Cak Nur dan Semangat Mengukuhkan Intelektualitas dalam Dunia Muslim

Dunia Muslim hari ini mengalami suatu kemandekan dan keterbelakangan. Kondisi ini tentu kontras bila kita bandingkan dengan kemajuan yang dialami oleh dunia Muslim pada masa awal sejarah Islam. Buku Islam, Otoritarianisme dan Ketertinggalan (2020) yang ditulis oleh Ahmen T. Kuru, ilmuwan politik asal Turkey yang saat ini menjadi Guru Besar di San Diego University memberikan penjelasan yang sangat baik mengenai hal ini. Kuru memaparkan bahwa kemajuan pada masa awal Islam, salah satunya karena kondisi yang memungkinkan adanya kebebasan berpikir dan hal tersebut mendorong memunculnya intelektual-intelektual yang kreatif.

Menyoal kebebasan berpikir ini, merupakan suatu hal yang ditekankan juga oleh Nurcholish Madjid atau yang biasa dipanggil Cak Nur,  seorang cendikiawan Muslim terkemuka Indonesia, untuk dunia Muslim hari ini dan di masa depan. Itu artinya, pandangan Cak Nur tersebut mendasarkan juga pada akar historis dari peradaban Islam itu sendiri. Belajar dari sejarah, dan berupaya mereplikasi hal-hal yang positif untuk keberlangsungan hari ini dan yang akan datang, tentu menjadi suatu keharusan.

Mengukuhkan Intellectual Freedom

Dalam Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan (2008), Cak Nur memaparkan bahwa di antara kebebasan perseorangan, kebebasan berpikir dan menyatakan pendapatlah yang paling berharga. Cak Nur berpendapat bahwa seharusnya kita mempunyai kemantapan kepercayaan bahwa semua bentuk pikiran dan ide, betapapun aneh terdengar di telinga, tetap harus mempunyai jalan untuk dinyatakan.

Tentu tidak jarang, dari pikiran-pikiran ataupun ide yang semula dianggap salah dan palsu itu, ternyata kemudian dianggap benar. Kita bisa mempelajari pengalaman mengenai hal ini dalam banyak sejarah. Hal yang perlu kita sadari juga, di dalam pertentangan pemikiran dan ide-ide, kesalahan dari suatu pemikiran atau ide sekalipun tetap dapat memberi kegunaan yang tidak kecil, sebab ia akan mendorong kebenaran untuk menyatakan dirinya dan tumbuh menjadi kuat. Dengan kalimat lain, dalam suatu pandangan yang keliru yang dihasilkan karena adanya kebebasan berpikir, dapat menyadarkan dan mengarahkan kita untuk mencari kebenaran lain yang lebih kokoh.

Baca Juga:  Sosialisme Religus dalam Perspektif Nurcholis Madjid

Absennya kebebasan berpikir, dalam pandangan Cak Nur, menyebabkan tidak tersedianya pikiran-pikiran yang segar dan dapat membuat kita kehilangan psychological striking force (daya tonjok psikologis), sebab tidak ada suatu badan dengan pikiran bebas yang memusatkan perhatiannya kepada tuntutan-tuntutan segera dari kondisi-kondisi masyarakat yang tumbuh terus, baik di bidang ekonomi, politik, sosial dan sebagainya.

Saya rasa, bila kita berkaca pada sejarah keemasan Islam pada masa awal, apa yang dikemukakan Cak Nur memang tepat, mengingat apa yang disebut sebagai “kebebasan berpikir” merupakan bagian terpenting dalam sejarah awal Islam dan berdampak pada kemajuan luar biasa bagi dunia Muslim dalam dunia intelektual.

Dengan adanya kebebasan berpikir, memungkinkan dunia Muslim untuk melahirkan intelektual-intelektual yang kreatif, yang bukan hanya memperkaya diskurus dalam jagat intelektualisme, yang berarti diandaikan mampu mengatasi kemandekan dan ketertinggalan dunia Muslim; melainkan juga responsif terhadap segala dinamika dalam masyarakat maupun perkembangan zaman. Dalam konteks inilah, kita perlu mengukuhkan apa yang disebut sebagai intellectual freedom.

