Mencari Identitas Sejati dalam Diri

Oleh : Sabihis Al-Bashir

Founder Great Insani Learning, Kandidat Magister Filsafat UIN Jakarta.

Seorang guru pernah mengatakan bahwa apapun yang kita letakkan paling utama dalam hidup, itulah yang akan menjadi puncak eksistensi diri kita. Jika kita berpikir bahwa pekerjaan adalah hal yang utama karena ia mendukung kehidupan kita, sesungguhnya itu adalah sebuah jalan pemikiran yang keliru. Yang sebenarnya mendukung kehidupan kita adalah the self, sang diri sejati, yakni Kesadaran-kita. Pekerjaan adalah salah satu channel atau saluran atau ekspresi dari the self. Namun, kita tidak menyadari ini. Kita hanya menganggap bahwa pekerjaan adalah segala-galanya, sementara kita melupakan sesuatu yang lebih besar di dalam diri kita. Itu sebabnya kita tidak pernah merasakan kebahagiaan dan kedamaian yang berkelanjutan, yang kita dapat setiap hari adalah penderitaan dan kekhawatiran.

Seandainya kita tahu bahwa Tuhan akan selalu menjaga hidup kita, dan kita hidup berdasarkan kesadaran ini di mana pun kita berada serta pekerjaan apapun yang kita lakukan tanpa ada kekhawatiran dan keraguan, niscaya hidup kita akan terasa damai dan harmoni. Kepanikan dan kekhawatiran adalah sumber segala masalah. Keraguan dan ketidakhadiran iman kepada Tuhan dan menjauhnya kita dari kesadaran adalah inti masalah itu sendiri. Bahkan, kesalahan halus yang sering kita lakukan adalah merasa jauh dan terpisah dari kesadaran Ilahi ini. Oleh karena itu, kita harus meletakkan perhatian dan usaha untuk menemukan kesadaran diri sebagai hal yang paling utama dalam hidup kita hingga akhirnya kita bisa menemukan diri sejati yang di dalam.

Lalu, bagaimana dengan liburan dan jalan-jalan, serta pekerjaan harian kita? Sebenarnya kemanapun kita pergi, kita membawa diri kita sendiri. Jika kita adalah orang yang sedang bersedih, kemanapun kita pergi kesedihan itu selalu ikut bersama kita. Demikian juga, kegalauan, kesedihan, kebahagiaan, kesenangan, kegelisahan, keraguan, kekhawatiran, kebingungan, dan harapan tidak berpindah tempat ketika kita pergi, mereka akan selalu ikut kemana saja kita pergi.

Mungkin kita berpikir mereka akan menghilang manakala kita ambil liburan dan jalan-jalan. Yes, untuk beberapa hari mungkin mereka akan diam dan tidak mengganggu liburan kita, tapi tidak lama kemudian mereka datang lagi memberi bumbu dalam perjalanan hidup kita. Jika kita sedang tidak merasa harmoni, kita melihat kesalahan di semua tempat dan keadaan. Hotel ini tidak nyaman. Restoran ini kurang bagus, makanannya kurang enak. Orang-orang di sekitar kita tidak menyenangkan dan kita merasa tidak diterima oleh semua orang. Itu semua terjadi di dalam diri kita dan bukan di luar diri kita. Di luar diri kita semuanya harmoni dan tidak gagal dalam ucapan dan perbuatan. Pahamilah ini secara mendalam.

Bagi orang yang ingin benar-benar bangun dan terbebas dari penderitaan, dia harus mengutamakan ajaran tentang pencerahan dalam hidupnya. Dia harus punya keinginan yang kuat untuk mendekati Tuhan, tidak hanya sekedar sambil angin lalu. Seringkali terjadi bagi banyak orang, ketika persoalan kehidupan semakin rumit, mereka mulai berpaling dari kesadaran akan Tuhan menuju kesadaran akan materi. Jika ini terjadi, hal itu menunjukan bahwa kita belum punya keinginan yang cukup kuat untuk bangun dan tercerahkan.

Baca Juga:  Mencintamu adalah Kezaliman: Tafsir QS. Yunus [10]: 13 Perspektif Imam Al-Qusyairi

Kita harus sampai pada suatu kesimpulan bahwa kedamaian dan kebahagiaan itu adanya di dalam kita, bukan di luar diri kita. Tapi untuk mencapai itu, sesuatu dalam diri kita haruslah kuat. Jiwa dan ruh kita haruslah kuat, jangan lemah. Kalau jiwa dan ruh kita kuat, kita akan merasakan kebahagiaan dan kedamaian itu mengalir bersama kehidupan kita setiap hari.

Ingatlah, semua realitas dan kejadian yang kita alami selama ini adalah ekspresi atau proyeksi dari jiwa dan ruh kita sendiri. Oleh karena itu, jika kita mencari kedamaian dan kebahagiaan, ia ada di dalam diri kita. Jika kita ingin merubah suasana di lingkungan sekitar kita, jawabannya juga ada di dalam diri kita. Apapun yang kita butuhkan untuk menikmati hidup ini itu ada juga di dalam diri kita. Kita harus bertanya secara tulus pada diri kita sendiri, apa benar aku ini ingin damai dan bahagia serta tercerahkan?

