Membangun Kembali Pengetahuan Religius dalam pandangan Muhammad Iqbal

Oleh: Achmad Fadel

Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Islam Sadra

Dalam buku Rekonstruksi Pemikiran Religius dalam Islam yang ditulis oleh Iqbal, pada bagian awalnya mengelaborasi aspek-aspek ketertinggalan pengetahuan dan pengalaman keagamaan. Iqbal ingin mengembalikan semangat pengetahuan Islam dengan landasan-landasan Qurani. Menurutnya, metode dan perhatian para pemikir Islam telah mengalami kemandegan sejak lima ratus tahun yang lalu. Semangat Iqbal adalah semangat anti klasik dan naturalisme. Dua hal ini menjadi intisari rekonstruksi pengetahuannya.

Dalam pandangannya, inti agama adalah iman, tetapi agama bukan hanya persoalan keindahan individual yang dialami masing-masing orang. Dalam bentuknya yang lebih maju, agama bersifat sosial dan mampu menyingkapkan pandangan realitas yang lebih utuh. Dibanding dengan akal, dalam satu sisi, hanya menangkap realitas secara sepotong-sepotong. Realitas dipandang sebagai jasad yang dipatuk satu-persatu untuk mengambil potongan-potongan dari jasad itu. Meskipun begitu, ia tetap mengatakan, “Sungguh, dilihat dari fungsinya, agama sangat membutuhkan landasan rasional dalam prinsip-prinsip pokoknya ketimbang dogma-dogma sains. Sains bisa saja mengabaikan metafisika rasional; dan memang sejauh ini telah mengabaikannya

Perkataan Iqbal itu mungkin saja disalahpahami sebagai justifikasi teologis secara rasional, atau filosofis, terhadap pokok-pokok akidah. Sebagaimana kita ketahui dalam pembahasan umum teologi Islam. Akan tetapi, jika kita membaca bab-bab selanjutnya, kita mendapati penolakan Iqbal terhadap argumen kalam yang banyak dipakai teolog maupun filsuf untuk membuktikan eksistensi Tuhan. Mulai dari pembuktian kosmologis yang memulainya dari konsep kausalitas hingga berakhir pada kemustahilan regresi tak terbatas (tasalsul); pembuktian teleologis tentang keberadaan pengatur yang menetapkan tujuan-tujuan alam semesta; hingga ontologis yang selalu berkutat pada konsep-konsep usang ­wujud serta pembagian-pembagiannya. Pembuktian itu cukup rapuh, menurutnya. Meskipun setelah itu ia tidak mencoba melakukan pembuktian secara sistematis, kecuali dengan analisis ego menuju realitas waktu sebagai durasi murni. Dari situ ia mendapati Tuhan sebagai Ego mutlak yang berhubungan dengan ego-ego terbatas, yaitu manusia dan alam semesta berdasarkan derajatnya masing-masing.

Baca Juga:  Islam Agama Cinta, Muhammad Nabi Cinta

Semangat Islam yang sebenarnya merupakan semangat empirik untuk berhubungan dengan alam semesta. Tanpa ragu-ragu ia menyebut orang yang melakukan pengamatan mendalam terhadap alam tidak ada bedanya dengan seorang pesalik. Karena itu, tujuan pokok Al-Qur’an adalah membangkitkan kesadaran tertinggi manusia dalam segala aspek dengan hubungannya dengan Tuhan dan alam semesta. Sangat jarang kita memerhatikan bagaimana Al-Qur’an menggambarkan tumbuh-tumbuhan, serangga, bintang-bintang dan fenomena alam lainnya. Membangkitkan lagi semangat itu akan membangun peradaban Islam yang selama lima ratus tahun praktis berjalan di tempat.

