IJTIHAD SEBAGAI LANGKAH PEMBARUAN FIKIH

Oleh: Darul Siswanto

Alumni Universitas Al-Azhar Kairo dan Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Judul buku       : Menuju Fiqh Baru
Pengarang        : K.H. Husein Muhammad
Penerbit           : IRCiSoD
Tahun terbit    : Juni 2020
Tebal buku      : 252 hlm; 14 x 20 cm
ISBN                 : 978-623-7378-65-5

 “Teks-teks itu telah selesai dan terbatas, sedangkan peristiwa-peristiwa kehidupan belum selesai dan terus berkembang”. Begitulah kiranya sepotong kesimpulan dari yang diuraikan oleh beberapa ulama, seperti Imam Syahrastani, Ibnu Rusyd, dan Imam Haramain. Sebagai pengantar tentang bagaimana keilmuan fikih seharusnya terus ikut berkembang secara dinamis, tidak ‘mandeg’.

Menuju Fiqh Baru adalah buku yang ditulis oleh K.H. Husein Muhammad. Seorang ulama kelahiran Cirebon, menyelesaikan pendidikannya di Pesantren Lirboyo, Kediri, kemudian di Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur’an (PTIQ) Jakarta dan Universitas al-Azhar, Kairo. Buku ini adalah sebuah upaya untuk mendeskripsikan kembali berbagai percakapan, dialog, perdebatan dan wacana-wacana yang ada di dalam fikih secara umum dari periode klasik hingga modern, dan pada permasalahan pembaruan fikih sebagai upaya menjawab zaman.

Tentang Cara Bermadzhab

Setelah memulai bahasannya dengan menguraikan tentang keniscayaan ijtihad sebagai langkah untuk menjawab berbagai persoalan-persoalan kehidupan yang terus berkembang. K.H. Husein Muhammad melanjutkan bahasannya sebagai pendahuluan, adalah tentang seluk beluk yang ada tentang bagaimana seseorang yang bermadzhab melakukan apa yang disebut dengan taqlid dan talfiq. Pembahasan ini menjadi penting, karena menurutnya problematika dalam bermadzhab memberikan pengaruh yang cukup besar pada pemikiran para ahli fikih.

Pada bagian ini, taqlid dan talfiq dijelaskan secara komprhensif, sehingga pembaca tidak lantas terjebak pada kemungkinan generalisasi problematika yang timbul dalam taqlid dan talfiq. Dijelaskan secara terperinci beberapa  jenis dan bentuk dari metode taqlid dan talfiq dalam bermadzhab, serta contoh-contoh faktual yang membantu pembaca untuk dapat memahaminya dengan lebih mudah. Terkait dengan talfiq misalnya, K.H. Husein menerangkan:

Baca Juga:  Dari Ekologi Manusia ke Ekologi Politik: Respon atas Krisis Ekologis

Kita sudah melihat pelbagai keadaan tertentu ketika sebagian fuqaha’ mengesahkan pengambilan hukum-hukum dari madzhab-madzhab di luar madzhabnya sendiri jika sekiranya lebih dapat diterima. Dan, ini hanya untuk beragam masalah tertentu. Sedangkan untuk sejumlah masalah yang lain, mereka masih berpegang pada madzhabnya sendiri.” (hal. 123)

Di akhir pembahasan, K.H. Husein melemparkan suatu ide dan wacana yang cukup menarik. Yakni perlu untuk dibentuknya suatu lembaga ilmiah internasional yang beranggotakan para ahli di bidang hukum dari seluruh negara Islam. Tugas lembaga ini adalah melakukan kodifikasi hukum-hukum Islam disertai dengan metode-metode modern. Sebagai suatu jawaban atas tuntutan zaman, menurut K.H. Husein sangat memungkinkan bahwa metode talfiq akan memberikan corak pada fikih menuju pembaruannya, ketika problematika yang dihadapi sangat dinamis dan terus berkembang. (hal. 153)

Jalan Menuju Fikih Baru

Sebagaimana telah disebutkan di atas, bahwa adalah sebuah keniscayaan bagi fikih untuk terus ikut berkembang searah dengan realita-realita kehidupan yang terus berkembang. Ijtihad adalah salah satu metode yang memungkinkan bagi fikih untuk tetap relevan menjawab zaman, namun dalam sejarah fikih, ada suatu masa di mana pintu ijtihad seakan tertutup. Hal ini tidak lain adalah karena beberapa faktor yang di antaranya adalah cara-cara bermadzhab yang telah dijelaskan oleh K.H. Husein pada bab sebelumnya, seperti dominasi taqlid dan fanatisme madzhab.

Ijtihad sebagai langkah menuju fikih baru, dibagi ke dalam dua bentuk ijtihad. Pertama yaitu K.H. Husein menyebutnya dengan ijtihad insya’i, yakni suatu proses ijtihad untuk melahirkan hukum yang sama sekali baru. Suatu pemikiran yang belum pernah dihasilkan dan atau diberikan keputusan mengenainya oleh orang-orang (ahli fikih) terdahulu. Kedua adalah ijtihad intiqai, yakni memilih pendapat terkuat, dan dipandang lebih dekat dengan kehendak syar’i, kepentingan masyarakat dan konteks zaman. Seleksi hukum-hukum ini dapat dilakukan dalam madzhab yang empat (Hanbali, Maliki, Syafi’i, Hanafi), atau juga dari luar madzhab empat tersebut. Karena tidak dapat dipungkiri banyaknya ulama di luar empat madzhab tersebut yang juga ahli di bidang fikih dan memiliki tingkat keilmuan yang sama. (hal. 176)

Baca Juga:  IBNU RUSYD DAN KITAB FAṢL AL-MAQĀL FĪMĀ BAINA AL- ḤIKMAH WA AL-SYARĪ‘AH MIN AL-ITTIṢĀL (2)

Kemudian, pada akhir bukunya K.H. Husein memaparkan salah satu versi dari gagasan ‘fikih baru’. Yakni “Nawha Fiqh Jadid” (Menuju Fikih Baru) yang ditulis oleh Jamal al-Bana adik kandung Hasan al-Bana pendiri Ikhwanul Muslimin. Suatu gagasan pembaruan fikih yang lahir sebagai bentuk kritik dan gugatannya terhadap pemikiran-pemikiran keagamaan yang dianggap konservatif, tradisionalis dan fundamentalistik.

Disajikan dengan sangat komprehensif, dan gaya bahasa yang lugas, buku “Menuju Fiqh Baru” yang ditulis K.H. Husein Muhammad, menjadi cukup ringan untuk dibaca maupun dipahami. Buku ini juga menjadi cukup relevan dan tepat dalam membantu pembaca menemukan jawaban-jawaban atas apa yang menyebabkan kejumudan dunia fikih Islam dan apa saja jalan-jalan yang sangat mungkin untuk ditempuh dalam menghadapinya. Sudah saatnya kita luangkan waktu untuk membacanya.

0 Shares:
You May Also Like