Agama Hijau

Oleh: Bil Hamdi

Mahasiswa STFI Sadra Jakarta

Bumi adalah tempat kita berpijak dan menjalani kehidupan. Allah dengan sifat Ar-Rahman-Nya telah menyediakan alam yang seimbang agar kita bisa hidup dengan tenang di dalamnya. Tidak bisa dipungkiri bahwa munculnya suatu kehidupan sangat bergantung terhadap lingkungan dan alam. Hidup di lingkungan yang sehat dan baik tentu menjadi keinginan kita semua.

Memasuki era modern, kita dihadapkan pada berbagai masalah lingkungan yang sangat dilematis. Di satu sisi, kemajuan pembangunan dan industri dianggap sebagai tolok ukur kemajuan suatu bangsa, namun di sisi lain untuk memenuhi target pembangunan tersebut, tak jarang alam menjadi korban. Dengan alasan demi pertumbuhan ekonomi dan peningkatan investasi, alam menjadi bulan-bulanan eksploitasi. Kerusakan lingkungan hidup pun tak bisa lagi dihindari dan menjadi isu penting terkait persoalan kemanusiaan dan peradaban umat manusia modern.

Sebagai manusia, tidak bisa tidak kita mesti turut andil dalam usaha menyelamatkan lingkungan. Sebab, kelangsungan hidup kita sangat bergantung pada kondisi alam. Tak main-main, menurut Fritjop Capra, kita tengah menghadapi sebuah keadaan krisis lingkungan yang mendalam di seluruh dunia. Bahkan, ia menegaskan bahwa umat manusia sedang berhadapan dengan ancaman besar akan musnahnya manusia dari pentas dunia.

Dalam usaha mencari solusi atas keadaan pelik ini, Fritjop Capra menawarkan perubahan paradigma sebagai solusi mendasar dari krisis lingkungan hidup yang kita hadapi. Menurutnya, akar dari segala krisis global yang tengah kita hadapi tidak lain disebabkan oleh paradigma mekanistis-reduksionistis dalam memandang alam semesta. Dalam paradigma mekanistis-reduksionistis ini, alam hanya dipandang sebagai sebuah mesin raksasa yang tidak memiliki kemampuan rasional. Sedangkan manusia dipandang sebagai makhluk superior karena memiliki rasionalitas. Paradigma inilah yang menimbulkan sikap eksploitatif dan superioritas manusia terhadap alam.

Baca Juga:  Thariqah Ajaran Agama yang Paling Subtil Bagi Sayyed Hossein Nasr

Melalui kerangka berpikir Thomas Kuhn tentang  paradigm shift (perubahan paradigma), Fritjop Capra mengajak kita semua untuk secara radikal mengubah cara pandang kita dalam melihat alam semesta. Untuk itu, ia menawarkan paradigma sistemis, holistis dan ekologis, di mana dalam cara pandang ini alam semesta dipahami sebagai sesuatu yang memiliki nilai pada dirinya sendiri. Lebih dari itu, alam dan segala isinya dipandang sebagai sebuah kesatuan menyeluruh yang antara satu dan lainnya saling berkaitan. Oleh karena itu, merusak salah satu bagiannya sama saja dengan merusak sistemnya. (selengkapnya baca di A. Sonny Keraf, Filsafat Lingkungan Hidup)

Selain itu, Sayyed Hosein Nasr memberikan solusi lain yang menitikberatkan persoalan krisis lingkungan hidup ini sebagai akibat dari krisis spiritual umat manusia modern. Menurut Nasr, dipinggirkannya aspek spiritual dalam mengimbangi perkembangan sains dan teknologi, telah membuat manusia modern berpandangan bahwa mereka dapat menggunakan segala aset yang terdapat di alam tanpa batas. Hal ini bisa kita lihat sebagai identitas dari paradigma humanism-antroposentris di bawah pengaruh materialisme barat. Oleh karena itu, hal pertama yang perlu diperbaiki adalah pola relasi antara manusia dan alam semesta.

Alquran mengisyaratkan bahwa banyak sekali kerusakan pada lingkungan hidup yang disebabkan oleh perbuatan tangan manusia, yakni mereka yang memandang alam dalam paradigma mekanistis-reduksionistis. Orang-orang yang hanya menjadikan alam sebagai sapi perah yang mengandung nilai pragmatis semata. Allah berfirman dalam Alquran “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, sehingga akibatnya, Allah menjadikan mereka merasakan sebagian dari (akibat buruk) perbuatan mereka, supaya mereka kembali (ke jalan yang benar)” (QS. al-Rûm [30]: 41).

