Menjadi Majnun di Hadapan Tuhan

Suatu hari, Majnun mendengar bahwa Laila sedang membagi-bagikan makanan untuk para penduduk. Begitu mendapat informasi demikian, Majnun dengan penuh semangat bergegas untuk ikut antre—bukan demi makanan, melainkan demi melihat wajah kekasih yang dicintainya, Laila. Hanya itu yang dimaunya. Bagi Majnun, dunia ini tak lagi berarti. Seluruh jiwa dan raganya telah hilang, tenggelam dalam kecintaannya pada Laila.

Maka, bergabunglah Majnun dalam antrean panjang bersama para penduduk lainnya membawa sebuah mangkuk kosong. Satu per satu orang telah mendapatkan jatahnya dan Majnun semakin dekat ke tenda tempat Laila berdiri menuangkan sup yang tak seberapa banyak itu. Hingga sampailah giliran Majnun untuk maju berhadapan dengan Laila. Diulurkannya mangkuk yang sedari tadi dipegangya agar disambut Laila. Tubuhnya bagaikan tersengat listrik, menyaksikan begitu dekatnya ia dengan sang pujaan hati. Hatinya pun segera diselimuti kegembiraan tiada tara.

Laila mengambil mangkuk yang diulurkan Majnun dengan lembut. Lalu, tiba-tiba Laila melemparkan mangkuk tersebut ke tanah hingga hancur berkeping-keping. Semua orang di situ lantas langsung mentertawakan Majnun.

“Hai Majnun! Bukankah sudah kami katakan bahwa Laila tak mencintaimu. Lihatlah bagaimana dia mempermalukanmu di depan semua orang. Dia sungguh membencimu, tapi kau masih saja berharap padanya. Kau sudah gila! Hatimu telah dibutakan cinta! Sadarlah Majnun!”

Majnun terdiam sesaat. Bukan karena merasa kecewa dan sedih. Namun ia sedang menikmati perlakuan Laila padanya. Lalu—dengan seutas senyuman di bibir—pelan-pelan dia berkata dengan penuh keyakinan.

“Sungguh, aku merasakan cintaku pada Laila makin bertambah. Aku sangat senang dan gembira. Aku tak melihat perlakuan Laila itu sebagai penghinaan terhadapku. Lihatlah, betapa di antara seluruh penduduk yang mendapat makanan, hanya aku seorang yang mangkuknya dipecahkan. Ingat! Hanya aku. Tidakkah kalian melihat itu sebagai bentuk rasa kasih sayangnya padaku. Hanya padaku! Ohhh betapa aku ini begitu istimewa di mata Laila”.

Baca Juga:  Abu Bakr Al-Razi (2): Akal dan Kenabian, Kritik terhadap Agama-Agama Wahyu

Kisah tentang Laila dan Majnun merupakan salah-satu kisah cinta paling monumental yang pernah ada. Berisi perjuangan berdarah-darah para pencinta yang ingin bersatu, namun dihalangi berbagai rintangan yang penuh kekecewaan, penderitaan bahkan perpisahan. Meski demikian, semua penghalang itu tak pernah menyurutkan kobaran api cinta di dalam hati keduanya. Justru, kian hari makin bertambah.

Majnun digambarkan sebagai seorang pemuda gila yang dimabuk cinta. Semenjak tahu kalau hubungan mereka tak direstui, Majnun mulai berjalan mondar-mandir dengan tak henti-hentinya mengucapkan nama Laila. Kadang ia berdiam diri di gunung, berjalan di tengah padang pasir, menerobos kerumunan manusia di pasar demi mencari Laila yang tak lagi dapat dijumpainya. Maka, meluncurlah dari lisannya untaian syair dan puisi tentang kesakitan, kekecewaan sekaligus kerinduan dan harapan yang dirasakannya.

Kisah di atas merupakan salah satu cuplikan yang merekam perjalanan cinta keduanya. Lalu, pelajaran apa yang dapat kita ambil dari kisah dua sejoli tersebut?

Sebagian ulama berpendapat bahwa kisah Laila dan Majnun merupakan metafor dari bentuk cinta seorang hamba pada Tuhannya. Namun, bukan cinta biasa. Melainkan cintanya seorang hamba sejati yang seluruh jiwa dan raganya telah lenyap dalam cinta pada Sang Khaliq.

Dalam kisah yang diuraikan di atas, kita bisa melihat bahwa Majnun tak merasa bersedih dengan perlakuan Laila padanya. Bahkan ia mampu menampilkan logika terbalik yang sangat luar biasa. Dia memperlihatkan pada kita sudut pandang seorang pencinta sejati yang melihat segala (yang dilakukan Laila) sebagai bentuk kasih sayang seorang kekasih. Betapapun secara lahirnya tampak sebagai penolakan, bahkan penghinaan.