Apabila kita berbuat baik, maka tentu akan menuai hasil perbuatan baik kita. Terkadang kita menghindar dari menjalani kehidupan spiritual karena kita merasa kita sudah bahagia. Sejak kita memiliki hal-hal baik dalam hidup selalu terjadi pada kita, kita lupa bahwa segala sesuatu itu berubah. Keberuntungan kita mungkin akan berakhir hari esok, dan itu bisa saja terjadi. Hari ini kita bahagia dan merasa keberuntungan berpihak pada kita, mungkin saja esok hari atau lain waktu kita menjadi orang yang paling menderita.

Alam dunia ini adalah gurauan semesta. Ia bermain dengan kita. Ia ingin kita menjadi bergantung kepadanya. Pikiran kita terbentuk dengan sangat kuat untuk meneguhkan betapa terikatnya kita dengan alam material ini. Hanya sedikit orang yang mampu menghindari keterikatan ini. Dalam kitab suci dikatakan, di antara seribu orang manusia hanya satu yang benar-benar mencari Tuhan. Dan di antara seribu orang itu pula hanya satu orang mampu menemukannya. Hal ini bukan karena sulit menemukan Tuhan melainkan karena keterikatan kita yang terlalu kuat dengan kehidupan material dan tidak benar-benar ingin mencari pembebasan darinya.

Kita tidak mungkin menemukan jati diri atau mendekati Tuhan manakala kita asyik dengan kehidupan material ini. Tapi, bukan berarti kita juga harus menjadi pertapa dan menanggalkan kehidupan duniawi. Hanya yang perlu kita lakukan adalah menetapkan apa tujuan utama dalam hidup kita. Apakah tujuan utama kita itu mencapai kenikmatan, mencapai kekayaan, kekuasaan dan popularitas atau sesuatu yang lebih tinggi dari itu? Diri kita akan lelah jika terus-terusan memperjuangkan hal-hal yang sementara ini, sampai suatu saat kita dibenturkan pada kenyataan terbawah kita yaitu sakit, tua, menderita, dan segalanya hilang terambil dari kita. Maka, katakan, “Tidak!” Sebab itu semua adalah sekunder. Yang primer adalah menemukan ‘diri sejati’ kita, dan fokuslah ke sana.

Baca Juga:  ISLAM, A WAY OF LIFE?

Seandainya kita percaya bahwa segala sesuatu telah berada dalam takdirnya dan segalanya dicukupi oleh Tuhan, maka itu sangat mungkin terjadi manakali kita bisa menemukan ‘diri sejati’ kita. Bahkan, ‘diri sejati’ itu akan lebih baik melakukan pekerjaannya menjaga dan mencukupi kehidupan kita lebih dari yang kita lakukan. Oleh karena itu, kita tidak perlu terus-menerus memikirkan urusan dunia dan keinginan dari tubuh ini sepanjang waktu, melainkan fokus lebih banyak mencari ‘diri sejati’ kita sebelum habis masa waktunya.

Kita harus mulai mengerti bahwa hanya diri kita yang dapat melarutkan ilusi kehidupan sementara ini dan bangun untuk menemukan kebenaran dari ‘diri sejati’ kita. Cukuplah mulai dengan kesadaran bertanya di mana kita sekarang dan apa yang kita lakukan sepanjang hari. Kita perlu bertanya lebih dalam apakah yang kita lakukan setiap hari ini benar-benar esensial untuk menemukan ‘diri sejati’ atau hanya sekedar rutinitas memenuhi ambisi hidup.

Pikiran kita mungkin berdalih dengan alasan hanya memenuhi kebutuhan hidup. Tapi coba kita merenung lagi, bukankah kebutuhan hidup yang tidak bisa dihindari ini adalah konsekuensi keinginan kita di masa lalu? Kita punya ‘kebutuhan’ membayar cicilan, itu karena ‘keinginan’ kita di masa sebelumnya. Kita ‘perlu’ menjaga dan mengembangkan perusahaan, itu karena ambisi kita di masa lalu. Ini tidak salah tapi kita tidak bisa lari dari konsekuensi. Kita hanya perlu melihat kehidupan kita dari sudut pandang yang lebih baik saja.

Coba renungkan hari ini saat kita mulai terbangun di pagi hari. Seberapa sering kita merenungkan keinginan untuk menemukan ‘diri sejati’. Atau jangan-jangan keinginan itu sudah hilang dan tergantikan oleh banyaknya pekerjaan serta ribetnya urus ini dan itu. Tiap bangun pagi, kita sibuk ngecek handphone, lihat orang update status tentang apa, lihat perkembangan politik dan ekonomi dunia seperti apa. Tiap bangun pagi kita langsung berpikir apa-apa saja yang akan kita kerjakan hari ini dan target apa yang harus kita capai. Lagi-lagi, ini tidaklah semuanya salah, tapi apa benar kita mau melakukan itu sepanjang hidup kita? Apakah benar kita tidak ingin menemukan ‘diri sejati’ kita sebelum kita mati?