Baca Juga:  Guru Sufi tertentu Menerima Ajaran Tambahan dari Nabi di Luar Al-Qur’an dan Hadis. Benarkah ?

Bila kita amati, ayat tersebut berusaha menjelaskan realitas yang terjadi di tengah kita, bahwa seharusnya kita mampu melihat bencana dan kerusakan alam sebagai akibat dari perbuatan buruk manusia yang cepat atau lambat akan mempengaruhi kehidupan kita. Membiarkan kerusakan alam terus terjadi, sama saja dengan menjerumuskan umat manusia dalam kepunahan.

Dalam ajaran Islam, manusia dipandang sebagai makhluk yang mengemban amanah besar untuk menjaga bumi—lebih dari itu alam semesta—dari berbagai kerusakan. Allah berfirman, “(Ingatlah) ketika Tuhan Pemelihara kamu berfirman kepada para Malaikat: ‘Sesungguhnya Aku hendak menjadikan satu khalifah di bumi’. Mereka (para malaikar) berkata: ‘Apakah Engkau hendak menjadikan di (bumi) siapa yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami (selalu) bertasbih dengan memuji-Mu dan menyucikan-Mu?’ Dia berfirman: ‘Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”’ (QS. Al-Baqarah [2] : 30). Sebagai seorang khalifah, manusia dituntut untuk menjaga kelestarian alam. Sebuah amanah yang hanya diberikan kepada manusia, bahkan Allah tidak memberikan amanah itu kepada malaikat.

Berbagai permasalahan dan krisis lingkungan yang sedang kita hadapi, sejatinya merupakan bentuk pengkhianatan kita terhadap amanat yang diberikan oleh Allah. Dalam Alquran Allah berkali-kali memperingatkan bahwa ia tidak menyukai para pembuat kerusakan. Ayat ini tentu ditujukan kepada manusia sebagai sang khalifah fil ardh agar tidak menyeleweng dari tugasnya. Islam juga menekankan bahwa menjadi khalifah, artinya bertanggungjawab atas kehidupan, baik pribadi, orang lain serta alam. Kerusakan alam menunjukkan kerusakan umat manusia, yang berawal dari kerusakan pribadi yang tidak bertanggungjawab atas kehidupannya.

Solusi yang ditawarkan Islam tidak hanya sebatas slogan-slogan untuk menjaga bumi dari kerusakan, lebih dari itu. Seluruh manusia diajak untuk menyadari kembali tugasnya di bumi. Apa yang disebut sebagai Islamic deep ecology merupakan himbauan untuk lebih peka bahwa kerusakan yang lebih besar adalah kerusakan akhlak manusia. Inilah yang harus kita perbaiki terlebih dahulu. Memandang alam hanya sebatas mesin mekanis adalah kecacatan akhlak manusia modern. Padahal Allah dalam Alquran berfirman.

Baca Juga:  Ali Syariati: Manusia Antara Kesadaran dan Kebebasan (Bagian 1)

 “Sesungguhnya, dalam penciptaan langit dan bumi, silih berganti(nya) malam dan siang, benar-benar terdapat tanda-tanda (kemahakuasaan Allah swt.) bagi Ulul Albab (orang-orang yang berakal bersih, murni dan cerah). (Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah dalam keadaan berdiri atau duduk atau berbaring, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi: ‘Tuhan Pemelihara kami, tidaklah Engkau menciptakan ini sia-sia. Mahasuci Engkau, maka peliharalah kami dari azab neraka’” (QS. Ali-‘Imrân [3]: 190-191).

Dalam ayat ini, Allah menjelaskan bahwa diciptakannya alam, menjadi tanda bagi manusia untuk berpikir, betapa alam telah menjadi teman spiritual kita dalam menjalani kehidupan. Kita hidup, menjalani aktivitas, bekerja, serta beribadah di dalamnya. Perenungan seperti ini mengantarkan kita pada kesadaran bahwa tiadalah Allah menciptakan alam ini secara sia-sia. Alam memiliki makna pada dirinya sendiri. Bahkan ia juga ikut bertasbih sebagaimana manusia bertasbih. Sehingga jika pun solusi terbaik dalam mengatasi krisis lingkungan yang kita hadapi ini adalah perubahan paradigma, maka paradigma Qurani inilah yang kiranya perlu kita kembangkan dan teliti lebih lanjut. Dengan itu, diharapkan kita siap menyongsong masa depan yang cerah. Yakni keadaan di mana alam menjadi tempat kita bisa terus belajar, bekerja serta beribadah dalam keadaan berbahagia.

0 Shares:
You May Also Like