Buya Hamka, demikian banyak orang menyapa dan menyebut namanya. Sebutan Hamka lebih familiar daripada nama aslinya; Haji Abdul Malik Karim Amrullah. Dalam buku, Ayah: Kisah Buya Hamka, Masa Muda, Dewasa, Menjadi Ulama, Sastrawan, Politisi, Kepala Rumah Tangga, Sampai Ajal Menjemput (Republika: 2019) garapan Irfan Hamka sebagai anaknya dibuat binggung dengan panggilan Hamka“sejenak aku binggung untuk menjawabnya. Yang aku tahu, orang-orang menyebut ayah dengan panggilan buya”(hlm. 32).
Buya Hamka, adalah ulama besar, sufi, sastrawan, yang pernah dimiliki bangsa Indonesia. Karenanya, Buya Hamka merupakan tokoh yang sangat menarik dan unik, baik secara pribadi maupun pemikirannya. Menarik dan uniknya, bukan karena beliau pernah menjabat ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), atau bukan karena pernah menjabat ketua di organisasi keagamaan terbesar Indonesia, Muhammadiyah.
Hingga kini pun pemikiran dan gagasan Buya Hamka tetap menarik dan unik, karena masih tetap aktual dan relevan dengan konteks keagamaan Indonesia. Maka, tak heran jika hingga kini, pemikiran dan gagasannya selalu menjadi tema kajian dan diskusi. Mulai dari obrolan serius di ruang akademisi hingga obrolan santai sambil menyeruput kopi di kedai warung kopi.
Karya-karyanya hingga kini pun masih dicetak ulang, dan dibaca banyak kalangan, terutama karyanya terkait kesusastraan dan Tafsir al-Azhar. Tentu, tak dapat dipungkiri, banyak karya-karya, bahkan ratusan karya ilmiah dan dalam berbagai bidang yang lahir sebagai interpretasi dari pemikiran dan gagasan Buya Hamka.
Melihat besarnya pengaruh pemikiran dan gagasan Buya Hamka atas generasi selanjutnya, tentu yang harus diakui adalah bahwa pemikiran dan gagasannya tak lahir dalam ruang hampa. Akan tetapi dipengaruhi sosio kultural keagamaan dan sosio politik di mana Buya Hamka hidup waktu itu. Buya Hamka lahir pada 17 Febuari 1908, di suatu dusun Nagari Sungai Batang di Tepian Danau Maninju, Tanjung Raya Kabupaten Agam Sumatera Barat sebagai anak pertama dari tujuh bersaudara.
Ayahnya, Syekh Abdul Karim Ambrullah atau Haji Rasul dikenal sebagai seorang tokoh agama Islam terpandang dan penentang ajaran rabithah yang menghadirkan mursyid dalam sistem tasawuf. Secara sosio politik, Buya Hamka hidup di zaman pergolakan antara kaum muda dan kaum tua di tahun 1908 atau 1325 H. Buya Hamka dididik secara mandiri oleh ayahnya seakan-akan menjadi paket dalam memahami persoalan-persoalan agama yang telah membetuk diri Buya Hamka sejak masa anak-anak. Perjalanan panjang Buya Hamka banyak dipengaruhi kebudayaan Minangkabau, terutama yang ditularkan langsung dari ayahnya.
Seperti kebiasaan di zaman dulu, ketika masih umur tujuh tahun Buya Hamka di pagi hari belajar pendidikan formal di Sekolah Desa di Gubuk Malintang, dan sore harinya diisi dengan Sekolah Diniyah (sekolah agama) di Pasar Usang yang di pimpin oleh Zainuddin Labay el-Yunusi. Setelah itu, Hamka dimasukan pondok pesantren untuk menghafal kitab-kitab klasik, kaidah nahwu (tata bahasa) dan sharaf (sintaksis) milik ayahnya di padang panjang bernama Sumatera Thawalib.
Kesukaannya atas bahasa Arab membuat Buya Hamka cepat menguasai bahasa Arab. Selain belajar bahasa Arab, Buya Hamka juga kursus bahasa Inggris di malam harinya, walaupun tak lama. Buya Hamka lebih tertarik membaca buku-buku cerita dan sastra miliki Zainuddin Labay el-Yunusi, ketimbang belajar mengaji. Baginya, kebiasaan membaca buku-buku cerita dan pengetahuan seputar agama dan sastra memberi banyak ilmu pengetahuan dan sudut pandang berbeda.
