Sosialisme Religus dalam Perspektif Nurcholis Madjid

Dalam khazanah sejarah intelektual di Indonesia, gagasan mengenai sosialisme religius tentu bukanlah hal yang asing, gagasan tersebut bukan hanya turut mewarnai dan memperkaya wacana intelektualisme di Indonesia, tetapi juga mempunyai semangat praksis dalam upaya menikam kolonialisme, serta bagian dari cita-cita historis berdirinya republik ini.

Intelektual seperti HOS Tjokroaminoto, tentu adalah salah satu nama yang perlu dikedepankan dalam jagat wacana sosialisme religius. Tjokroaminoto menulis karyanya yang sangat monumental, yakni Islam dan Sosialisme yang terbit pada 1924. Dalam tulisannya tersebut, Tjokroaminoto memaparkan mengenai semangat egalitarianisme Islam, dan menerangkan bahwa pada dasarnya ajaran Islam sendiri bersifat sosialis.

Selain Tjokroaminoto, Agus Salim adalah nama lain yang turut meletakkan gagasan mengenai sosialisme religius dalam sejarah intelektual di Indonesia. Agus Salim berpendapat bahwa ide sosialisme sudah tercakup dalam ajaran agama, dalam hal ini Islam. Pun tokoh seperti Syarifuddin Prawiranegara yang pernah menegaskan bahwa seorang Muslim haruslah sekaligus seorang sosialis.

Itu artinya, gagasan sosialisme religius, bukanlah gagasan yang sama sekali baru di Indonesia. Tokoh pembaharu pemikiran Islam terkemuka di Indonesia, yakni Nurcholis Madjid (Cak Nur), adalah salah satu nama yang kemudian berusaha untuk lebih mengembangkan gagasan sosialisme religius tersebut.

Menurut hemat saya, gagasan sosialisme religius sendiri, mempunyai pendasaran akar historisitas yang jelas. Akar historisitas yang pertama, yakni mengacu pada agama Islam, bahwa kehadiran awal Islam, bukan hanya menegaskan mengenai monoteisme, tetapi juga mengkritik struktur sosial-ekonomi yang menindas dan membawa semangat egalitarianisme.

Akar historisitas yang keduanya, yakni mengacu kepada hal yang lebih spesifik, yakni historisitas di Indonesia itu sendiri, bahwa pendiri bangsa ini, seperti Soekarno berkali-kali menegaskan mengenai masyarakat sosialis-religius merupakan suatu hal yang dicita-citakannya. Dengan kalimat lain, hal itu menunjukkan bahwa apa yang disebut sebagai sosialis-religius, merupakan bagian dari cita-cita historis berdirinya republik ini. 

Baca Juga:  Meneladani Moh Hatta (2): Keberanian, Visi Persatuan dan Pentingnya Pendidikan dalam Sebuah Perjuangan

Menimbang Sosialisme Religius

Bagi Cak Nur, dalam bukunya Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan (2013), sosialisme, dalam konteks Indonesia, dapat dianggap sebagai suatu cara lain untuk mengungkapkan ciri masyarakat yang dicita-citakan oleh Pancasila, yaitu masyarakat yang berkeadilan sosial.

Cak Nur pun melihat, bahwa dalam konteks global, di tengah dominasi kapitalisme yang semakin menguat, sosialisme semakin aktual untuk menjadi jalan alternatif. Bahkan, dalam pemahaman Cak Nur, meskipun dalam istilah yang berbeda-beda, sosialisme turut banyak dikampanyekan oleh elemen-elemen tertentu, seperti gencarnya kampanye penyelenggaraan kesejahteraan sosial (social welfare), kemudian dalam ide-ide “zero growth movement” dan tekanan pada segi-segi nilai-nilai kehidupan (quality of life), sebagaimana diartikulasikan oleh Club of Rome, misalnya.

Lalu, yang jadi pertanyaan, mengapa ada istilah “religius” di belakang sosialisme? Cak Nur menjawab, karena predikat religius akan memberi dimensi yang lebih mendalam kepada cita-cita sosialisme. Cak Nur memaparkan, Bung Karno sendiri selalu mengatakan bahwa Pancasila adalah hogereoptrekking dari Declaration of Independence-nya Thomas Jefferson dan “Manifesto Komunis”-nya Marx-Engels. Terhadap yang pertama, Pancasila mempunyai kelebihan sosialisme, dan terhadap yang kedua, ketuhanan Yang Mahaesa.

