Niat itu Bukan Main-Main
Niat. Dalam Islam hampir semua orang tahu hadis, “Innamal a’maalu bin-niyyaat”. Sesungguhnya amal itu tergantung niatnya. Sampai-sampai ada istilah: “tergantung nawaitu“-nya, untuk menunjukkan bahwa motivasi itu krusial dalam melakukan amal apa pun.
Sayangnya, kadang prinsip niat dalam agama lebih sering dikaitkan dengan niat beribadah mahdhah (ritual) saja. Niat shalat, niat puasa, niat haji/umrah, dan sejenisnya. Padahal peran niat jauh-jauh lebih penting dari itu.
Untuk membahasnya secara sepintas saja, mari kita dahului dengan salah satu hadis Nabi yang amat masyhur di bawah ini:
“Sesungguhnya amal seseorang itu tergantung pada niatnya. Dan bagi setiap orang balasannya sesuai dengan apa yang diniatkannya.”
Lihatlah, betapa menentukannya niat ini. Hadis itu ingin mengabarkan bahwa berpahala atau tidak—dan besar kecil pahala—suatu amal (baik) bukanlah terutama terletak pada amalnya itu sendiri, melainkan pada lurus tidak niatnya dalam beramal itu. Sampai-sampai Nabi saw mengajarkan bahwa orang yang berniat baik, tapi tidak melaksanakan amal yang diniatkannya itu, akan tetap mendapatkan satu pahala. Lihat, padahal baru (hanya) berniat saja. Sebesar itulah nilai sebuah niat.
Saya, karena kejahilan soal nilai penting niat ini, pernah bertanya-tanya, kenapa orang sampai-sampai mau menulis sebuah buku, yang hanya membahas mengenai niat ini saja. Contohnya buku Kitab Al-Niyat (Kitab Niat) karya Habib Muhammad bin Alwi Alaydrus. (Btw, buku ini, selain membahas tentang niat dalam ibadah mahdhah, juga membahas pentingnya niat dalam berbagai kegiatan lain. Termasuk niat mencari ilmu, niat silaturrahim, bahkan niat pergi ke kolam renang, dsb. Buku yang satu ini, nyaris tampil sebagai manual berniat untuk berbagai kegiatan sehari-hari—baik mahdhah maupun ghayr mahdhah).
Tapi setelah saya pikir-pikir secara lebih mendalam, begitulah saya sampai pada pemahaman tentang nilai penting niat ini. Imam Al-Ghazali memang ada menyebut peran niat yang baik dalam menggandakan pahala suatu amal. Mungkin sesungguhnya ini juga yang hendak dituju Imam Al-Ghazali pada puncaknya, atau pada pangkalnya, bagi saya niat mempunyai peran yang jauh lebih menentukan dalam kita berupaya untuk terus bertransformasi menjadi makhluk Allah yang lebih baik. Khususnya dalam hal keruhanian dan akhlak. Ya, khususnya dalam bertasawuf, niat amat menentukan dalam keberhasilan mujahadah—perjuangan menaklukkan hawa nafsu ammarah. Yakni, selain dalam memastikan kita bersemangat dan istikamah dalam melakukannya, kita pun dapat menata diri menuju kebersihan hati dan ikhlas dalam beramal itu. Bersih dari riya’, sum’ah, ujub, ghurur, dan sebagainya. Bukankah mujahadah atau jihad an-nafs, seperti kata Nabi saw, adalah suatu perjuangan yang lebih berat dari jihad peperangan fisik—sebesar apa pun? Maka, tanpa niat dan tekad yang membaja, serta kesabaran untuk terus berupaya mati-matian, bukan saja semangat kita akan lemah dalam melakukan amal-amal baik, tapi amal-amal baik kita itu—kalau pun berhasil kita wujudkan—hanya akan terkotori oleh sifat-sifat buruk, bahkan melahap kebaikannya, “seperti api melahap kayu”.
Semoga Allah Swt memberikan petunjuk dan kekuatan kepada kita untuk dapat memiliki niat yang baik dalam seluruh amal yang kita lakukan.