Meneladani Moh Hatta (2): Keberanian, Visi Persatuan dan Pentingnya Pendidikan dalam Sebuah Perjuangan

Pada periode kehidupan di Belanda, Mohammad Hatta dan beberapa teman-temannya di Perhimpunan Indonesia ditangkap oleh pihak keamanan. Penangkapan ini tentu saja berkaitan dengan aktivitas politik Mohammad Hatta yang semakin intens, Hatta dengan Perhimpunan Indonesia-nya begitu lantang menyuarakan keprihatinan atas nasib rakyat Indonesia yang dicintainya, dan selalu menyerukan kemerdekaan Indonesia.

Berdasarkan autobiografinya, yakni Untuk Negeriku: Bukittinggi-Roterdam Lewat Betawi (edisi 2011), Hatta menulis bahwa ia ditangkap pada 23 September 1927. Hatta dituduh atas tiga perbuatan terlarang, yakni menjadi anggota perhimpunan terlarang, terlibat dalam pemberontakan, dan menghasut untuk menentang kerajaan Belanda. Perkara Hatta dan teman-temannya ini, dibawa ke Mahkamah Den Haag pada 8 Maret 1928. Dari tiga tuduhan semula, menjadi hanya satu, yakni menghasut.

Hatta pun kemudian menyampaikan pembelaannya yang berjudul Indonesia Virj (Indonesia Merdeka). Dalam pembelaannya tersebut, Hatta mengkritik dengan keras mentalitas kolonial dan ketidakjujuran pemerintah Belanda. Hatta pun mengemukakan juga, bukan hanya soal kebebasan berserikat, melainkan juga keprihatinannya atas nasib rakyat Indonesia, dan karena itu Hatta pun menuntut hak untuk menentukan nasib sendiri bagi bangsa Indonesia.

Perlu untuk diketahui, bahwa pleidoi—pidato pembelaan terhadap terdakwa yang dibicarakan oleh advokat (pembela) atauterdakwa sendiri—yang ditulis oleh Hatta tersebut, menjadi salah satu tulisan terpenting yang dihasilkan oleh Hatta. Menurut John Ingleson dalam buku Mahasiswa, Nasionalisme dan Penjara: Perhimpunan Indonesia 1923-1928 (2018), poin-poin yang disampaikan oleh Hatta, yakni terbagi ke dalam tiga tema besar, yakni politik, ekonomi dan sosial.

Dalam bidang politik, Hatta menuntut untuk menentukan nasib sendiri bagi rakyat Indonesia, kemudian suatu bentuk pemerintahan Indonesia di masa depan yang demokratis, dengan masyarakat pedesaan sebagai unsur terpenting, kebebasan pers dan hak mengadakan perserikatan dan pertemuan terbuka tanpa larangan, dihapuskannya wewenang istimewa gubernur jendral, dan yang terakhir tentang hak pilih untuk semua.

Baca Juga:  Hubungan Agama dan Negara Perspektif M. Quraish Shihab

Sementara dalam bidang ekonomi, poin-poin yang diajukan oleh Hatta, yakni memajukan koperasi pertanian dan bank-bank pinjaman untuk rakyat, kemudian memajukan industri nasional berdasarkan koperasi, penghapusan sistem sewa tanah, penghapusan tanah partikelir, peraturan yang adil untuk kebijakan perpajakan.

Terakhir, dalam bidang sosial, tuntutan yang dijaukan oleh Hatta, yakni Undang-undang sosial; penghapusan poenale sanctie; delapan kerja dalam sehari, kemudian penghapusan sama sekali praktik riba, pembinaan pendidikan nasional, perbaikan kesehatan masyarakat.

Bila kita cermati poin-poin di atas, maka terlihat sekali bagaimana Hatta menaruh perhatian yang besar kepada rakyat kecil, rakyat pedesaan ataupun rakyat yang termarginalkan, terutama para buruh tani dan sebagainya. Atas keberanian dan sikapnya yang keras dalam menantang segala bentuk ketidakadilan, Hatta bahkan tidak gentar menghadapi ancaman hukuman. Penting juga untuk dicatat, demokrasi yang diimpikan Hatta, bukan hanya sebatas warga mempunyai hak suara atau berpendapat, tapi berkorelasi juga dengan terwujudnya keadilan sosial.

Selain poin perhatian Hatta terhadap rakyat kecil, dua hal lainnya yang menurut saya perlu dijadikan pelajaran dan diteladani dari sikap seorang Mohammad Hatta. Poin Pertama, yakni soal pandangan Hatta mengenai pentingnya persatuan untuk mewujudkan sebuah cita-cita mulia, yakni Indonesia merdeka. Itulah sebabnya mengapa Hatta terbuka untuk menjalin kerjasama dengan golongan/kelompok lain, bahkan dengan PKI. Selagi kelompok-kelompok tersebut mempunyai suatu tujuan sama.

Jhon Ingleson (2018) menjelaskan bahwa pada 1925 terbentuk Studi Umum di Bandung, di mana terdapat dua alumni Perhimpunan Indonesia yang aktif di dalamnya, salah satunya yaitu Darmawan Mangunkusomo. Saat itu, ada orang PKI yang hendak masuk kelompok studi tersebut, Darmawan malah menolak anggota PKI tersebut. Terang saja, keputusan Darmawan mendapat kritik yang keras dari Hatta, karena bagi Hatta, yang terpenting saat itu adalah terbentuknya suatu blok nasionalis. Hatta melihat PKI sejak awal mempunyai tujuan yang sama, yakni terwujudnya Indonesia merdeka.

Baca Juga:  Etika Politik Islam dalam Pemikiran Hamka

Dari poin tersebut, pelajaran pentingnya dan yang bisa diaktualisasikan hari ini, yakni soal pentingnya persatuan nasional. Oleh karena itu, para elite politik harusnya saling bekerjasama untuk kemajuan Indonesia dan mewujudkan keadilan sosial, dibandingkan memainkan narasi yang dapat meruncingkan perselisihan atau konflik untuk hasrat politik semata.

Poin keduanya, Hatta pun orang yang berpandangan bahwa pendidikan merupakan hal yang sangat penting dalam sebuah perjuangan. Dalam buku Ingleson (2018), Hatta menjelaskan bahwa ia berkeyakinan pendidikan rakyat harus ditingkatkan, untuk selanjutnya dituntun secara bertahap ke tingkat perkembangan kepada suatu kehidupan yang merdeka.

Hal yang perlu dipelajari dari poin tersebut dan bisa diaktualisasikan dalam konteks hari ini, yakni pentingnya pembangunan pendidikan kritis yang dapat menumbuhkan kesadaran kritis para pelajar untuk peka terhadap segala bentuk ketimpangan dan ketidakadilan sosial. Tentu saja hal tersebut sebagai bagian dari upaya untuk memperjuangkan Indonesia di masa depan yang berkeadilan.

0 Shares:
You May Also Like