Coba renungkan aktivitas harian kita saat kita terbangun di pagi hari. Seberapa sering kita mempraktikan perenungan dan pencarian tentang ‘diri sejati’ kita secara sungguh-sungguh. Seberapa sering kita memohon kepada Tuhan agar menolong kita keluar dari keterikatan ilusi duniawi kita. Seberapa sering kita ‘berpasrah’ kepada Tuhan agar kita diberi kecukupan, kebebasan, kedamaian dan kebahagiaan.

Dan sungguh, kita tidak sering melakukannya karena kita merasa mampu berdiri di atas kaki sendiri. Kita merasa adalah bagian dari situasi dunia, yang harus ikut membuat perubahan dan berlomba-lomba mencapai setiap keinginan kita. Kita merasa adalah bagian dari tempat yang kita tinggali. Kita merasa adalah bagian dari waktu, keadaan, personalitas, dan persoalan-persoalan di sekitar kita. Inilah yang dikatakan guru-guru sejati yang membuat kita lupa akan ‘diri sejati’ kita. Mereka mengatakan,’diri sejati’ itu sudah ada di dalam diri kita, sudah ada sejak lahir dan akan selalu ada. Pertanyaanya, apa yang sudah kita lakukan untuk membuktikannya?

Baca Juga:  Tambahkanlah Kekafiranku! : Pembahasan tentang Konsep Kafir

Saat kita khawatir, kita menjauh dari pencarian ‘diri sejati’ ini. Meskipun kita percaya bahwa kita memiliki sesuatu untuk dikhawatirkan. Dan hal itu mungkin sangat penting bagi kita tapi kalau kita lihat dari sudut pandang yang lebih tinggi hal itu sama sekali tidak perlu dikhawatirkan. Sama sekali tidak perlu dikhawatirkan. Tidak peduli bagaimana bentuk kekhawatiran itu muncul tapi sadarilah bahwa sesuatu yang membuat kita khawatir itu adalah sebentuk penampilan dari fenomena dunia yang akan merusak konsentrasi kita dalam pencarian ‘diri sejati’. Bukan berarti kita tidak peduli hal-hal yang mengkhawatirkan di sekitar kita melainkan kita harus mampu melihat darimana sumber kekhawatiran itu dan untuk apa kekhawatiran itu datang, dan siapa sesungguhnya yang sedang mengalami kekhawatiran itu. Jangan-jangan itu hanyalah pikiran kita saja sementara dalam realitasnya tidaklah demikian.

Saat kita memiliki rasa takut, ketakutan dalam bentuk apapun, lagi-lagi kita menjauhkan diri dari pencarian ‘diri sejati’ kita. Tetapi sebenarnya, apa sih yang kita takuti sementara kesadaran akan ‘diri sejati’ ada di dalam diri kita.

Di atas sudah disebutkan bahwa manakala kita sadar akan diri sejati kita, kita akan selalu dijaga oleh Tuhan. Kita tidak akan dibiarkan menderita. Kita tidak akan dibiarkan dalam kegelisahan, kecemasan, kepanikan, kebingungan dan keraguan. Melainkan kita akan dianugerahkan kesadaran, kedamaian, ketenangan, kebahagian, keyakinan dan keimanan. Tidak ada yang lain lagi. Kitab suci mengatakan, “Saat kita aman dalam hidup, maka saat itulah kita dalam perlindungan Tuhan”.

Oleh karena itu, hati-hatilah dengan pikiran kita sendiri yang sering ber-manuver menyebabkan rasa gelisah dan takut serta salah paham terhadap berbagai aspek dari kehidupan kita. Baik dan buruk adalah seperti dua sisi yang berbeda dari satu koin yang sama.

Dengan demikian, kita tidak perlu mencoba untuk merubah sikap buruk manusia menjadi sikap baik darinya. Kita hanya perlu melampaui keduanya. Sebab baik dan buruk itu tergantung dari sudut pandang mana kita melihat. Sudut pandang di mana tempat kita melihat dan menilai datang dari isi pikiran kita sendiri.

Isi pikiran kita sendiri tidak dapat menjadi sebuah ukuran kebenaran dalam menilai, kecuali pikiran kita dibimbing oleh ‘diri sejati’ yang sudah hadir dan aktif dalam diri kita. Tidak ada yang salah dalam setiap episode kehidupan kita. Terkadang, kita harus mengalami baik dan buruk suatu keadaan, sengsara dan gembira suatu peristiwa, salah dan benar dalam bersikap, semua itu justru untuk memperkuat otot-otot hidup kita agar kita bisa mengambil hikmah dan pelajaran darinya, sehingga makin hari kualitas hidup kita makin bagi dari sudut pandang kesadaran diri sejati. []

 

0 Shares:
You May Also Like