Judul Buku : Berislam Seperti Kanak-Kanak
Penulis : Kalis Mardiasih
Penerbit : Yayasan Islam Cinta Indonesia
Tebal Buku : 197 halaman
Cetakan : Oktober 2018
ISBN : 978-602-53698-0-3
Dua bulan yang lalu, tepatnya 16 Oktober 2020, dunia digemparkan perihal pemenggalan seorang guru yang menunjukkan karikatur Nabi Muhammad kepada muridnya di Prancis. Pelaku pemenggalan tersebut tak lain adalah seorang Muslim. Islam, pada saat itu menjadi perbincangan hangat di belahan dunia. Tak sedikit yang beranggapan bahwa Islam adalah agama yang menakutkan, juga menyeramkan. Tidak lama kemudian, umat Islam kembali dikejutkan atas pernyataan Presiden Prancis, Emmanuel Macron. Ia mengatakan Islam adalah agama yang mengalami krisis di seluruh dunia. Akibat dari ucapan tersebut, situasi dunia Islam memanas. Gelombang protes dan gerakan boikot produk Prancis bermunculan di negara-negara Muslim, tak terkecuali di Indonesia.
Satu bulan kemudian, 27 November 2020, pemenggalan atas nama agama kembali terulang. Kali ini dilakukan oleh Mujahidin Indonesia Timur (MIT) kepada empat orang Dusun Lewonu, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah. Empat orang korban tersebut adalah Yasa, Pinu, Naka, dan Pedi yang masih terhitung keluarga (tirto.id). Lagi-lagi kita dihadapkan kejahatan Muslim ultra konservatif dengan membawa nama Islam. Tentu saja peristiwa ini mencemarkan nama baik Islam sendiri.
Perlu kita ketahui, Islam di mata orang banyak, dilihat dari pemeluknya, yakni Muslim. Mereka melihat kita bukan karena baju yang kita kenakan, melainkan melihat perkataan dan akhlak perilaku sehari-hari kita. Jika kita Muslim, berperilaku baik, maka Islam akan tampak baik. Begitupun sebaliknya. Maka dari itu, tak heran berdasarkan peristiwa yang terjadi di Negaranya, Macron menyatakan dunia Islam sedang mengalami krisis.
Meski pernyataan tersebut membuat sebagian besar Muslim di dunia tersinggung. Namun, bagi KH. Yahya Cholil Tsaquf (Gus Yahya) Katib Aam PBNU, apa yang dikatakan Macron tidak sepenuhnya salah. Menurutnya, memang Islam sedang dilanda krisis. Yaitu, Dunia Islam belum sampai pada konstruksi keagamaan dan sosial-politik yang dibutuhkan untuk berintegrasi secara damai dan harmonis. Akan tetapi, sampai saat ini, dunia Islam masih berkutat pada kekerasan dan penaklukan.
Hal inilah yang menjadi topik bahasan buku yang berjudul Berislam Seperti Kanak-Kanak (2018). Buku besutan Kalis Mardiasih ini adalah kumpulan esai yang pernah tayang di media online seperti mojok.co, detiknews, dan islami.co. Buku ini ditulis dengan bahasa yang mudah dipahami, renyah dan tidak ndakik-ndakik. Selain itu, buku ini menjadi upaya counter argument narasi keberagaman yang kaku. Narasi yang hanya melihat sudut pandang hitam dan putih, suka mengapling surga, tak segan mengkafirkan liyan, bahkan menghalalkan darah orang yang tidak seiman.
Membaca buku ini, kita disuguhkan model keberislaman yang berbunga-bunga dan penuh warna. Tak hanya itu, kita juga diajak menziarahi kembali masa kanak-kanak, masa yang penuh riang gembira, masa yang tidak mengenal penaklukan atas nama agama.
Dalam esai yang berjudul “Berislam dengan Kewarasan” Kalis tampak geram terhadap perilaku banyak orang yang menganggap bahwa Islam harus menaklukan orang lain melalui proses indoktrinisasi bahkan pemaksaan. Bagi Kalis, penaklukan adalah narasi zaman purba. Narasi masa kini yang seharusnya digaungkan adalah hidup berdampingan dalam mengupayakan kebaikan-kebaikan untuk generasi berikutnya. Bagiamana mewarisi mereka dengan udara yang lebih baik, kualitas tanah yang lebih baik, air yang lebih baik, teknologi yang memudahkan kehidupan, juga sistem persaudaraan yang tidak saling menyerang satu sama lain (hal 67).
Untuk membumikan ajaran Islam yang demikian, tentu harus didukung dengan dakwah yang sejalan, dakwah yang mengedepankan perdamaian. Dakwah yang merangkul bukan memukul, dakwah yang mengayomi bukan memukuli. Abdul Halim dalam buku Ingin Saleh Boleh, Merasa Saleh Jangan (2020) menjelaskan dalam berdakwah hendaknya da’i mengikuti metode dakwah yang dicontohkan oleh Nabi.
Pertama, Nabi selalu mengedepankan perdamaian dan tidak suka kekerasan dalam berdakwah.
Kedua, menghargai keberagaman. Ketika kali pertama hijrah ke Madinah, Nabi dipertemukan masyarakat yang beragam, di antaranya: kaum Anshar, Muhajirin, dan Yahudi. Namun, Nabi tidak pilih-pilih. Beliau mementingkan kemaslahatan umat ketimbang kemaslahatan kelompok Muslim saja.
Ketiga, dakwah Nabi dilandasi dengan kasih sayang. Ketika dakwah Nabi ditolak, beliau tidak pernah memaksa. Bahkan, tatkala Nabi disakiti oleh orang, beliau tidak menyimpan dendam sama sekali. Malah, beliau mendoakan orang tersebut dengan kebaikan.
Sementara itu, Quraish Shihab dalam sebuah pengajian di Masjid Cut Meutia, Jakarta dengan tema “Dakwah ala Nabi, Shihab & Shihab” yang diunggah di kanal YouTube putrinya Najwa Shihab, menjelaskan bahwa berdakwah itu hendaknya seolah-olah memberikan hadiah agar mendapat hidayah. Jika berdakwah diibaratkan memberi hadiah tentu saja tidak bisa dilakukan dengan marah-marah, melainkan dilakukan dengan indah dan sangat menyenangkan.
Tak hanya itu, indikator suksesnya dakwah, menurut Quraish Shihab, ditandai dengan dua hal: Pertama, bertambah pengetahuan tentang agamanya. Kedua, bertambah kesadarannya beragama. Pada akhirnya, jika Islam dikenal dan dipahami oleh seorang dengan cara-cara yang indah, maka pemenggalan atas nama agama barangkali tak akan terjadi.
Melihat fenomena demikian tentu saja merugikan bagi umat Islam. Kembali lagi pada persoalan pemenggalan, orang akan melihat bahwa Islam seolah-olah menjelma menjadi agama yang melegalkan pemenggalan. Tentu hal ini sangat tidak kita inginkan. Padahal, Islam adalah ajaran agama yang mengedepankan kemanusiaan, cinta, kasih sayang, bahkan tidak boleh melakukan keburukan kepada siapapun. Jika hal semacam ini terulang kembali, tentu akan melemahkan kampanye Islam sebagai agama rahmatan lil alamin.
Maka, lewat buku ini kita diajak kembali menelaah hakikat ajaran Islam. Agama yang mengedepankan welas asih, sama sekali tidak mengajarkan kekerasan, apalagi melegalkan darah liyan. Alhasil, buku ini dapat menambah wawasan dan perbendaharaan, bahkan mengajak kita untuk bernostalgia di masa kanak-kanak dengan riang gembira.