Abu Bakr Al-Razi (2): Akal dan Kenabian, Kritik terhadap Agama-Agama Wahyu

Di artikel sebelumnya telah diurai bahwa Al-Razi lebih menghargai akal daripada instrumen pengetahuan lainnya, seperti penolakannya terhadap kenabian, agama, dan wahyu.

Di sini perlu ditegaskan, bahwa tuduhan-tuduhan yang ditujukan pada Al-Razi berasal dari lawan debatnya Abu Hatim Al-Razi, seorang tokoh Syi’ah Isma’iliyah, yang memberikan respon melalui bukunya A’lam an-Nubuwwah—rujukan paling detail mengenai pandangan-pandangan Al-Razi. Dalam bukunya, Abu Hatim meringkas perdebatan umum dengan Al-Razi yang diadakan di Istana Rayy. Dalam perdebatan itu, menurut Abu Hatim, Al-Razi mengulang-ulang beberapa argumen yang telah ia publikasikan dalam bukunya.

Lebih lanjut, dalam perdebatan itu, Al-Razi menyampaikan keberatan teoretisnya terhadap kenabian, karena baginya bertentangan dengan aksioma-aksioma (pernyataann yang dapat diterima sebagai kebenaran tanpa pembuktian) metafisika dan etika. Sedangkan mereka yang mendukung agama-agama wahyu adalah satu-satunya cara agar manusia mendapat bimbingan penuh dari Tuhan. Akan tetapi, bagi Al-Razi, keselamatan Ilahiah semacam itu tidak sesuai dengan ide kebijaksanaan Tuhan.

Sebab, yang paling tepat bagi kebijaksanaan Yang Maha Bijak dan Maha Kasih adalah memberikan inspirasi kepada semua hamba-Nya dengan pengetahuan mengenai apa saja yang bermanfaat atau merusak mereka (hamba) di dunia ini dan hari esok. Dia tak semestinya memberikan keutamaan hanya kepada sejumlah orang saja atas yang lainnya. Ini lebih menyelamatkan daripada dia harus menunjuk beberapa orang sebagai imam bagi yang lainnnya (Lihat, Sarah Strouma, Para Pemikir Bebas Islam, hlm143). 

Dalam pandangan Al-Razi, teologi tak dapat dipertahankan dengan agama-agama wahyu. Sebab, jika dikombinasikan akan menjadi sebuah sikap picik yang melekat pada agama-agama tersebut. Kritik Al-Razi terhadap agama-agama wahyu, menurut Abu Hatim Ar-Razi, berangkat dari perbedaan dasar metode dengan agama-agama tersebut. Mereka yang menganut dan mempelajari agama-agama wahyu pada akhirnya akan mengikuti otoritas pemimpinnya masing-masing. Mereka menolak pendapat dan dugaan yang tidak berdasar pada kenyataan dan penelitian rasional mengenai dasar agama. Hingga berakhir, mereka mentransfer tradisi-tradisi pemimpinnya yang memaksa mereka untuk tidak berspekulasi tentang masalah-masalah agama, dan mengumumkan bahwa siapa saja yang melanggar tradisi yang telah dituturkannya, akan dicap kafir (Sarah Strouma, Para Pemikir Bebas Islam, hlm 144).

Baca Juga:  Bagaimana Doa di Saat-Saat Tertentu Bisa Mengubah Takdir?

Kritik terhadap Agama-Agama Wahyu

Al-Razi tidak membatasi kritikannya pada pengamatan umum. Tetapi juga secara khusus kepada agama Islam. Ia menambahkan bahwa jika masyarakat beragama ditanya tentang bukti yang mendukung agamanya, mereka menjadi marah dan bahkan membunuh orang yang mengajukan pertanyaan itu. Karena seperti yang telah dinyatakan di atas, bahwa mereka melarang spekulasi rasional. Sehingga, hal ini yang menyebabkan mengapa mereka sangat tertutup. Bagi Al-Razi, sikap itu tak memiliki nilai kebaikan. Sebab itu hanya merupakan salah satu dari bentuk perbudakkan.

Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa mereka (para penganut agama) mengadopsi metode itu karena dari kebiasaan yang telah berlangsung lama dalam kelompok keagamaannya. Dalam setiap serangannya terhadap sikap anti-rasional di kalangan teolog, bukan berarti Al-Razi hendak memeriksa satu kelompok dari kaum tradisionalis saja atau manipulasi tertentu terhadap tradisi.

Dari reaksi lawan-lawannya, bisa dikatakan begitu kerasnya serangan Al-Razi terhadap Islam, walaupun secara khusus memang mengarah kepada agama Islam. Namun, kritik tersebut sebenarnya juga mengarah pada agama-agama lainnya. Karena faktanya, Islam tidak sependapat dengan agama lainnya. Artinya, argumen-argumen yang dilontarkan kepada agama tidak hanya tertuju pada salah satunya, dan menegaskan bahwa tak satu pun dari agama-agama wahyu yang benar.

Al-Razi juga mengatakan bahwa Jesus mengklaim dirinya adalah putra Tuhan, sementara Musa mengatakan bahwa Tuhan tidak memiliki putra, tak tersusun dan tidak diciptakan, Dia tak berguna karena suatu yang bermanfaat dan tak akan sedih karena hal-hal yang merugikan. Sedangkan Muhammad menegaskan bahwa dia (Jesus) adalah makhluk seperti halnya manusia lainnya. Mani dan Zoroaster berbeda dengan Musa, Jesus, dan Muhammad mengenai Zat Yang Abadi, kejadian alam dan alasan adanya baik buruk. Mani berbeda dari Zoroaster mengenai dua entitas serta alasan keberadaannya. Muhammad mengatakan bahwa Jesus tidak dibunuh, tetapi Yahudi dan Kristen tidak sepakat dengannya, karena mereka meyakini bahwa dia dibunuh dan disalib (Ibid hlm 148).

