ANARKISME EPISTEMOLOGI PAUL K. FEYERABEND: KENAPA SAINS MALAH MENJADI AGAMA BARU?

Oleh: Rahayu Syahidah Karbela

Mahasiswi Pascasarjana STFI Sadra Jakarta

Berbicara masalah sains kita akan teringat sosok Stephen Hawking, seorang tokoh  yang mempunyai pengaruh besar dalam bidang sains. Ia mulai serius belajar sejak usia 21 tahun ketika masuk di Universitas Oxford dan sejak saat itu ia didiagnosis mengalami kelumpuhan saraf, bahkan untuk berbicara saja harus menggunakan alat. Dalam ramalannya, tidak lama lagi peradaban manusia akan habis dikuasai oleh ciptaan manusia sendiri yang dinamakan artitificial intellegence. Jadi kita akan diperbudak oleh mesin. Sekarang pun sudah mulai terlihat, di mana-mana kita diatur oleh mesin kecil. Contohnya handphone yang ada dalam genggaman kita, yang seolah-olah kita tidak bisa lepas darinya. Seakan hidup tidak sempurna tanpanya. Kemudian contoh lainnya adalah mesin absen, pegawai-pegawai atau pekerja setiap harinya diatur oleh mesin tersebut. Apalagi sekarang di beberapa restoran para pegawainya digantikan oleh robot. Manusia tidak banyak gerak lagi karena serba otomatis. Semuanya sudah dikuasai oleh artitificial intellegence. Hal tersebut yang akan mengakhiri peradaan manusia sendiri. Manusia sudah tidak manusiawi.

 Salah satu tokoh yang mengkritik peradaban Barat yang terlalu mendewakan makhluk yang bernama sains ialah Paul K. Feyerabend. Teorinya yang terkenal adalah Anarkhisme Epistemologi. Ia adalah filsuf yang lahir pada tahun 1924 dan meninggal pada tahun 1994. Paul K. Feyerabend dianggap figur yang radikal. Beliau tidak suka disebut “filsuf” dan lebih suka menyebut dirinya sebagai “entertainer” artinya penghibur. Filsafat yang dikenal mengerikan, tetapi menurutnya pada level tertentu filsafat justru menyenangkan dan bisa menghibur dengan gagasan-gagasannya tidak sama dengan yang lain. Cara berpikir beliau secara karakter ide dapat dibandingkan dengan Nietzsche. Gagasan-gagasannya “liar” sering menyatakan hal-hal provokatif meskipun belum sepenuhnya yakin, hanya untuk melihat reaksi pendengar atau pembacanya. Seperti gagasan Nietzsche yang menyatakan bahwa “tuhan telah mati” banyak orang yang sibuk membahas pernyataannya.

Gagasan Paul K. Feyerabend yang terkenal adalah Anti Metode. Ia merancang satu buku yang berisi kritik atau bantahan terhadap Lakatos yang direncanakan berjudul “For and Against Method”. Sayangnya, Lakatos meninggal dunia saat tulisan tersebut baru separuh selesai, dan akhirnya yang separuh itu diterbitkan dengan judul “against method”.

Pandangan Paul K. Feyerabend sering disebut sebagai “anarkisme epistemologis” karena sains diasumsikan harusnya tanpa aturan apapun “anything goes”. Menurutnya gagasan seaneh atau seunik apapun dalam sejarah umat manusia pasti pernah bermanfaat. Sebutlah satu metode, perangkat aturan apapun, yang pernah disepakati atau diikuti orang dalam sejarah. Pasti metode atau aturan tersebut pernah melahirkan satu temuan penting atau bermakna. Contoh dalam teori filsafat Yunani Kuna ketika Thales mengatakan inti dari alam semesta ini adalah air. Pada zaman tersebut teori tersebut mempunyai sumbangsih pada zamannya. Kita bisa mengambil manfaat dari teori tersebut. Maka dari itu, sains tidak boleh terlalu dibakukan.

Baca Juga:  Sama Seperti Kita, Al-Ghazali Pernah Depresi, Terpuruk, Lalu Bangkit

Menurut Paul K. Feyerabend ilmu itu seperti seni, yaitu satu bentuk kreativitas manusia dan harus tidak terlalu diikat atau dibatasi. Karena akan membatasi kreativitas dan membosankan. Seperti halnya para ilmuwan menurut Paul K. Feyerabend jangan terlalu “pakem” terhadap aturan-aturan atau penelitian-penelitian sebelumnya. Agar pengetahuan itu berkembang. Oleh karena itu, daripada objektifitas, sains lebih memerlukan subjektifitas.

