Nurcholish Madjid: Karakteristik Pemikiran Keislaman dan Keindonesian

Oleh: Muhyidin Azmi

Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Nurcholish Madjid (1939-2005)—selanjutnya disebut Cak Nur—merupakan seorang pemikir neomodernis Muslim terkemuka dan berpengaruh di Indonesia. Semasa hidupnya, Cak Nur pernah menjabat sebagai staf Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Jakarta. Juga, menjadi dosen di Fakultas Adab dan Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Cak Nur dilahirkan pada tanggal 17 Maret 1939 di desa Mojoanyar, Kecamatan Bareng, Jombang, Jawa Timur atau bertepatan dengan 26 Muharram 1358 Hijriyah. Ayahnya KH. Abdul Madjid, seorang Kiai jebolan Pesantren Tebuireng, Jombang, yang didirikan dan dipimpin oleh salah satu pendiri Nahdlatul Ulama (NU), Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari.

Perubahan di dunia Islam dewasa ini secara keseluruhan berpengaruh dan mendorong kepada perubahan-perubahan di kalangan umat Islam Indonesia. Sementara itu, dinamika perkembangan Negara kita sendiri juga sedemikian dahsyatnya, sehingga mau tidak mau juga berpengaruh pada keadaan umat Islam Indonesia. Apalagi jika diingat bahwa umat Islam di Indonesia merupakan bagian terbesar di negara Indonesia. Salah satu doktrin tentang agama Islam yang banyak ditegaskan dalam Al-Qur’an ialah bahwa agama itu berlaku untuk seluruh alam raya, termasuk seluruh umat manusia.

Membicarakan dinamika perkembangan dunia Islam di Indonesia kita tak lepas dari seorang tokoh guru bangsa yang bernama Nurcholish Madjid, seorang pemikir Islam Indonesia lulusan kampus ternama di Indonesia, UIN Syarif Hidayatullah. Nurcholish Madjid merupakan lokomotif pembaharuan pemikiran Islam di Indonesia yang pemikirannya tidak jarang menjadi acuan bagi kalangan pembaharu modernis Muslim di negeri ini. Bukan kebetulan jika pada tahun 1993 Nurcholish Madjid merupakan salah seorang pemikir Muslim Indonesia yang paling terkemuka dalam bidang keilmuan Islam dan demokrasi.

Baca Juga:  Sosialisme Religus dalam Perspektif Nurcholis Madjid

Nurcholish Madjid menyadari, bahwa tidak ada probelm teologis apapun umat Islam dalam menerima ide-ide demokrasi. Secara konseptual umat Islam Indonesia telah menyediakan argumen untuk penerimaan demokrasi. Tetapi, menurut Nurcholish Madjid argumen tersebut masih bersifat implisit, oleh karena itu perlu diekspilitkan dan dirumuskan secara sistematis, sesuai dengan kaidah berpikir hermeneutika (interpretasi) modern, sehingga bisa berdialog dengan pengertian agama dan demokrasi. Dunia Islam pada era ini memang ditandai dengan pergulatan baru Islam dan gagasan demokrasi mutakhir, pergulatan ini terjadi bersamaan dengan munculnya gerakan-gerakan Islam Radikal.

Berkaitan dengan hal tersebut, kiranya perlu bagi kita untuk kembali mempelajari dan memahami pemikiran Nurcholish Madjid tentang keislaman dan keindonesiaan. Dalam salah satu literatur yang berjudul “Sosiologi Pembaharuan Pemikiran Islam Nurcholish Madjid, M. Syafi’i Anwar, membuat peta pemikiran Cak Nur. Menurutnya, peta pemikiran Cak Nur secara umum dapat dirumuskan dalam konstruksi dialektika dan kesatuan gagasan tentang Keislaman dan  Keindonesiaan.

