Ahmad Syafii Maarif: Islam dan Masalah Kenegaraan Studi Percaturan dalam Konstituante

Menurut Al-Qur’an, Islam sudah ada sebelum Nabi Muhammad swt. Ketika Nabi Adam as. diutus ke dunia, ia membawa agama Islam. Islam adalah agama yang diturunkan oleh Allah swt. kepada seluruh umat manusia, melalui perantara Rasul pilihan-Nya, Nabi Muhammad swt. Ajaran Islam bukan sama sekali baru, tetapi merupakan kelanjutan dan perumpamaan agama-agama yang dibawa para Rasul sebelumnya (QS. Al-Anbiya [21]: 25). (Abdul Aziz Thaba, 1996 : 39). Al-Qur’an sendiri tidak mengatur urusan politik secara khusus.

Sistem politik adalah suatu bagian yang pasti ada di setiap Negara. Sistem politik sendiri berfungsi sebagai pengatur dan membuat peraturan untuk dipatuhi oleh seluruh warga negaranya. Politik dan agama adalah sesuatu yang terpisah. Pembentukan pemerintahan dan kenegaraan adalah atas dasar manfaat-manfaat amaliah, bukan atas dasar sesuatu yang lain. Jadi, pembentukan negara modern didasarkan pada kepentingan-kepentingan praktis, bukan atas dasar agama. (Ahmad Syafii Maarif, 1996: 15).

Pemerintahan yang berlaku pada masa Rasulullah saw. dan khalifah setelahnya bukanlah diturunkan Allah dari langit. Wahyu Allah hanya mengarahkan Rasul dan kaum Muslimin untuk menjamin kemaslahatan umum, tanpa merenggut kebebasan mereka untuk memikirkan usaha-usaha menegakkan kebenaran, kebajikan, dan keadilan. Islam di Indonesia adalah suatu agama yang hidup dan vital, yang kini sedang terlibat proses tranformasi dari posisi kuantitas ke posisi kualitas.

Menurut Ahmad Syafii Maarif dua kata kunci yang harus dipahami dalam mengkaji hubungan Islam dan Politik yaitu Islam sejarah dan Islam cita-cita. Islam sejarah yaitu Islam sebagaimana dipahami ke dalam konteks sejarah oleh umat Islam dalam jawaban mereka terhadap tantangan sosial politik dan kultural yang dihadapkan kepada mereka sebelum dan sesudah kemerdekaan. Sedangkan Islam cita-cita sebagaimana yang dikandung dan dilukiskan oleh Al-Qur’an dan Sunnah autentik dari Nabi Muhammad saw.

Baca Juga:  Tarekat Hizib Nahdlatul Wathan: Ruang Bagi Kemerdekaan Spiritual dalam Bertasawuf

Tetapi, belum tentu senantiasa terefleksi dalam realitas sosial-historis umat sepanjang abad. Islam cita-cita ini merupakan pendorong bagi berbagai pendorong sosial-politik Islam sepanjang sejarah. Sejak 1950 hingga sekitar 1959, yang dikenal sebagai periode demokrasi konstitusional, Indonesia beroperasi di bawah UUD 1950. Perdebatan tentang masalah dasar negara berlangsung dengan sengitnya sampai majelis Konstituante dibubarkan oleh Presiden Soekarno pada bulan Juli 1959.

Konsekuensi dalam usahanya tersebut melahirkan suatu tatanan politik baru yang dikenal dengan sebutan Demokrasi Terpimpin (1959-1965). Alasan utama Ahmad Syafii Maarif melakukan studi ini karena belum adanya studi yang lengkap tentang masalah dasar negara, sehingga, ia mengharapkan dengan pengkajian studi yang dilakukan dapat memberikan kejelasan tentang watak dan arti Islam dalam sejarah modern Indonesia.

Terutama dalam hubungannya dengan perkembangan dan perubahan politik di negeri ini. (Ahmad Syafii Maarif, 1994: 205). Pemikiran Syafii Maarif dalam politiknya mengenalkan istilah “Islam sejarah” dan “Islam cita-cita”. “Islam sejarah” adalah Islam sebagaimana dipahami dan diterjemahkan ke dalam konteks sejarah umat Islam Indonesia dalam menjawab tantangan sosio-politik dan kultural yang dihadapkan kepada mereka yang sebelum dan sesudah kemerdekaan.

