Menjadi Muslim Indonesia: Perlunya Membaca Kembali Pemikiran Nurcholish Madjid

Nurcholish Madjid atau yang biasa kita kenal dengan sebutan Cak Nur merupakan lokomatif pembaharuan pemikiran Islam di Indonesia. Pemikirannya tidak jarang menjadi acuan bagi kalangan pembaharu modernis Muslim di Negeri ini. Dengan pikirannya yang kadang-kadang sangat kontroversial, sehingga pada tahun 1970-an Cak Nur disebut sebagai tokoh kontroversi. Di sisi lain ada pula yang menyebutnya sebagai  Natsir Muda, sebuah sebutan yang dihubungkan dengan nama seorang tokoh partai Masyumi yang berpandangan modern yaitu Muhammad Natsir. Nurcholish Madjid bersama sejumlah tokoh lainnya, mendirikan Yayasan Paramadina. Sejauh ini, dapat dikatakan bahwa Nurcholish Madjid adalah simbol personal dan maskot dari lembaga tersebut. Paramadina sebagai salah satu pusat kajian keislaman, menawarkan citra baru Islam Inklusif dan menghadirkan perspektif baru dalam menelaah problem kemanusiaan kontemporer.

Dalam salah satu literatur disebutkan, bahwa sejak tahun 1984 hingga wafatnya, Nurcholish Madjid menyampaikan pemikiran-pemikiran keislamannya yang mendalam melalui Klub Kajian Agama (KKA) yang dilakukan oleh Yayasan Wakaf Paramadina. Tidak kurang dari 200 tulisan dihasilkan oleh klub kajian tersebut, tulisan-tulisan tersebut kemudian diterbitkan dalam bentuk buku oleh yayasan yang sama. Melalui penerbitan tersebut, selain melalui media lain, pemikiran-pemikiran Nurcholish Madjid dikenal luas oleh masyarakat Muslim Indonesia dan mendapat pengakuan dan apresiasi yang kuat. Sebagaimana yang dikatakan oleh Eki Syachrudin dalam “Moral Politik Sebuah Refleksi”, Nurcholish Madjid adalah salah satu contoh terbaik dalam kehidupan berorganisasi dan berpolitik. Ia adalah seorang demokrat yang konsekuen dalam kata dan perbuatan. Ia mendudukan dirinya pada cita-cita yang benar tentang pencapaian suatu masyarakat yang sehat dan bersih.

Pada dasawarsa 1960-an hingga 1970-an, merupakan suatu priode di mana umat Islam, khususnya para pemikir dan aktivis Muslim merasakan beratnya beban yang harus dipikul akibat adanya sintesis yang sulit antara Islam dan Negara. Hal yang paling krusial pada saat itu adalah seringnya umat Islam menjadi sasaran kecurigaan ideologis dan tak jarang pula ditempatkan dalam posisi marginal dalam proses-proses politik nasoinal. Hal ini didasari oleh ketidak mampuan umat Islam, yang diwakili oleh para pemimpinnya, untuk membedakan antara nilai-nilai trasendental dan yang temporal. Dari sinilah muncul gagasan Nurcholish Madjid yang merupakan respon terhadap fenomena sosial politik yang berkembang pada awal rezim Orde Baru, yang merupakan implementasi gagasan dan pemikiran Nurcholish Madjid terhadap Islam sebagai Agama yang terbuka dan menganjurkan idea of progress.

Menyadari bahwa persoalan-persoalan di atas bukanlah semata-mata hanya berdimensi politis, akan tetapi lebih dari itu mempunyai masalah teologis juga. Dalam hal ini, Nurcholish Madjid mencoba memberi suatu alternatif pemecahan, khususnya yang berkaitan dengan dimensi teologis. Nurcholish Madjid berpendapat bahwa akar persoalan yang dihadapi komunitas Islam Indonesia ketika itu adalah hilangnya “daya gerak psikologis” (psychological striking force) yang jelas diperoleh dari Agama. Sebagaimana telah disebutkan oleh Charles Kurzman dalam bukunya yang berjudul Wacana Islam Liberal; “Nurcholish Madjid mengusung ide tentang perlunya kebebasan berpikir sehingga memunculkan pikiran-pikiran segar yang mempunyai daya pukul psikologis (psychological striking force) yang dapat merespon tuntutan-tuntutan segar, dari kondisi-kondisi masyarakat yang terus tumbuh, baik di bidang ekonomi, politik, maupun sosial. Dengan kata lain, umat Islam harus mampu mengambil inisiatif-inisiatif dalam pembangunan masyarakat yang bersifat duniawi. Dengan demikian, pintu ijtihad bagi Nurcholish Madjid adalah tetap terbuka, dan merupakan keharusan bagi umat untuk memahami agamanya”.

Baca Juga:  Dimensi Akhlak-Tasawuf TGKH. Zainuddin Abdul Madjid: Sebuah Pengantar

Bahkan menurut Nurcholish Madjid, jika benar-benar konsisten terhadap ajaran agamanya, seorang Muslim (Muslim Indonesia) harus terbuka terhadap ide-ide kemajemukan (idea of progress) serta bersedia mendengarkan perkembangan ide-ide kemanusiaan dengan spektrum seluas mungkin, kemudian memilih di antaranya, yang menurut ukuran-ukuran objektif mengandung kebenaran (universal). Sehingga dengan mengoptimalkan rasio dan akal pikiran yang ada padanya, harus terlibat dalam upaya menemukan cara-cara yang terbaik bagi kehidupan kolektif manusia. Lihat, Nurcholish Madjid, “Keharusan Pembaharuan Pemikiran Islam dan Penyegaran Kembali Pemahaman Keagamaan. Ann Kull, dalam bukunya yang berjudul “Piety and Politic: Nurcholish Madjid and His Interpretation of Islam in Modern Indonesia” menyebutkan bahwa Nurcholish Madjid mengajak agar umat Islam Indonesia untuk senantiasa berani melakukan ijtihad, termasuk dalam merespon persoalan-persoalan Indonesia kontemporer. Selain itu, Nurcholish Madjid juga mengajak agar umat Islam tidak phobia terhadap fenomena-fenomena modernisasi.

0 Shares:
You May Also Like