Paul K. Feyerabend sepakat dengan Thomas Khun tentang incommensurability dari satu paradigma. Jadi, setiap paradigma mempunyai logic-nya sendiri. Tidak bisa dibandingkan setiap teori atau konsep, karena setiap teori mempunyai keunikan-keunikannya sendiri. Kemudian menurut Paul K. Feyerabend persepsi itu tidak hanya theory laden, tetapi theory determined. Teori mengajari kita apa yang dapat dipahami. Teori itu seperti kacamata yang kita bawa ke mana-mana, apa pun yang kita lihat, sesuai dengan kaca mata yang kita gunakan.

Gagasan against method mengingatkan para pembacanya bahwa ia tidak selalu mengatakan apa yang ia percayai. Ia sering hanya bermaksud “membuat orang berpikir sendiri”. Namun ia tidak melakukan hal ini hanya secara iseng belaka, namun untuk menunjukkan apa yang terjadi jika seseorang terlalu percaya dengan akal atau teori atau metode tertentu.  Paul K. Feyerabend sering menyatakan secara berlawanan hal-hal yang sangat dipercaya masyarakat. Misalnya ia mendukung kreasionisme, bukan karena ia setuju, namun ia ingin “menggoda” para “penyembah” teori evolusi. Paul K. Feyerabend tidak menentang sains, namun hanya mengkritisi arogansi dogmatik yang sering menyertainya. Secara umum pesannya kepada ilmuwan adalah “Don’t take yourselves so seriously”. Sains hanya salah satu model atau gaya untuk menghadapi realitas.

Sains di Dunia Modern seperti Agama Baru

Paul K. Feyerabend sangat mengagumi Galileo, karena Galileo berani menentang tirani gereja untuk membela ide-ide sainsnya. Hari ini, sains telah menjadi agama baru, semua yang tidak saintifik atau tidak ilmiah disebut kuna, belum beradab dalam arti menindas semua yang tidak sepakat dengannya. Sains hari ini, menentang kreativitas dan imajinasi manusia. Sains terlalu mengekang. Sains tidak hanya mewajibkan setiap orang yang mempercayai hal yang sama, namun juga berpikir dengan cara yang sama. Sains dapat menjadi sangat tidak toleran terhadap perbedaan sebagaimana agama. Rasa benar sendiri dan arogan dari banyak ilmuwan adalah ancaman bagi kebebasan berpikir manusia. Sains seperti agama, banyak aturan atau ritual-ritualnya. Sains hari ini yang empiris dan rasional, jika tidak sesuai dengan faktanya, maka tidak diterima atau dianggap salah. Hari ini manusia ditindas oleh arogansi ilmuwan. Agama yang dulu ‘menindas’, hari ini sains yang menindas. Sains jadi agama baru. “The separation of state and church must be complemented by the separation of state and science, that most recent, most aggressive and most dogmatic religion institution.”

 

 

Estetika Ilmu dan Saintifik Pluralisme

Baca Juga:  Rahmat-Mu Meliputi Segala Sesuatu

 Einstein, sebelum menguji teori relativitasnya, menyatakan bahwa ia tahu teorinya benar karena “it was beautiful”. Paul K. Feyerabend menjadikan aspek keindahan ini sebagai pendekatannya terhadap sains. Teori yang indah lebih berharga dibandingkan teori yang masuk akal. Karena pemahaman kita terhadap apa yang dianggap tidak masuk akal sangat terbatas, bahkan seringkali teori yang dianggap tidak masuk akal dapat bermanfaat dalam sains. Sains sudah indah, jangan kotori dengan dogma-dogma.

Kompetensi antar teori dapat mengungkap kelebihan dan kekurangan yang tidak kita perhatikan, maka para ilmuwan cukuplah kreatif dengan selalu memproduksi teori baru sepanjang waktu, tanpa harus sibuk dengan kemasuk-akalan (dan tanpa harus menunggu “krisis” sebagaimana pandangan Thomas Khun). Bahkan seandainya teori-teori baru itu keliru, tetap saja ia memberikan wawasan-wawasan baru.

Arogansi Ilmuwan

Para ilmuwan mengatakan bahwa sains lebih unggul daripada agama kerena dua hal; pertama, karena ilmu pengetahuan mempunyai metode yang benar untuk mencapai hasil-hasilnya. Kedua,  karena ada hasil yang dapat diajukan sebagai bukti keunggulan science. Paul K. Feyerabend menegaskan bahwa ia menolak kedua anggapan tersebut, ilmu pengetahuan tidak mengungguli bidang-bidang dan bentuk-bentuk pengetahuan lain, kalau sekarang toh ilmu pengetahuan lebih unggul, bukan karena memang keunggulan atas yang lain dengan kedua alasan yang dikemukakan di atas, tetapi karena propoganda ilmuwan dengan adanya tolok ukur institusional yang diberi wewenang untuk memutuskannya.

