Menengok Kembali Semangat Persatuan Soekarno

Oleh: Cusdiawan

Mahasiswa Program Magister Ilmu Politik Universitas Padjadjaran

Dalam buku Sukarno, Marxisme dan Leninisme yang dtulis oleh Peter Kasenda (2014), dijelaskan bahwa masa pertumbuhan Soekarno ditandai dengan pergulatan yang tengah terjadi di antara tokoh-tokoh pergerakan Indonesia. Soekarno menyaksikan bagaimana pertentangan terjadi di dalam tubuh Sarekat Islam, di mana terdapat perpecahan yang membagi Sarekat Islam (SI) menjadi dua kubu, yakni Sarekat Islam Merah dan Sarekat Islam Putih.

Salah satu narasi yang berkembang saat itu, yakni pandangan dari SI Putih bahwa SI Merah lebih mementingkan revolusi dunia dibandingkan nasib bangsa Indonesia, sementara bagi SI Merah, SI (Putih) mengabdikan diri pada Pan Islamisme, dan bukan pada penderitaan rakyat Indonesia.

Soekarno yang saat itu masih sangat muda, menyayangkan adanya perpecahan tersebut. Karena baginya, yang paling penting adalah semangat persatuan. Bagi saya, apa yang ditunjukkan oleh Soekarno untuk ukuran seorang yang masih sangat muda saat itu, merupakan hal yang luar biasa, dan sudah menunjukkan tanda-tanda bahwa ia merupakan seorang intelektual progresif dan visioner.

Dalam buku Sukarno dan Modernisme Islam yang ditulis oleh M. Ridwan Lubis (2010), dikatakan bahwa setelah menerima bimbingan dari Tjokroaminoto dan K.H Ahmad Dahlan, Soekarno memperlihatkan ketertarikannya pada Islam sebagai suatu ajaran yang menekankan segi rasionalitas dan bersifat dinamis. Di samping itu, Soekarno melengkapi diri dengan sejumlah bacaan tentang sejarah, filsafat dan sebagainya.

Pada 1921, sebagaimana yang ditulis oleh Peter Kasenda (2014), Soekarno lulus dari HBS Surabaya, dan kemudian melanjutkan studinya di THS Bandung. Di periode pendidikan tinggi inilah, Soekarno  menemukan bentuk pemikirannya yang kian matang.

Soekarno kemudian bergabung dengan Algemeene Studie Club, lembaga ini menerbitkan majalahnya sendiri yang diberi nama “Indonesia Muda”. Lewat majalah ini, Soekarno menulis pemikirannya, salah satunya yaitu Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme.

Dari tulisan itulah, nampak jelas bagaimana persatuan menjadi ciri khas utama dari pemikiran Soekarno. Alih-alih membuat perbedaan-perbedaan dan pertentangan yang tajam antar masing-masing pemikiran, Soekarno justru berusaha mecari titik temu antar masing-masing pemikiran tersebut, karena baginya, sukses (terbebas dari kolonialisme) bisa terwujud dengan menggabungkan kekuataan-kekuataan yang berbeda tersebut.

Baca Juga:  Meneladani Moh Hatta (4): Solidaritas Global dan Arti Penting Kemerdekaan

Soekarno menulis bahwa “kapal yang akan membawa kita kepada Indonesia merdeka adalah kapal persatuan”. Bagi Soekarno, paham kosmopolitan seperti marxisme tidak bertentangan dengan nasionalisme. Artinya, seorang marxis bisa dianggap sekaligus menjadi seorang nasionalis.

Pandangan Soekarno ini didasarkan pada bahwa di negara-negara jajahan kolonial, musuh para nasionalis sama dengan musuh orang marxis di dunia Barat, yakni kapitalisme dan imprealisme. Dari sini, sangat jelas, Soekarno menarik titik garis yang dapat mempertemukan kedua pemikiran tersebut, yakni sama-sama memiliki semangat untuk menikam kolonialisme.

Selanjutnya, Soekarno pun turut mengomentari Marxisme dan Islamisme. Gaya khas semangat persatuan Soekarno kembali diperlihatkannya, yang menyebut bahwa kaum Muslim tidak boleh lupa kapitalisme yang menjadi musuh kaum marxis, juga merupakan musuh kaum Muslim.

Soekarno menjelaskan mengenai inti-inti dari ajaran Marx, yaitu tentang nilai lebih, akumulasi modal, dan meningkatnya kemelaratan. Bagi Soekarno, semangat yang diusung oleh Marx tersebut sama dengan apa yang diajarkan oleh Nabi Muhammad saw. salah stau contohnya dalam soal menentang riba.

Saya rasa, meskipun saya menyadari cara berpikir Soekarno bisa dianggap elektik, karena menggabung-gabungkan berbagai tradisi pemikiran, yang sudah barang tentu menghadirkan masalah-masalah epistemologis. Akan tetapi, bila kita melihat drai zeitgeist-nya (jiwa zaman), tentu kita akan memahami, bahwa ‘persatuan’ dari berbagai kekuataan memang sangat diperlukan untuk menumbangkan kekuataan imprealis atau kolonialis.

Di era kontemporer, saat populisme Islam turut tampil di ruang publik, saya rasa pemikiran Soekarno muda relevan untuk di ketengahkan kembali. Dengan kata lain, dibandingkan membuat atau terlarut dalam konfrontasi antara “kita” dan “liyan” dengan mendasarkan pada politisasi identitas agama, jauh lebih tepat bila kita menyatukan kekuaaan-kekuatan segenap elemen bangsa, karena yang jadi permasalahan utama dalam kehidupan politik Indonesia saat ini, yakni tatanan politik yang oligarkis.

Baca Juga:  Hubungan Agama dan Negara Perspektif M. Quraish Shihab

Islam akan jauh lebih tepat digunakan sebagai “senjata” untuk menghantam invasi kapitalisme ke dalam dunia politik, dan membongkar segala bentuk struktur sosial-politik yang menindas, guna mengupayakan keadilan sosial, dibandngkan digunakan untuk membuat konfrontasi dengan “liyan” atau mengeliminir “liyan” dengan mendasarkan pada politik identitas tersebut.  

0 Shares:
You May Also Like