Islam dan Kebangsaan: Dialog Bersama Buya Syafii Maarif

Oleh: Cusdiawan

Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Padjadjaran

Ahmad Syafii Maarif atau yang biasa dipanggil dengan sebutan Buya Syafii Maarif, merupakan seorang guru bangsa, ilmuwan sekaligus ulama kenamaan Indonesia. Ia pernah menjabat sebagai Ketua Umum PP Muhammadiyah, Presiden World Conference on Religion for Peace (WCRP), dan pendiri Maarif Institute.

Buya Syafii, yang juga mantan aktivis Himpunan Mahasiswa Islam ini, menyelesaikan studi S1 pada jurusan sejarah di Universitas Cokroaminoto Surakarta. Selanjutnya, Buya Syafii melanjutkan studi magisternya di Departemen Sejarah di Ohio, Amerika Serikat. Sementara gelar doktornya diperoleh dari Program Studi Bahasa dan Peradaban Timur Dekat, Universitas Chicago Amerika Serikat.

Dalam buku yang ditulis oleh Buya Syafii Maarif sendiri, yakni Mencari Autentisitas dalam Dinamika Zaman (2019), maka nampak jelas bagaimana kekaguman seorang Buya Syafii kepada sosok Mohammad Hatta. Buya Syafii menulis, bahwa sosok Hatta sebagai seorang negarawan, memainkan peran penting di tengah ancaman disintegrasi republik Indonesia yang saat itu baru berusia beberapa jam.

Adapun yang dimaksud ancaman disintegrasi yang dimaksud oleh Buya Syafii, yakni ketidakpuasan yang dirasakan kelompok minoritas terhadap bangunan konstitusi republik Indonesia, yang saat itu dinilai diskriminatif dan warna Islam terlalu ditonjolkan. Tentu saja yang dimaksud di sini adalah Piagam Jakarta.

Buya Syafii mengungkapkan bahwa sebelum sidang Panitia Persiapan pagi hari pada 18 Agustus 1945, Hatta memanggil tokoh-tokoh golongan Islam untuk membicarakan masalah politik fundamental yang berkaitan dengan pelaksanaan syariat tersebut. Hanya dalam tempo singkat, masalah krusial tersebut dapat diselesaikan, dan jadilah sila pertama Pancasila berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Meski demikian, Buya Syafii mengemukakan bahwa Hatta menganggap semangat Piagam Jakarta tidaklah lenyap. Bagi Hatta, pelaksanaan syariat haruslah dengan mempertimbangkan ruang dan waktu, suatu gagasan yang menurut Buya Syafii sesuai dengan gagasan ushul al-fiqh yang berbunyi “taghayyur al-ahkam bitaghayyur al-azman” (perubahan hukum menurut perubahan zaman).

Baca Juga:  Tarekat Hizib Nahdlatul Wathan: Ruang Bagi Kemerdekaan Spiritual dalam Bertasawuf

Hal tersebut berdasarkan ijtihad dari para fuqaha, bahwa pelaksanaan hukum Islam  yang tidak menghiraukan tuntutan ruang dan waktu pasti akan dihadapkan pada kendala-kendala yang tidak kecil. Bagi Buya Syafii, sikap yang ditunjukkan oleh Hatta sangat memperlihatkan kepedulian Hatta terhadap persoalan keterkaitan pelaksanaan hukum dengan mengantisipasi perubahan sosial yang berlaku sepanjang zaman.

Menurut R. William Liddle, seorang Profesor Ilmu Politik Ohio State University, yang ketika ia menjadi dosen muda pernah juga mengajar Buya Syafii, ternyata kekaguman Buya Syafii terhadap Hatta sudah berlangsung lama dan pernah diungkapkan langsung oleh Buya Syafii pada masa mudanya sewaktu ia mengambil program magister di Ohio.

