MANUSIA DAN AGAMA DALAM SOROTAN

Manusia telah Tuhan jadikan sebagai sebaik-baiknya makhluk dengan modal yang luar biasa istimewa. Melalui keistimewaan yang menjadi fitrah tersebut manusia diberikan tugas yang berat; berperan menjadi khalifah di bumi; tugas yang tidak dapat diampu oleh gunung, hewan, maupun lainnya. Meskipun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa polemik penciptaan manusia dicantumkan dalam kitab Al-Qur’an, di mana para malaikat telah memprediksi dengan akalnya yang telah Tuhan tundukkan, bahwa ‘kelak’ mereka (para manusia) akan membuat kerusakan di bumi dan saling berebut apapun karena ambisi hingga bertumpah darah saling menerkam. Akan tetapi, segala hal yang terjadi hanya Tuhan yang mengetahui sebenar-benarnya kebenaran. Oleh sebab itulah, manusia diberikan tugas menjadi abdullah dan menjadi khalifah; pengabdi dengan segala ketundukan, kepasrahan kepada Tuhan dan menjadi kreator sekaligus inovator dalam rangka melestarikan, menjaga dan mendayagunakan fasilitas yang telah Tuhan ciptakan dalam mencapai kemakmuran yang dikehendaki-Nya dengan mendayakan potensi atau fitrah manusia.

Tuhan menciptakan segala isi daripada bumi semesta ini untuk kepentingan manusia. Sebagian kecil di antaranya telah manusia temukan dalam beberapa abad dewasa kini yang tidak lain ialah ihwal fasilitas kesuksesan manusia dalam rangka mensukseskan tugasnya. Lebih dari milyaran fasilitas telah Tuhan berikan untuk kehidupan manusia dalam mengarungi kehidupan. Tentunya, hal demikian tidak dibenarkan jika segala fasilitas yang telah Tuhan berikan, kemudian manusia gunakan ‘hanya’ untuk dinikmati semata, layaknya udara, air, api, tanah dan berbagai hal yang lain yang memiliki ‘kemungkinan’ mendekatkan manusia pada sifat serakah, jika manusia tidak dapat mengukur dan menakar asal dirinya. Alhasil, dari konsep demikianlah manusia menjadi makhluk yang memiliki kemungkinan ‘terburuk’ daripada makhluk lain.

Baca Juga:  Al-Qur’an sebagai Laku Spiritual (Bagian 3)

Rentetan penalaran di atas merupakan bukti bahwa manusia menjadi pusat perhatian dalam agama, khususnya dalam ajaran dan kandungannya. Tidak perlu mengejawantahkan perbedaan ruang agama dan ruang kemanusiaan terlalu ambisi. Sebab, pada dasarnya setiap agama hadir dipeluk oleh manusia untuk merapikan, menertibkan dan mengatur segala kebebasan yang manusia bingungkan. Terutama dalam persoalan perlindungan, keselamatan dan kegelisahan yang tidak menenangkan. Bagaimanapun, esksitensi agama sangatlah penting.

Jika manusia memiliki keautentikkan mencari jawaban atas kegelisahan berupa pertanyaan-pertanyaan yang belum usai, maka agama berfungsi membimbing nalar dan nafsu manusia untuk menemukan apa saja yang diharapkannya menjadi jawaban. Meski, perlu dilakukan filterisasi ketepatan dalam mencapainya. Berbagai ajaran dalam risalahnya, tentunya mengarah pada nilai-nilai kemanusiaan. Artinya, kontradiksi yang terjadi dalam antar agama dan nilai-nilai kemanusian merupakan kesimpulan yang belum usai dan perlu digali kembali. Jika agama yang potensinya merapikan, menertibkan dan mengatur kebebasan manusia tidak lagi sesuai dengan konsep dasar ketenangan dan keadilan, maka satu-satunya kekeliruan yang ‘mungkin’ ditemu dan valid ialah proses reproduksi dan proses rekonstruksi. Kedua proses ini begitu penting dalam mencapai fungsi agama dalam kehidupan yang sebenarnya.

Dari konstruksi konsep di atas dapat dipahami bersama bahwa eksistensi agama ialah untuk merapikan kehidupan manusia yang penuh nafsu dan penuh kebebasan tanpa aturan. Secara tidak langsung, dapat dikatakan bahwa agama ialah alat yang dapat membantu manusia mencapai produksi pengetahuan terefektif, khususnya dalam risalah-risalahnya dan membantu manusia menuju berbagai kebijaksanaan-kebijaksaan transendental. Oleh sebabnya, konsep konstruksi risalah dalam agama mayoritas sesuai dan sejalan dengan penemuan-penemuan logis. Hal ini disebabkan oleh, adanya kontrolisasi pada ambisi nafsu dan adanya pemurnian maksimalisasi nalar kebijaksanaan yang penuh pertimbangan rasional, sehingga antara agama dan kemanusiaan tidak dapat dipisahkan. Sebab, keduanya saling bersinergi.

Baca Juga:  Falsafah Politik Al-Farabi; al-Madȋnah al-Fâdhilah Kerangka Etis Dasar sebuah Negara
0 Shares:
You May Also Like