Kenapa Seolah Allah Sengaja Menyesatkan atau Melupakan Hamba-Hamba-Nya?

Tadi ketika Talk Show Amal Khayr Yasmin—btw, acaranya bagus sekali, bisa ditonton di YouTube, berjudul Tentang Hidup, Cinta, dan Bahagia—saya seperti  mendapat pencerahan. Kita tahu bahwa Allah, dalam Al-Qur’an, sering menggunakan ungkapan semacam ini: “Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki, dan memberi petunjuk kepada siapa yang dia kehendaki”. Atau, di tempat lain Dia katakan, “Siapa yang melupakan Allah, Allah akan melupakannya”. Dan sebagainya.

Biasanya saya akan menjelaskan hal itu sebagai cara pengungkapan Allah akan sunatullaah-Nya yang adil. Bahwa, kalau orang membiarkan hatinya kotor, dan akhlaknya buruk, naturally dia akan (makin) tersesat. Untuk ungkapan yang satunya, kita bisa memahaminya dengan mudah bahwa orang yang melupakan Allah, naturally akan menutup jalannya sendiri kepada berkah (barakah) dari Allah: termasuk hidayah, inayah, dan taufik-Nya. Itu yang dimaksud dengan Allah menyesatkan atau melupakan orang. After all, bukankah Allah menegaskan dirinya sebagai Sang Adil, yang tak akan mungkin menzalimi makhluk-Nya dengan tindakan-tindakan arbitrer semau-Nya sendiri. Bukankah Dia juga al-Hakim, yang tak mungkin berbuat sesuatu kecuali dengan hikmah (kebaikan dan kebijaksanaan)?

In any case, this argument still holds However, saya merasa mendapat pencerahan baru atas alasan kenapa Allah membuatnya kalimat aktif? Allah akan menyesatkan, Allah akan melupakan. Kenapa Allah tidak menggunakan saja ungkapan yang lebih netral, misal bahwa si obyek pembicaraan (addressee, mukhathab) sendiri yang akan menjerumuskan dirinya sendiri, yang akan kehilangan akses kepada barakah Allah akibat menzalimi dirinya dengan keburukan-keburukan? Toh maknanya sama, dan tak akan menimbulkan kesalah-pahaman orang? Nah, tampaknya justru di sini rahasianya. Dengan menggunakan kalimat aktif sesungguhnya Allah ingin menegaskan suatu prinsip sehubungan dangan perannya dalam khalqul a’mal al-‘ibad (penciptaan amal manusia). Yakni, apakah manusia itu punya ikhtiar (sama sekali) bebas, sebagaimana diyakini kelompok yang mempromosikan tafwid (katakanlah, Mu’ tazilah), atau manusia sepenuhnya adalah boneka yang terpaksa sebagaimana diyakini kelompok jabr (predeterminasi, pemaksaan total), atau bagaimana?

Baca Juga:  Pesan-Pesan Iblis

Ya, ada Mu’tazilah, ada Jabriyah. Kemudian ada juga Asy’ariyah dan Syiah yang degan perbedaan di sana sini, percaya pada sesuatu di tengah-tengahnya. Asy’ariyah percaya pada al-kasb al-ilahi. Bahwa meski manusia punya ikhtiar, dayanya menerapkan ikhtiar itu masih tergantung pada apakah Allah memberinya kemampuan (kasb) untuk menerapkan daya ikhtiarnya itu, persis di saat orang tersebut akan melakukan sesuatu itu. Syiah punya al-amr bayn al-amrayn (sesuatu yang berada di tengah-tengah antara ikhtiar dan jabr juga). Bukan di sini tempat utk membahas hal yang agak pelik ini lebih jauh. Tapi, yang saya maksud dengan pencerahan tersebut adalah: dengan cara Allah mengungkapkan perannya dalam khalq al-a’mal al-‘ibad yang menjadi fokus tulisan sederhana ini.

Sesungguhnya Allah sedang menyatakan bahwa dalam setiap hal, pada puncaknya Allah selalu berperan menentukan—bukan manusia (sendiri). Menurut saya, kebenaran tentang soal ini pasti bukan sejalan dengan jabriyah, tak pula dengan Mu’tazilah. Karena, seperti sudah panjang lebar dan berabad-abad ditunjukkan dalam perdebatan teologis tentang soal ini, mustahil kita menghindar bahwa, di satu sisi, Allah memberi manusia daya ikhtiar tapi, di sisi lain, Allah juga tak mungkin tak berperan dalam hal ini. Tak ada sesuatu yang tak tergantung kepada Allah dalam hal apa pun, dan dalam saat apa pun. Dan tak ada sesuatu pun yang bisa bebas dari kekuasaan Allah, dalam kemutlakan-Nya di mana pun, dan kapan pun. Kaum ‘arif pun, seperti Ibn ‘Arabi, mengajarkan prinsip la tikrar fit-tajalliy. Bahwa Allah tak pernah tak aktif, Dia selalu menciptakan sesuatu yang baru dalam penciptaan terus-menerus.

Maka, demi menunjukkan bahwa Dia tak pernah tak berperan dalam hal apa pun, Allah menggunakan kalimat-kalimat aktif dengan Dia sendiri sebagai Subyeknya, untuk menegaskan impresi bahwa, meski manusia punya daya ikhtiar, pada puncaknya Allah-lah Aktor Aktif dalam penciptaan amal-amal manusia itu. Segini aja dulu. Wallahu a’lam

0 Shares:
You May Also Like