Menjungjung Tinggi Sikap yang Terbuka

Intellectual freedom tentu harus didasarkan juga pada sebuah sikap yang terbuka. Bila kita belajar dari sejarah kegemilangan Islam, maka nampak jelas bagaimana terbukanya sikap para intelektual Muslim kala itu, yang membuka diri untuk belajar terhadap peradaban-peradaban lain, seperti pengetahuan dari Yunani, Persia dan lain-lain. Dengan demikian, apa yang dimaksud sebagai peradaban Islam, merupakan sebuah sintesis dari berbagai peradaban.

Ahmet T. Kuru (2020) pun mencatat bahwa dunia Muslim menciptakan peradaban maju dengan menggabungkan kontribusi pendahulu mereka dan orang-orang sezamannya yang non-Muslim, serta dengan pembaharuan mereka sendiri.

Dari penjelasan di atas, nilai pentingnya yang bisa direplikasi untuk kehidupan dunia Muslim hari ini, yaitu untuk mengatasi kemadekan dan ketertinggalan, menjungjung sikap yang terbuka itu penting, yang di antaranya adalah kesediaan untuk belajar terhadap peradaban atau budaya lain (di luar Islam) selagi hal itu bermanfaat untuk kemajuan dan kemasalahatan. Untuk mencapai kembali suatu peradaban yang gemilang, kita tidak bisa menjadi suatu entitas yang “menutup diri”.

Baca Juga:  Etika Politik Islam dalam Pemikiran Hamka

Cak Nur pun begitu menekankan pentingnya menjungjung tinggi sikap mental yang terbuka, yang merupakan bagian dari apa yang disebut sebagai idea of progress. Sikap yang terbuka itu berupa kesediaan menerima dan mengambil nilai-nilai (duniawi) dari mana saja, asalkan mengandung suatu kebenaran. Dan hal ini sejalan dengan intellectual freedom, yang mensyaratkan agar kita bersedia mendengarkan perkembangan ide-ide kemanusiaan dengan spektrum seluas mungkin, dan kemudian memilah-milah apa yang sekiranya relevan diserap dan diterapkan.

Sebab itu, Cak Nur pun mengkritik suatu sikap yang tertutup, karena kitab suci sendiri menegaskan bahwa kita harus mendengarkan ide-ide dan mengikuti mana yang paling baik. Berkaca pada sejarah, Cak Nur berpendapat bahwa umat Islam menemukan dan belajar dari warisan-warisan kemanusaan, baik dari Barat (Yunani, Romawi) maupun dari Timur (Persia), kemudian mereka mengembangkan warisan-warisan itu di atas dasar prinsip-prinsip yang mereka bawa (Al-Qur’an dan Sunnah) dan menjadikannya milik sendiri. Inilah yang saya sebut sebagai peradaban Islam menjadi sintesis (titik temu) berbagai peradaban.

Mengembangkan Etos Intelektualisme

Berkaca dari pemaparan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa yang perlu dilakukan oleh dunia Muslim saat ini, yaitu mengembangkan etos intelektualisme, yang berupa mengukuhkan kebebasan berpikir dan menjungjung sikap yang terbuka. Itulah pesan Cak Nur yang ia galih berdasarkan doktrin Islam dan autentisitas sejarah peradaban Islam itu sendiri.

Sebab itu, hal yang sangat penting untuk mengatasi kemandekan dan ketertinggalan dunia Muslim hari ini, yang perlu kita lakukan pertama-tama adalah mengevaluasi internal dunia Muslim itu sendiri. Hal ini sejalan dengan pendapat Ahmet T. Kuru (2020), yang menyebut bahwa dunia Muslim perlu mereformasi kelembagaan untuk menumbuhkan intelektual-intelektual yang kreatif.

Baca Juga:  Tarekat Hizib Nahdlatul Wathan dan Pembaharuan Islam di Pulau Lombok
0 Shares:
You May Also Like