Tulisan ini merupakan hasil refleksi dari kajian dan bedah buku The Tao of Islam karya Sachiko Murata di Ponpes Darul Afkar Klaten, melanjutkan rutinan kajian Ramadhan minggu kemarin. Dr. KH. Syamsul Bakri, M.Ag sebagai narasumber menegaskan bahwa Sachiko Murata dalam bukunya ingin menyampaikan tiga pokok pembahasan yakni: teologis (Tuhan), antropologis (manusia), dan kosmologis (alam semesta).
Buku ini menjadi rujukan penting dalam kajian gender, diskursus mengenai elemen feminimisme yang narasinya selalu mencuat yang tidak berkesudahan. Perempuan menjadi langganan korban dalam praktik agama, sosial di masyarakat, di mana laki-laki menjadi pusatnya. Disempurnakan dengan temuan-temuan lapangan mengenai kasus-kasus perempuan yang tertindas dan tidak mampu menyuarakan haknya.
Syamsul Bakri mengungkapkan, perempuan memang menjadi sub-ordinat dalam konteks agama, namun di lain sisi perempuan sangat kuat dan gagah dalam menundukkan rasa lelah. Gender di sini bukan sekedar dipahami perbedaan jenis kelamin namun lebih pada pemahaman mengenai peran dan fungsi sosial. Sastrawan Mesir kenanamaan, Anis Mashur pernah mengatakan, “Jenis kelamin yang berbeda pada satu tempat yang sama akan diberi kesempatan yang sama”. Maksudnya, tanpa memandang laki-laki atau perempuan jika memang mereka memiliki kemampuan dan kapasitas ia akan dapat mengambil peran.
Filsafat Timur Taoisme digunakan sebagai pendekatan oleh Sachiko Murata sebagai alternatif dalam mengimbangi prasangka negatif yang telah tertanam, mengakar dan menguat terhadap peran-peran perempuan dalam Islam. Apalagi jika merujuk beberapa hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, terkesan Islam menyudutkan dan membatasi eksistensi perempuan. Buku ini memiliki nuansa sufistik dengan metode takwil dari nash. Ulama seperti Ibn ‘Arabi dan Al-Ghazali dijadikan rujukan dalam buku tersebut.
Dalam memahami gender, direpresentasikan dengan istilah yin dan yang. Yin merupakan sifat feminim (jamal) dan yang merupakan sifat maskulin (jalal). Kesatuan dari jamal dan jalal akan berujung pada kesempurnaan atau kamal. Pada akhirnya akan membentuk hubungan yang saling berkorespondensi antara Allah, alam semesta dan manusia.
Allah merupakan dualitas kesempurnaan (kamal), aspek yin dan yang terscermin dalam sifat-sifat Allah (asmaul husna) terbagi menjadi dua bagian yang meliputi aspek maskulin (jamal) seperti yang Maha Agung, Maha Besar, Maha Kuasa. Dan, aspek feminim (jalal) seperti Maha Pengasih, Maha Penyayang. Dalam wilayah kosmologis, perumpamaan ini juga digunakan untuk menjelaskan, sebagaimana langit merupakan ayah (yin) dan bumi merupakan ibu (yang).
Hujan merupakan proses percintaan alam semesta antara ibu bumi dan ayah langit. Langit memberikan pengaruh dinamakan (yang) sedangkan bumi yang menerima pengaruh dinamakan (yin). Proses jatuhnya air ke dalam bumi adalah proses perkawinan di mana ada yang memberikan pengaruh dan menerima pengaruh.
Pembahasan mengenai manusia menjadi penutup dalam buku ini. Disebut dengan istilah “psikologi rohani”. Murata mengajak menyelami diri sampai dasar hati. Manusia merupakan alam kecil (mikro kosmos) yang memiliki kaitan erat dengan Sang Pencipta, begitu juga dengan alam besar (makro kosmos). Hal yang bersifat materi digerakkan oleh jiwa, jiwa digerakkan oleh akal, akal dikuasai Allah swt. Perilaku manusia dipengaruhi oleh jiwanya, jiwa digerakkan oleh akal, dan akal dikuasai oleh Allah swt.
Akal di sini diartikan sebagai akal aktif (al-aql al-fa’al). Akal aktif inilah yang menjadi perantara antara manusia sebagai makhluk multidimensi (fisik-metafisik) dengan sumber eksistensinya yang bersifat metafisik. Para filsuf Muslim seperti Ibnu Sina dan filsuf Plotinus mengatakan, malaikat merupakan akal aktif. Berbeda dengan Ibn ‘Arabi dan Suhrawardi, bahwa malaikat merupakan cahaya itu sendiri. meskipun kadar cahayanya tidak seperti sumber cahayanya (nur al-anwar). Malaikat merupakan cahaya yang belum tercampur dengan unsur materi.
Melihat definisi dan fungsi dari akal aktif (al-aql al-fa’al) di atas, maka akal aktif dapat diartikan sebagai hati (al-qalb). Hati manusia dapat menuntun menuju kualitas-kualitas Ilahi yang tinggi. Di lain sisi, nafsu manusia juga dapat menyeret manusia menuju derajat dunia yang paling rendah. Sempurna sudah istilah yang mengatakan, manusia dapat mencapai posisi mulia yang melampaui malaikat namun juga dapat menjadi hina dari binatang. Sebab manusia memiliki kualitas langit dan kualitas bumi.
Karya ini menunjukan kekayaan dan kearifan spiritualitas Timur. Kepincangan dalam memahami feminim dan maskulin yang bertentangan pada akhirnya tercipta harmonisasi. Meskipun buku tidak membahas secara historis dan sosial dalam masalah gender, namun tetap memberikan pemahaman yang baik tentang perspektif Islam tentang gender.