Dalam kehidupan, kita seringkali mendapatkan derita dan musibah yang seolah tak ada habisnya. Tak jarang pula kita merasakan kesepian yang teramat sangat saat menghadapi berbagai cobaan tersebut. Kita merasa sendirian di tengah keramaian. Merasa hidup ini sangat berat untuk dilalui. Begitu melihat keluar, kita menyaksikan orang-orang yang hidupnya bahagia, bergelimang kenikmatan.

Baca Juga:  Pentingnya Bermusyawarah (2): Meredam Terorisme

Jika demikian yang kita rasakan, sungguh, kita sedang menjadi setengahnya Majnun. Kita adalah hamba yang dengan penuh harapan membawa mangkuk ke hadapan Tuhan berharap diberikan sedikit sup kebahagiaan, namun malah kepingan kaca penderitaan yang kita dapatkan. Ditimpakan-Nya pada kita beragam cobaan. Tuhan pecahkan mangkuk kita.

Maka, boleh jadi kita berpaling dari Tuhan. Kita merasa Tuhan tak lagi menyayangi kita. Padahal, usaha kita tak kalah hebatnya dari orang lain. Dengan segala kekecewaan, kita pun mulai menjauh dari Tuhan. Jadilah kita selamanya hanya setengah Majnun. Kita tak mampu melihat keseluruhan proses hidup sebagai sebuah bentuk cinta Tuhan.

Majnun sejati adalah mereka yang tak peduli lagi pada selain kekasih. Ia akan melihat cobaan dan penderitaan hidup yang menimpanya sebagai perlakuan istimewa Tuhan padanya. Tak peduli bila seluruh makhluk diberi Tuhan semangkuk sup penuh kenikmatan, sedangkan dirinya tidak. Cintanya pada Tuhan takkan berkurang. Sebab, ia sudah melihat dengan kacamata cinta, dengan logika seorang pencinta.

Sebagian orang mungkin melihat dunia ini sebagai suatu kontradiksi. Ada kebahagiaan, ada penderitaan; ada si kaya, ada si miskin; ada yang cakap rupa, ada yang buruk rupa; ada masa damai, ada masa perang; ada hidup, ada mati. Fakta ini memunculkan suatu pertanyaan abadi, ‘Jika Tuhan itu ada, kenapa kita menderita?’ Apakah Tuhan memang berniat menyiksa sebagian dan mengistimewakan sebagian lainnya?

Orang yang gagal menjadi Majnun seutuhnya, akan gagal pula melihat pola keindahan di balik kontradiksi tersebut. Di kirinya bila ia mendapat derita, dan orang lain bahagia, maka itu bentuk ketidakadilan. Bila orang lain kaya dan ia miskin, maka itu juga ketidakadilan perlakuan Tuhan.

Baca Juga:  Pemikiran Kalam Kontemporer Muhammad Iqbal

Padahal tentu tidak demikian adanya. Sebab, Tuhan adalah Yang Maha Adil. Dia justru menciptakan keseimbangan itu agar kita bisa hidup saling bersinergi. Sebab, tak bisa dibayangkan dunia yang semua isinya orang kaya ataupun sebaliknya. Kita juga takkan mengenal esensi kebahagiaan bila tak pernah merasa menderita. Bahkan, oksigen yang kita hirup setiap hari, yang dengannya kita hidup, rupanya dia juga yang menyebabkan sel tubuh kita kian hari semakin menua. Gravitasi yang dengannya kita berpijak di muka bumi ini, dia pula yang menarik turun tubuh kita hingga bungkuk dan berkeriput. Begitu terlahir, sesungguhnya kita bergerak menuju kematian. Bukankah sungguh indah keseimbangan yang Tuhan ciptakan tersebut?

“…Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu, Kami pergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran)…” (QS. Ali Imran [3]: 140)

Penderitaan kita hari ini, boleh jadi akan berganti dengan kebahagiaan esok hari. Kehancuran saat ini boleh jadi merupakan pangkal kejayaan kita nantinya atau sebaliknya. Sebab, semuanya dipergilirkan oleh Allah dalam keseimbangan yang demikian indah. Tugas kita hanya mencintai-Nya dalam keadaan apa pun, bagaimana pun, selamanya. Seperti Majnun mencintai Laila siang dan malam. Jika dalam derita saja sudah bisa melihat hikmah, maka apalagi dalam kenikmatan. Hanya dengan begitu kita termasuk hamba-Nya yang mendapat pelajaran.

“Cinta Sejati adalah sesuatu yang nyata, dan api yang menjadi bahan bakarnya akan menyala selamanya, tanpa sebuah awalan dan tanpa sebuah akhiran…api cinta sejati yang menyala di jiwanya bagaikan obor yang terus menyala hingga akhir hayatnya” (Laila & Majnun).

 

0 Shares:
You May Also Like