Hal tersebut diungkapkan William Liddle yang turut memberi kata pengantar pada buku Mencari Autentisitas dalam Dinamika Zaman yang ditulis oleh Buya Syafii tersebut. Liddle mengemukakan bahwa Syafii mencita-citakan sebuah Indonesia yang egaliter secara sosial, ekonomi, dan politik, serta betul-betul demokratis, dan Liddle mengatakan bahwa cita-cita Syafii tersebut diakui oleh Syafii terilhami oleh tulisan-tulisan Mohammad Hatta, selain pemimpin-pemimpin Masyumi.

Bagi Buya Syafii, Hatta adalah tokoh bangsa yang paling dikaguminya, hal tersebut dikarenakan komitmen Hatta yang teguh dan konsisten terhadap demokrasi, juga pemikirannya yang sekaligus teoretis dan praktis. Bagi Buya Syafii, Hatta melakukan suatu integrasi yang padu antara berbagai teori dengan realitas sosiohistoris masyarakat Indonesia.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kekaguman Buya Syafii kepada seorang Hatta, dikarenakan pada sosok Hatta, Buya Syafii menemukan bagaimana semangat berislam yang beriringan dengan semangat demokrasi, suatu bentuk pemikiran yang kemudian dibela oleh Buya Syafii sepanjang karirnya sebagai seorang cendikiawan.

Bagi Buya Syafii sendiri, nilai sosial dalam Islam adalah keadilan. Implikasinya di dunia modern adalah negara hukum dan demokrasi, lembaga-lembaga yang pada prinsipnya mengharuskan pemerintah bertanggung jawab kepada masyarakat. Bagi saya, pemahaman Buya Syafii atas ajaran Islam ini, sejalan dengan nafas Islam sebagai agama rahmatan lil alamin. Karena kehadiran Islam, bukan hanya untuk meneduhkan umat Muslim semata, melainkan juga umat manusia secara umumnya.

Baca Juga:  LAKU SUFI R.A. KARTINI

Bagi saya, kita perlu belajar dari sejarah, isu formalisasi syariat Islam, dapat menyebabkan bangsa yang amat beragam ini tercerai-berai. Untuk bangsa yang beragam seperti Indonesia, yang dibutuhkan adalah sebuah sistem yang mendudukkan setiap anak bangsa dalam posisi yang setara, dan hal ini tentu diandaikan  dalam sistem demokrasi.

Lagipula, hal itu sama sekali tidak bertentangan dengan Islam, kita perlu belajar dari Mohammad Hatta maupun kelapangan dada para pemimpin Islam di awal kemerdekaan. Hal paling penting dibandingkan menyoal formalisasi syariat, yakni sebagaimana yang diungkapkan oleh Buya Syafii, bahwa cita-cita sosiopolitik-ekonomi Islam, berupa keadilan, keamanan, persamaan persaudaraan, toleransi, dan kejujuran dapat dibawa ‘turun ke bumi’.

Dengan kalimat lain, hal paling penting adalah agar maqashid syariah dapat diwujudkan. Buya Syafii melihat di sinilah peran penting negara. Jadi semua nilai tersebut bisa terwujud bilamana tersedia kekuataan institusi yang mendukungnya. Jadi, dari sudut pandang Islam, negara penting bagi agama, tanpa mempersoalkan nama negara tersebut (dengan ada embel-embel ‘negara Islam’ atau tidak).

Dari pengalaman sejarah republik ini, kita dapat belajar bahwa Islam melalui para pemimpinnya telah menunjukkan keteladanan dan komitmen yang tinggi untuk menjaga agar republik ini tetap utuh. Semangat berislam yang ditunjukkan, bukan hanya untuk kepentingan ekslusif umat Islam semata, melainkan juga untuk seluruh anak bangsa yang terdiri dari berbagai macam agama, etnis dan sebagainya. Tugas kita sebagai generasi Muslim di era sekarang, mengembangkan kultur Muslim demokrat, termasuk di dalamnya mempunyai kepekaan terhadap segala bentuk ketimpangan yang ada. Itulah nilai moril sejati dari Islam itu sendiri. 

0 Shares:
You May Also Like