Imam al-Ghazali: Puasamu di Tingkatan Mana?

Imam al-Ghazali lahir di kota Thus, Iran, tahun 1058–1111 M. Ia adalah seorang ulama, filsuf, sufi dan teolog berpengaruh dalam dunia Islam. Karya-karyanya merasuk ke benak dan melekat di sanubari pembacanya. Tidak hanya itu, filsuf besar Mulla Shadra—pendiri dan penggagas aliran filsafat Hikmah Muta’āliyah—dan Syuhrawardi al-Maqtul—pelopor aliran Filsafat Iluminasi/Isyarāqiyah—juga terpengaruhi akan kedasyatan pemikiran al-Ghazali, khususnya pada kitab Misykāt al-Anwār. Bagi yang ingin mengetahui biografi dan perjalanan intelektualnya silahkan bisa membaca kitab Al-Munqizh min al-Dhalāl yang ditulis langsung oleh Al-Ghazali sendiri.

Kecerdasan, kedasyatan intelektual al-Ghazali terlihat dengan keberhasilannya dalam menulis hampir seluruh cabang keilmuan Islam. Di bidang filsafat ia menulis buku Maqashid al-Falasifah, Tahafut al-Falasifah. Di bidang politik dan kenegaraan lahir karya Nashihat al-Muluk, Suluk al-Sulthan, dan Mustazhiri. Pada bidang fiqh dan ushul fiqh menelurkan karya Al-Mustafa fi ‘Ilmi al-Ushul dan al-Wajiz al-Furu’. Di bidang akhlak dan tasawuf  lahir buku Mizan al-‘Amal, Ayyuhal Walad, Al-Adab fi al-Din, Ihya Ulumiddin dll. Dan di bidang tafsir lahir karya Misykat al-Anwar dan Jawahir Al-Qur’an dan masih segudang cabang keilmuan lain yang berhasil ia kuasai dan berkontribusi di dalamnya.

Terkait puasa, al-Ghazali menulis satu bab khusus di dalam Ihyā’ Ulūmiddīn tentang Asrār al-Shiyām. Tulisan ini sekedar teaser akan kedalaman makna puasa yang disandingan oleh Sang Hujjatul Islam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Thusi al-Ghazali. 

Mengawali pembahasan tentang puasa, al-Ghazali menghadirkan segudang riwayat terkait keutamaan puasa di antaranya:

“Setiap kebaikan akan dilipat gandakan sepuluh hingga tujuh ratus kali lipat, kecuali puasa. Karena puasa adalah ibadah untuk-Ku (Allah) dan Aku sendiri yang akan membalasnya”.

“Setan itu bersirkulasi pada diri manusia melalui aliran darah. Maka, persempitlah (potonglah) jalannya dengan lapar (puasa)”. Dalam riwayat lain, Nabi pernah berkata kepada Siti A’isyah ra. “Ketuklah pintu surga secara kontinu dengan lapar (puasa)”.

“Seandainya para setan tidak mengitari/mengerubuti hati manusia, niscaya manusia dapat menyaksikan (keagungan/kemahadasyatan) kerajaan langit. Maka, puasalah karena ia dapat menumbangkan/memusnahkan syahwat”.

Tentu, agar kita merasakan segudang manfaat puasa secara riil seperti Allah sendiri yang akan mengganjar orang yang puasa, dengan berpuasa kita akan merasakan keagungan kerajaan langit, kita akan memperoleh surga, serta kita akan merasakan kedekatan “intim” dengan Allah swt. Itu semua tidak akan dirasakan oleh seluruh manusia, mengingat kualitas ibadah—khususnya ibadah puasa—serta motivasi manusia bertingkat-tingkat.

Baca Juga:  Yang Sirna dari Kita: Tabayun

Adanya hadis Nabi yang menyatakan, “Banyak di antara umatku yang berpuasa hanya mendapatkan perasaan haus dan lapar”. Ini mengindikasikan bahwa setiap manusia itu berbeda-beda dalam memperoleh manfaat puasa. Manfaat yang nyata tentang puasa akan diperoleh bagi manusia yang sungguh-sungguh dalam mengolah batinnya. Inilah yang kemudian dikenal dalam term tasawuf dikenal dengan istilah isti’dād. Yaitu kesiapan seorang insan untuk menerima pancaran Ilahi ke dalam diri masing-masing. Setiap manusia yang berhasil menaiki level maqam yang lebih tinggi, maka kesiapan (isti’dād) manusia untuk menjadi lokus (wadah) cahaya Allah akan semakin besar nan luas. Begitu juga tentang puasa.   

Menurut Imam al-Ghazali, puasa itu memiliki tiga tingkatan: Tingkatan pertama adalah puasanya orang umum (shaum al-‘umūm). Pada tingkatan ini manusia berpuasa hanya mencegah perut dan kemaluannya dari hal-hal yang membatalkannya.

Tingkatan kedua adalah puasanya orang khusus (shaum al-khushūsh). Yakni tidak hanya mencegah makan dan minum, tetapi tercegahnya pendengaran, penglihatan, lisan, tangan, kaki dan anggota tubuh lainnya dari perbuatan-perbuatan yang melanggar hukum (dosa).

Tingkatan ketiga adalah puasanya orang yang super khusus (shaum khushūsh al-khushūsh), yakni puasanya hati dari keinginan rendah seperti menyibukkan diri terhadap urusan duniawi dan tercegah dari Allah secara umum. Terkait golongan ini, Imam al-Qusyairi di dalam Risalahnya—tepatnya pada bab tentang zikir—mengutip ucapan seorang rahib Yahudi, ia berkata: “Saya puasa dengan mengingat-Nya. Apabila saya mengingat selain Dia, berarti saya telah berbuka”.

Mengakhiri tulisan ini, mari kita muhasabah diri masing-masing. Sudah di tingkatan mana selama bertahun-tahun kita menjalani ritus ibadah puasa? Apakah spirit puasa telah merasuk ke dalam diri? Apakah kita telah merasakan kelezatan berpuasa yang membuat jiwa, batin kita tenang? Atau kita masih berada di tingkatan yang dirasakan tidak lain hanyalah rasa lapar dan dahaga?

Baca Juga:  Bahagia Bersama Tuhan: Catatan Ngaji Kimiya-u as-Sa’adah

Tentu, semua itu butuh proses, butuh mujāhadah—perang hebat untuk menundukkan hawa nafsu dan kemauan jiwa rendah—secara kontinu, agar kita merasakan secara riil janji-janji Allah yang telah disampaikan lewat Nabi-Nya terkait manfaat dan kesempurnaan puasa. Yang jelas di mana pun levelnya, kita tidak boleh berhenti untuk berusaha semaksimal mungkin agar lebih baik dan tidak boleh berputus asa akan rahmat Allah. Allah berfirman:

“Katakanlah (Nabi Muhammad saw.): ‘Setiap orang hendaklah berbuat menurut keadaan (jiwa dan maqam spiritual)-nya (masing-masing)'”...(QS. Al-Isra’ [17]: 84).

Semoga Allah selalu membimbing dan menunjukkan kita agar bisa memperbaiki kualitas ibadah kita terutama puasa, dan semoga Allah menuntun kita untuk menuju jalan agar kita lebih dekat lagi bersama-Nya. Al-Qur’an siratkan, “Demi (keagungan dan kekuasaan Kami)! Sungguh, Kami telah menciptakan manusia dan Kami mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami (Allah) lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya” (QS. Qaf [50]:16).

0 Shares:
You May Also Like