Ketidakterbatasan Akal

Al-Ghazali dan Immanuel Kant memiliki konsep filosofis tentang keterbatasan akal. Al-Ghazali tidak mampu mengafirmasi kemungkinan pengetahuan tentang Tuhan secara analitis setelah melakukan pengkajian panjang lebar, di akhir hidupnya dia beralih pada pengalaman mistik dan di situlah dia mendapatkan kandungan agama yang independen. Oleh karena itu, akal diperhadapkan oleh intuisi sebagai alat epistemologi yang lain pengalaman mistik secara internal. Di satu sisi, Immanuel Kant menghasilkan kesimpulan yang sama dengan proses berbeda. Kant mendapati bahwa akal dibatasi oleh ruang dan waktu sebagai proses mengetahui tahap pertama. Kemudian, tahap selanjutnya akal hanya mampu beroperasi dalam cakupan dua belas kategori. Konstruksi batasan-batasan itulah yang menghalangi kemungkinan memahami Tuhan. Dua pemikiran ini sangat berpengaruh dalam membentuk pandangan kita saat ini. Karena akal terbatas maka tidak mungkin ia memahami yang Tak Terbatas.

Akan tetapi, Iqbal menampik keterbatasan akal secara aktual tanpa ada kemungkinan mengalami perkembangan melampaui batasan-batasannya yang sudah ada. Dalam persoalan ini, ia mengkritik Al-Ghazali dan Kant karena telah gagal melihat bahwa pikiran saat bertindak mengetahui sebenarnya telah melewati keterbatasannya sendiri. Berbeda dengan alam yang keterbatasannya bersifat saling menafikan, pikiran dalam watak sejatinya tidak bisa terkurung oleh watak individualitasnya. Maksudnya, saat proses berpikir dilakukan pada saat yang sama itulah ia melampaui dirinya. Seperti yang dilakukan Kant dalam membatasi akalnya, sebenarnya sudah melampaui batas-batas akal yang dia buat sendiri, karena dengan memahami itu individualitas akal telah membuat wilayah baru yang berbeda dengan batasan-batasannya. Dengan indah Iqbal mengungkapkan, “Melalui partisipasi progresif dalam kehidupan yang tampak asing itulah, maka pikiran dapat menembus dinding-dinding keterbatasannya dan memasuki ketidakterbatasan potensialnya”.

Baca Juga:  Umat Islam Hari Ini: Mengubur Epistemologi, Menyuburkan Provokasi

 

Semangat Anti Klasik dan Empirik

Secara khusus klasik bisa ditujukan pada pemikiran-pemikiran Yunani dan fisika klasik yang berpandangan statis dan beku melihat alam semesta. Memahami metafisika dunia Iqbal yang sangat rumit tidak bisa diuraikan dalam ruang yang sempit ini. Alam semesta adalah proses kreatif, dinamis dan berhubungan secara organik. Secara sederhana ia menyesuaikan pandangan Al-Qur’an tentang penafsiran ayat pergantian siang dan malam secara filosofis dengan pandangan Bergson tentang waktu. Jika pandangan klasik hingga modern awal memahami fondasi bangunan alam berasal dari materi atomis yang ditempatkan dalam ruang hampa, maka Iqbal memahaminya sebagai waktu dalam artian durasi murni yang tidak membedakan dulu, kini, dan nanti secara serial. Pembagian itu pada hakikatnya bentukan pikiran, sebagaimana materi-materi statis dan hukum kausalitas yang mekanistik oleh para filsuf.

Semangat anti klasik itu diperbandingkan dengan semangat modern memahami pemikiran-pemikiran yang berkembang dan di suatu sejarahnya. Namun, bukan berarti melupakan dan menghilangkan sejarah dan masa lalu. Unsur konservatif tidak bisa dipisahkan dalam semangat kreatifitas karena terhubung secara organis. Oleh karena itu, kita tetap harus mengetahui dan memahami sebagai landasan perkembangan manusia secara kreatif. Perhatian secara empirik juga tidak menghilangkan usaha pengalaman mistik, justru Iqbal memposisikannya sederajat dengan pengalaman empirik. Perbedaannya hanya terletak pada eksternalitas dan internalitas tanda-tanda Tuhan yang tampak. Seperti Tuhan yang menampak pada diri-diri (anfus) dan penjuru semesta (afaq).

0 Shares:
You May Also Like