Peran Para Tokoh Thariqah ‘Alawiyah dalam Bidang Sosial-Filantropik dan Perdamaian

Seperti dituliskan dalam artikel pembuka buku ini, Thariqah ‘Alawiyah adalah suatu manhaj tasawuf. Dan sebagai suatu manhaj tasawuf, maka mestilah ia yang bernafaskan cinta—kepada Allah, dan— kepada sesama manusia. Al-Ustadz Munir bin Salim bin Sa’d Ba Zuhair, yang bukunya tentang Tarekat ‘Alawiyah dipengantari oleh Habib Umar bin Hafizh dan Habib Abu Bakr al-Masyhur memaparkan peran tokoh-tokoh Tarekat Alawiyyah dalam konteks sosial-filantropik, dan kedamaian ini, sebagai berikut:

Pertama, mereka memiliki konsen yang besar dalam menengahi dan mendamaikan pihak-pihak yang berkonflik. Salah satu fungsi jabatan sosial-keagamaan, yakni al-munshib, adalah untuk ini. Kiranya, tradisi ini hanya mengikuti tradisi yang diletakkan oleh founding father tarikat ini. Yakni Imam al-Faqih al-Muqaddam Muhammad bin ‘Ali, yang secara khusus melakukan upacara pematahan pedang (kasr al-sayf) sebagai simbol ajaran keengganan penggunaan kekerasan dan senjata dalam penyelesaian konflik. Baik konflik yang dialami kaum ‘Alawiyin sendiri maupun sebagai ajaran bagi kelompok lain yang mengalami konflik. Hal ini, tampaknya di zaman modern ini digemakan oleh Habib Abubakar al-Masyhur dalam Al-Namath Al-Awsath yang—dalam segenap penghormatan dan keyakinan kepada kebesaran dan jalan kebenaran Imam Husayn bin ‘Ali yang syahid di Karbala—seperti lebih  mengedepankan pendekatan damai kakaknya, Imam Hasan.

Kaum ‘Alawiyin pun memiliki konsen khusus dalam membantu orang-orang yang membutuhkan, termasuk para janda, anak-anak yatim, dan yang serupa. Secara umum, memang kaum ‘Alawiyin memiliki concern dalam menebarkan prinsip rahmat, bahkan kepada orang yang bersalah dan dipandang pendosa, lalu memilih cara yang bersifat gradual dalam membenahinya, sambil menghindari upaya-upaya yang mengandung kekerasan.

Mereka pun selalu menjaga perasaan umat, khususnya dalam dakwah, sehingga audiens tidak merasa tersinggung atau dihakimi. Dalam hal ini, kiranya apa yang disampaikan oleh Habib Abdullah Al-Haddad, yang beliau tuliskan dalam buku beliau berjudul Risalah Al-Mu’awanah bisa mencerahkan kita akan hal ini:

Baca Juga:  Historisitas Khittah NU

“Hendaknya Anda selalu mencurahkan rahmat dan kasih sayang kepada sesama manusia. Jadilah seorang rahim (penyayang) dan bersahabat, dan jangan menjadi seorang yang kasar, keras hati, pencerca, dan pembenci. Hendaknya Anda selalu berusaha menghapus duka lara kaum sengsara, menghibur hati kaum lemah dan fakir miskin, menolong kaum melarat, meringankan derita kaum yang dilanda nestapa serta memberikan pinjaman (uang atau barang) kepada yang terpaksa meminjam darimu. Hendaknya Anda melakukan takziah (menghibur dan menyatakan ikut berdukacita) dan memohonkan kesabaran untuk orang yang ditimpa musibah. Jangan pula mengejek seorang Muslim karena ia tergelincir dalam dosa. Hendaknya Anda berusaha melepaskan para penderita dari penderitaan mereka, menolong memenuhi kebutuhan orang yang sangat membutuhkan serta merahasiakan kesalahan para pelaku dosa. Secara umum, hendaknya Anda selalu berusaha menggembirakan hati kaum mukmin dengan cara apa pun selama tidak merupakan perbuatan dosa…”

0 Shares:
You May Also Like