Baca Juga:  Mengulik Nasionalisme dalam Islam (2)

Orang-orang Kristen juga menyatakan bahwa Jesus adalah pre-eternal, tiada Tuhan selain dia, dan bahwa dia mengatakan “Saya (Jesus) datang untuk menyempurnakan Taurat”, akan tetapi ia menghapus hukum-hukum Taurat dan menggantinya dengan hukum lain. Menurut Abu Hatim, Al-Razi dalam kritikannya mengemukakan hal-hal mustahil yang diciptakan oleh orang-orang Zoroaster dan Manichean, dan membaurkannya dengan ajaran kitab-kitab wahyu serta tradisi-tradisi para Nabi.

Ini diakibatkan karena intelektualitasnya dalam perbandingannya kurang tajam. Dengan demikian, dinisbatkan hal-hal mustahil ini kepada utusan-utusan Tuhan yang bersih dan yang bebas dari semua tuduhan. Lebih jauh lagi, ia mengkalim bahwa semua terdapat dalam kitab-kitab suci mereka dan menunjukkan adanya perbedaan dan kontradiksi dalam ajaran-ajarannya.

Sebagaimana di tempat lainnya, informasi dari Abu Hatim Ar-Razi sesuai dengan sumber-sumber lainnya. Interpretasi yang sama juga ditemukan dalam karya Al-Biruni yang menyatakan bahwa Al-Razi mengarahkan para pembaca karya-karyanya kepada buku-buku Mani, sebagai suatu bentuk tipu muslihat melawan agama-agama wahyu termasuk Islam. Ditambahkan juga bahwa pada akhir buku Al-Razi tentang “agama-agama kenabian”, dia mengejek orang-orang yang dipuji dan dihormati oleh penganut agama-agama tersebut, yakni para nabinya dan orang-orang suci.

Tak hanya itu, secara panjang lebar, Al-Razi, juga menolak klaim-klaim para nabi yang memperlihatkan mukjizat-mikjizatnya. Seperti terlihat dalam tulisan-tulisannya, di mana Al-Razi mencemooh bukti-bukti yang dikemukakan mereka dan membuat argumen-argumen yang lemah untuk membuktikan poinnya. Selain itu, Al-Razi juga mengkritik kitab-kitab suci. Bahkan, dengan sadisnya secara khusus, ia menolak kemukjizatan Al-Qur’an dan lebih menyukai buku-buku ilmiah. Sebab, bagi Al-Razi, Al-Qur’an memiliki nilai intelektual yang terbatas. Atas dasar itulah, Badawi mengatakan bahwa Al-Razi sangat berani, tidak seorang pemikir muslim pun seberani dia (Lihat, Sirajuddin Zar, Filsafat Islam filosof dan filsafatnya, hlm 126). Sekalipun pendapat-pendapatnya bertentangan dengan agama, tidak berarti dia seorang atheis, sebab ia tetap meyakini adanya Tuhan Yang Maha Esa. Kemungkinan pendapat ekstrim inilah yang menyebabkan buku-bukunya dimusnahkan.

Baca Juga:  Agama dan Sains di Tengah Wabah

Akhirnya, walaupun kritikannya terhadap agama-agama wahyu lebih banyak mematikan daripada hanya sekedar penghinaan intelektual. Karena dalam pandangannya, agama-agama yang didasarkan pada wahyu merupakan bencana nyata bagi kemanusiaan. Dalam karyanya, Al-Makhariq al-Anbiya’, Al-Razi melukiskan otoritas-otoritas keagamaan sebagai tidak toleran serta secara tidak langsung menyindir para Nabi dan Agama sekaligus sebagai sumber dari pertumpahan darah.

Al-Biruni mengakui bahwa ijtihad Al-Razi memperlihatkan sejumlah kesimpulan logis. Akan tetapi juga memiliki kecenderungan dan beberapa ide lain yang dapat disebut sebagai sisi negatif dari karakternya, yaitu nafsu dan fanatik. Namun, sindiran itu tetap saja tak memberi kejelasan. Jika dijelaskan secara langsung, seperti Nashir-i-Husraw yang secara terus terang mengatakan, bahwa dalam buku Kitab al-‘Ilm al-Ilahiy, Al-Razi menggambarkan para nabi sebagai utusan roh-roh jahat, yang telah menjadi setan.

Riwayat dari Nashir-i-Husraw yang sejalan dengan ucapan-ucapan samar Al-Biruni dan Al-Amiri, dia mengidentifikasi pendapat-pendapat Al-Razi yang berasal dari Kitab al-‘Ilm al-Ilahiy, bukan dari Kitab Makhariq al-Anbiya’, yang menjadi dalih alamiah, sehingga riwayatnya semakin tak dapat dipercaya. Patut dicatat, Al-Biruni, tampaknya menganggap buku Al-Razi mengenai agam-agama nabi (Kitabuhu fi an-Nubuwwat) jelas-jelas berbeda dari sumber catatan-catatan mengenai roh-roh di satu sisi, dan al-‘Ilm al-Ilahiy (ilmu ketuhanan) di sisi lainnya (Lihat, Sarah Strouma, Para Pemikir Bebas Islam, hlm 157-158).

0 Shares:
You May Also Like