Buya Hamka memiliki kemampuan ganda dan kesadaran tinggi serta tanggung jawab moral sebagai anak yang lahir dari ulama terkemuka. Selama hidup, Buya Hamka tak pernah sekalipun meninggalkan tugas dakwah Islam melalui organisasi keagamaan Muhammadiyah. Terhitung sejak tahun 1927 Buya Hamka sudah bergelut dan berkecimpung dalam kegiatan organisasi Muhammadiyah dengan membangun pimpinan Muhammadiyah di Lhok Seumawe dan pada 1928 menghadir Kongres Muhammadiyah ke-18 di Solo.
Selain itu, Buya Hamka juga aktif sebagai pengurus Muhammadiyah cabang Padang Panjang dalam mempersiapkan Kongres Muhammadiyah ke-19 di Minangkabau. Ikut mendirikan Muhammadiyah di Bangkalis di tahun 1930, dan menghadiri kongres Muhammadiyah ke-20 di Yogyakarta, serta menjadi utusan Mubaligh Muhammadiyah di Makassar. Dan, pada tahun 1933 Buya Hamka menghadiri kongres Muhammadiyah di Semarang Jawa Tengah.
Perjuangannya juga dilakukan Buya Hamka melalui karya-karayanya. Sekian banyak pengalaman dan pemikiran Buya Hamka telah diwariskan pada kita melalui karya-karya yang sudah terbit berulang kali hingga saat ini seperti, Tasawuf Modern (2017), Falsafah Hidup (2017), Lembaga Hidup (2017), Terusir (2016), Di Bawah Lindungan Ka’bah, (1957), dan bahkan romannya diangkat dalam film layar lebar, Tenggelamnya Kapal Van der Wijck (2013), dan lain sebagainya.
Sebagai seorang sastrawan, Buya Hamka memiliki kemampuan daya ingat dan kesan dalam mata, di mana kemampuan ini diutarakan dalam bentuk dan gaya cerita sehingga menciptakan karya yang sangat mengesankan. Ingatan ini misalnya kita bisa simak dalam, Buya Hamka: Pribadi dan Martabat (2018) garapan Rusydi Hamka terkait sikap Hamka dalam mengarang.
“Mengaranglah dulu dengan ilham. Tulis apa yang kau lihat, alami, baru kemudian kau lengkapi dengan bacaan. Menurut pengalaman ayah. Kalau terlalu lama untuk dimulai akan lupa pada kesan-kesan perjalanan itu. Dan, bila terlalu menggantungkan pada buku, laporanmu itu tidak hidup nantinya”(hlm. 69).
Kemampuan dalam bidang agama dan kesusastraan juga diakui oleh Kiai Abdur Rahman Wahid atau Gus Dur dengan mengatakan bahwa “Hamka adalah seorang yang termasuk memiliki kemampuan ganda dalam kehidupan bangsa, sebagai ulama dan sekaligus sastrawan.” Pengakuan ini tentu tak berlebihan sama sekali, bahkan sangat pantas, kalau mengingat pengaruh pemikirannya hingga kini masih dikaji di beberapa perguruan tinggi, baik swasta maupun perguruan tinggi negeri.
Sepertinya, agak disayangkan, jika sebagai generasi muda milenial dan generasi Z Islam saat ini, tak mengenal dan tak membaca ulang pemikiran dan gagasan Buya Hamka yang dirasa sudah mulai pudar, cenderung membeku, bahkan cederung statis, karena terlalu disibukan dengan hal-hal sepeleh dan remeh-temeh.
Masih sedang berkembang saat ini anggapan yang agak populer bahwa mencari ilmu cukup dengan menjentikkan jari di gawai layar komputer atau smartphone, tanpa harus bepergian jauh. Mendengarkan ceramah-ceramah dan kisah keagamaan secara virtual, tak mau lagi repot-repot “berkeringat”, bersusah-payah datang dan mencari guru, apalagi membaca dan mengkaji.
Banyak yang bisa dipelajari dari perjalanan panjang kehidupan Buya Hamka, terutama melalui perjalanan hidup dan karya-karya Buya Hamka. Kita bisa memetik makna dan arti kehidupan yang bisa memberikan banyak arti bagi setiap orang, bahkan lebih dari itu semua, tergantung bagaimana kita melihat Buya Hamka itu sendiri.
Pada akhirnya, dan pastinya, karya dan pemikiran Buya Hamka akan tetap hidup dan dikenang di hati seluruh umat tak hanya di kalangan Muhammadiyah, akan tetapi bagi seluruh umat Islam di Indonesia.