa ucapan maupun perilaku. Sebab, masyarakat sekarang ini sedang rindu kepada akhlak dan perilaku santun Rasulullah saw. Menurutnya, ketika para Habib, Kiai, dan Ustaz itu menampilkan akhlak dan kasih-sayang Rasulullah saw. dalam kehidupan sehari-hari, maka orang-orang awam yang kurang paham kandungan Al-Qur’an dan hadis bisa menyimak dan meniru perilaku mereka. Wa Allâh A‘lam wa A‘lâ wa Akam.

Previous Article

Imam al-Ghazali: Puasamu di Tingkatan Mana?

Next Article

Angka Tujuh Angka Istimewa Bagi Agama, Tradisi dan Kepercayaan

Subscribe to our Newsletter

Subscribe to our email newsletter to get the latest posts delivered right to your email.
Pure inspiration, zero spam ✨