Adapun “Islam cita-cita” adalah Islam sebagaimana yang dikandung dan dilukiskan oleh Al-Qur’an dan Sunnah autentik dari Nabi Muhammad sw., tetapi yang tentu senantiasa terlefleksi dalam realitas sosio-historis umat sepanjang abad. (Ahmad Syafii Maarif, 1999 : 54). Islam sejarah dan Islam cita-cita, sebagaimana dikutip Syafii Maarif dari Fazlur Rahaman, harus ada kaitan yang positif dan dapat dipahami agar gerak maju dari yang riil menjadi mungkin, dan juga menjadi sama pentingnya bagi gerak yang demikian itu.

Hal tersebut agar yang ideal (cita-cita) selalu berada pada posisi yang lebih tinggi. Islam cita-cita ini, menurut Syafii Maarif, sebagai yang telah diterjemahkan ke dalam realitas sejarah pada masa Nabi dan beberapa tahun sesudah itu, tetap merupakan sumber inspirasi yang tak pernah habis bagi umat Islam sejak saat itu. Karena itu, Syafii Maarif mengkritik doktrin-doktrin politik yang dirumuskan oleh pada yuris Islam seperti al-Baqillani (w 1013 M) dan al-Mawardi (w 1058 M) yang disebutnya “tidak Qur’anik”.

Baca Juga:  Meneladani Kearifan Nurcholish Madjid dalam Memandang Perbedaan

Jika al-Baqilani menekankan hak keturunan Quraisy dalam pemilihan Imam, al-Mawardi menggunakan ayat Al-Qur’an untuk melegimitasi Imperium Abbasiyah. Keduanya dikecam oleh Syafii Maarif sebagai, “Telah mengorbankan cita-cita Al-Qur’an demi menjawab tantangan sejarah kontemporer”. Tak hanya Al-Baqillani, Mawardi, atau Ibn Taimiyah, Rasyid Ridha juga dikecam oleh Syafi Maarif. Ridha, menurut Syafii Maarif, terjebak dalam membela hak Quraisy akan posisi kekhalifahan.

Sehingga, dikatakannya bahwa pandangan politiknya itu konservatif dan tidak Qur’anik. Pemikir lain yang mendapat kecaman keras dari Syafii Maarif adalah al-Maududi, pendiri dan tokoh utama Jama’at Islami dari Pakistan. (Ahmad Syafii Maarif, 1999:54). Berdasarkan pembahasan di atas, maka dapat diambil berberapa kesimpulan sebagai berikut, Menurut Syafii Maarif Al-Qur’an tidak tertarik pada teori khas tentang negara yang harus diikuti umat Islam.

Perhatian utama Al-Qur’an ialah agar masyarakat dan negara ditegakkan atas tonggak-tonggak keadilan dan moralitas. Dari perspektif ini, menurut Syafii Maarif, suatu negara hanyalah dapat dikatakan bercorak Islam manakala keadilan dan lain‐lainnya itu benar‐benar terwujud. Munculnya permasalahan politik Islam di Indonesia diawali pada masa perpecahan politik yang terjadi pada masa revolusi, di mana organisasi-organisasi Islam memisahkan diri dari Masyumi, sehingga menyebabkan melemahnya kekuatan politik Umat Islam di Indonesia. PSII yang pertama kali memisahkan diri dari Masyumi pada Juli 1947, yang kemudian diikuti NU pada 1952 dan mengubah dirinya menjadi gerakan sosial keagamaan.

Daftar Bacaan:

Aziz Thaba, Abdul. Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru. Jakarta: Gema Insani Prees. 1996.

Syafii Maarif, Ahmad. Islam dan Masalah Kenegaraan: Studi Tentang Percaturan dalam Konstituante. Jakarta: LP3ES. 1996.

Syafii Maarif, Ahmad. Islam dan Politik: Upaya Membingkai Peradaban. Cirebon: Pustaka Dinamika. 1999.

Baca Juga:  Meneladani Moh Hatta (4): Solidaritas Global dan Arti Penting Kemerdekaan

Syafii Maarif, Ahmad. Peta Bumi Intelektualisme di Indonesia. Bandung: Mizan. 1994.

0 Shares:
You May Also Like