Cak Nur berpandangan bahwa tidak bisa tidak, keislaman adalah unsur dari keindonesiaan atau milik nasional yang paling menonjol sebagai kepribadian nasional (national identity). Bahkan menurutnya, keislaman dan keindonesiaan itu tidak bisa dipisahkan, karena “keislaman adalah keindonesiaan dan keindonesiaan adalah keislaman”. Sebagai pembuktian tesisnya tersebut, Cak Nur memberikan argumen:

Pertama, Islam adalah agama mayoritas mutlak penduduk Indonesia yang menyebar keseluruh pelosok Indonesia. Kedua, diterimanya bahasa Melayu sebagai bahasa nasional Indonesia yang alasannya bukan saja karena bahasa Melayu merupakan bahasa yang paling luas penyebarannya ke seluruh daerah pantai kepulauan Nusantara, yang penyebarannya itu sendiri dibawa oleh agama Islam, tetapi juga karena bahasa Melayu adalah bahasa yang paling mendukung cita-cita egalitarianism Islam. Ketiga, keseragaman budaya Nusantara yang memungkinkan dipermudahnya komunikasi antar kelompok etnis dari tanah penghunian yang secara geografis jauh adalah karena peran dan fungsi Islam.

Baca Juga:  Menengok Kembali Semangat Persatuan Soekarno

Dari ketiga komponen penyusunan konstruksi pemikiran keislaman Cak Nur, sangat nyata sekali nilai-nilai universal ajaran Islamlah yang memungkinkan nilai keindonesiaan dan nilai kemodernan mendapatkan tempat dan ruang di dalam Islam. Oleh kerena itu, sangat logis bila kemudian dalam bangunan pemikiran Islam Nurcholish Madjid sangat nyata kaitannya erat antara Keislaman dan Keindonesiaan. Atas dasar kesejajaran keislaman dengan keindonesiaan ini, Cak Nur mengabsahkan pandangan yang menganggap perlunya interpretasi ajaran-ajaran universal Islam untuk bisa memenuhi tuntutan-tuntutan nyata Indonesia, atau dengan kata lain, perlunya kontekstualisasi ajaran Islam.

Menurut Cak Nur, Muslim Indonesia, selain meyakini dimensi-dimensi universal ajaran Islam, juga harus meyakini adanya hak-hak khusus sebagai bangsa untuk menyelesaikan masalah menurut ke-di-sini-an dan ke-kini-an, sesuai dengan perkembangan sosial-budaya masyarakat dan tuntutan-tuntutannya. Kemudian, menurutnya secara teknis, untuk melakukan kontekstualisasi atau pribumisasi ajaran Islam, perangkatnya telah tersedia dalam ilmu Ushul al-Fiqh, yang menginginkan terjadinya alkulturasi timbal balik antara Islam dan budaya lokal, lewat saluran kaidah Ushul al-Fiqh yang berbunyi, “Adat itu dihukumkan” (al-‘Adah Muhakkamah). Artinya, adat dan kebiasaan suatu masyarakat, yaitu budaya lokalnya, adalah sumber hukum dalam Islam.

Dari asumsi-asumsi yang dibuatnya ini kemudian tercetus gagasan untuk mengadopsikan nomenklatur Islam kepada persoalan dan wacana keindonesiaan, sekaligus juga sebagai kontekstualisasi ajaran Islam. Seperti masalah ideologi pancasila yang masih dipandang kontroversial oleh umat Islam di Indonesia yang masih memandang hanya Islam-lah ideologi kaum Muslimin. Gagasan pemikiran Islam Nurcholish Madjid lainnya yang menggambarkan upaya kontekstualisasi Islam dengan nilai keindonesiaan, yang sekaligus mencerminkan teologi keindonesiaannya, adalah soal terjemahan kalimat (la ilaha illallah) menjadi “Tiada tuhan selain Tuhan” (denga T besar). Di sini lagi-lagi semangat inklusivisme Cak Nur sangat mewarnai dan mendominasi pemikiran-pemikiran teologinya, dan memang semangat inilah yang menjadi perekat dari bangunan pemikiran teologinya.

Baca Juga:  Meneladani Moh Hatta (1): Konsistensi, Kritisisme, dan Kepedulian pada Penderitaan Rakyat
0 Shares:
You May Also Like