Dimensi lebih mendalam dari sosialisme religius, dalam pemahaman Cak Nur, ialah dikukuhkannya dasar moral cita-cita tersebut menjadi tidak hanya karena dorongan hendak berkehidupan yang lebih bahagia di dunia saja, tetapi juga kehidupan yang lebih kekal di akhirat. Sosialisme menjadi tidak hanya merupakan komitmen kemanusiaan, tetapi juga ketuhanan.

Dengan mengutip Hatta, Cak Nur mengatakan bahwa bentuk kesalingterhubungan antarsila dalam Pancasila, senantiasa menegaskan bahwa sila ketuhanan merupakan sila yang menyinari sila-sila lainnya, merupakan dasar moral yang kuat untuk mewujudkan cita-cita kenegaraan dan kemasyarakat kita.

Baca Juga:  Meneladani Moh Hatta (1): Konsistensi, Kritisisme, dan Kepedulian pada Penderitaan Rakyat

Cak Nur sendiri mengandaikan, dengan adanya dasar moral yang kuat tersebut, sosialisme yang memang mempunyai cita-cita kemanusiaan yang penuh dengan nilai keluhuran, tidak mudah terjerumus ke dalam lembah metode kerja yang menghalalkan segala cara. Dengan kalimat lain, dengan adanya fondasi moral yang lebih kuat, Cak Nur tidak mengingingkan terjadinya suatu kondisi yang paradoksikal atau bahkan kontradiktif, seperti cita-cita kemanusiaan yang begitu luar biasa, tetapi berusaha untuk diwujudkan justru dengan cara menabrak nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri dan harus mengorbankan “darah”.

Apa yang dikemukakan Cak Nur tersebut, berangkat dari pengalaman yang sebagaimana terjadi di Soviet. Cak Nur menulis, “Tidak pernah sebelumnya sejarah menyaksikan sekelompok orang sedemikan sungguh-sungguh dan ambisius dalam perjuangan melaksanakan cita-cita kemanusiaan dan keadilan seperti golongan komunis dan sosialis, serta tingkat sofistikasi, baik segi ajaran maupun metode dan pengorganisasian yang demikian tingginya. Tetapi, sungguh ironi, umat manusia dan sejarah juga, menyaksikan tindakan perkosaan kepada nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan spektakuler yang dilakukan oleh orang-orang komunis, khususnya kaum Boulshevik di Russia di Bawah pimpinan Stalin”.

Mengukuhkan Sosialisme Islam

Cak Nur melihat adanya kesesuaian antara semangat sosialisme dengan semangat yang terkandung dalam Islam. Kesesuaian semangat tersebut, dapat dilihat dari beberapa prinsip yang terdapat dalam agama Islam, seperti konsep mengenai alam (world outlook, weltanschauung, kosmologi), mengenai manusia (human outlook), dan mengenai benda-benda ekonomi, yakni:

  1. Seluruh alam raya ini beserta isinya adalah milik Tuhan. Tuhan-lah pemilik mutlak segala yang ada.
  2. Benda-benda ekonomi adalah milik Tuhan (dengan sendirinya), yang kemudian dititipkan kepada manusia (sebagai amanat).
  3. Penerima amanat harus memperlakukan benda-benda itu sesuai dengan “kemauan” pemberi amanat (Tuhan), yaitu hendaknya diinfakkan menurut “jalan Allah”.
  4. Kesempatan manusia memperoleh kehormatan amanat Allah itu (kekayaan) harus dengan cara jujur dan bersih.
  5. Harta yang halal itu setiap tahun dibersihkan dengan zakat.
  6. Kejahatan tertinggi terhadap kemanusiaan ialah penumpukan kekayaan pribadi tanpa memberi fungsi sosial.
  7. Dan lain-lain.
Baca Juga:  Tarekat Hizib Nahdlatul Wathan dan Pembaharuan Islam di Pulau Lombok

Berkaca dari pemaparan di atas, maka dapat disimpulkan penting untuk terus menggelorakan sosialisme Islam, karena merupakan bagian dari tanggung jawab kemanusiaan kita yang telah diperintahkan Tuhan. Sosialisme Islam sudah menjadi keharusan untuk diterjemahkan ke dalam praksis, guna menghindari sikap yang serakah, dan menyadari sepenuhnya bahwa meningkatkan kesejahteraan dan kebaikan bersama merupakan bagian dari tugas kemanusiaan kita dan bagian dari keimanan. Bukan hanya untuk kehidupan di dunia, tapi berdampak juga bagi diri kita untuk kehidupan yang lebih kekal.

0 Shares:
You May Also Like