Satu hal yang dilupakan oleh ilmuwan adalah sejarah peneliti. Setiap individu dilahirkan ke dalam masyarakat yang telah eksis, dan dalam pengertian itu masyarakat bukanlah pilihannya yang bebas. Kebebasan yang ia miliki tergantung dengan posisi yang ia duduki di dalam struktur sosial merupakan prasyarat untuk tidak mengerti tentang kebebasan individu. Ilmuwan juga masih terbatasi dengan “alam” sosialnya dalam masa penelitian dan juga “alam” sehari-harinya, ia bergantung dengan instrumen yang digunakan, banyaknya uang yang disediakan sponsor, sikap dari koleganya, kecakapan asistennya, teman sepergaulannya dll. Jadi sains yang selalu dibanggakan itu sifatnya juga terbatas.

Historitas ilmu menurut Feyerabend tidak ada metodologi yang bisa tahan terhadap perubahan, mengingat kompleksitas sejarah maka tidak masuk akal mengharapkan ilmu dapat diterangkan hanya atas dasar beberapa hukum yang simplistik dan superfisial. Sejarah ilmu pengetahuan tidak hanya terbatas pada fakta-fakta dan kesimpulan yang diambil dari fakta tersebut, tapi juga berisi ide-ide, interpretasi terhadap fakta-fakta, permasalahan yang timbul karena kesalahan interpretasi, interpretasi yang bertentangan dan sebagainya. Berdasarkan analisis kritis historis, Feyerabend berpendapat bahwa para ilmuwan hanya melihat dimensi ide belaka. Sehingga pemahaman ilmuwan tentang sejarah ilmu pengetahuan menjadi rancu dan kurang komprehensif.

Baca Juga:  Samora Machel: Pemikir dan Pejuang (Marxis-Leninis) Mozambik

Lalu, untuk bisa kreatif Feyerabend harus melakukan counter induction. Karena dalam sains, metode yang paling diagungkan adalah induksi, di mana ia hanya melihat sampel-sampel kemudian disimpulkan. Counter induction yaitu bermaksud menyodorkan beberapa fakta yang tidak bisa masuk ke dalam daya jangkau teori, sehingga terlihat dengan jelas batas-batas teori untuk kemudian tidak menjadi fasist dan chauvinist. Counter induction juga mempunyai tujuan untuk menjelaskan kesenjangan antara teori dan observasi. Prinsip ini juga yang kemudian bertautan dengan pandangan Feyerabend terhadap ketergantungan observasi pada teori. Observasi memang masih merupakan instrument utama dalam memperoleh ilmu pengetahuan, tapi Feyerabend menolak klaim bahwa terdapat observasi murni yang menegasikan subjektivisme manusia. Sederhananya, untuk membuat counter induction adalah lawan dengan fakta yang bertentangan dengan teori yang diajukan, maka batal atau gugurlah teori tersebut. “No single theory ever agrees with all the facts in its domain.”.

Maka jangan terlalu bergantung pada sains karena sains bergantung pada observasi, observasi bergantung pada teori, teori bergantung kepada pengalaman dan pemahaman, pengalaman dan pemahaman terjadi melalui bahasa.

Tidak ada pengalaman “murni” tanpa interpretasi. Pengalaman yang sudah direfleksikan atau diinterpretasikan berarti sudah dirumuskan dalam bahasa. Setiap orang berpikir, berbicara, menulis melalui bahasa. Bahasa membentuk tradisi. Maka kebenaran terkait dengan bahasa dan berada dalam tradisi. Artinya bahwa sains sifatnya subjektif.

Artinya ada 2 prinsip dalam sains:

  1. Anything Goes. Secara harfiah artinya apapun boleh. Seluruh metodologi, bahkan yang paling jelas sekalipun memiliki keterbatasan. Seluruh metodologi memiliki keterbatasan-keterbatasan, dan satu-satunya aturan yang dapat bertahan ialah anything goes.
  2. Proliferation. Secara harfiah membiarkan semua berkembang sendiri-sendiri, maksudnya kita tidak bekerja dengan sistem pemikiran, bentuk-bentuk kehidupan dan kerangka yang tunggal, ini berarti pemberlakuan pluralisme teori, bentuk-bentuk kehidupan dan kerangka institusional, hal ini juga berarti memberikan kesempatan pada bentuk paling aneh sekalipun.

 

Maka sains adalah teori yang anarchism, jangan terlalu dikekang, biarkan dia berkembang. Jangan terlalu kaku, karena akan mematikan sains itu sendiri. Feyerabend  disebut sebagai orang yang anti terhadap sains, karena muncul pernyataan darinya, “Most scientists today are devoid of ideas, full of fear, intent on producing some paltry result so that they can add to the flood of inane papers that now constitutes scientific progress in many area”.

0 Shares:
You May Also Like