MASIHKAH PERLU MEMPELAJARI AL-QUR’AN, KETIKA TELAH DIJANJIKAN AKAN DIBERI KEMUDAHAN?

Masihkah perlu mempelajari Al-Qur’an, ketika telah dijanjikan akan diberi kemudahan? Pertanyaan tersebut bisa saja muncul dari pembacaan reflektif terhadap surat Al-Qomar [54]: 17, 22, 32 dan 40, yang secara redaksional memiliki kesamaan, bahwa Allah berfirman:

وَلَقَدْ يَسَّرْنَا الْقُرْآنَ لِلذِّكْرِ فَهَلْ مِنْ مُدَّكِرٍ

 “Demi (keagungan dan kekuasaan Kami)! Sungguh, Kami telah mempermudah Al-Qur’an untuk menjadi pelajaran, maka adakah yang (ingin bersungguh-sungguh) mengambil pelajaran?”

Ayat tersebut sebenarnya telah diketahui oleh khalayak umum, dan telah jadi materi dakwah banyak pendai ketika mempromosikan Al-Qur’an kepada jamaahnya. Haya saja, pertanyaan liar tersebut memang sebenarnya tidak lazim dilontarkan oleh orang awam, atau bahkan mungkin oleh seorang pengkaji Tafsir Al-Qur’an. Bukan karena untuk mempertanyakan hal tersebut butuh pengetahuan, keilmuan, dan wawasan yang sedemikian luasnya. Melainkan perlu kejelian dan perhatian yang lebih terhadap kandungan Al-Qur’an, serta jawaban yang dihasilkan pun lebih mengarah pada jawaban reflektif bukan teknis berdasarkan keilmuan Al-Qur’an dan Tafsirnya.

Untuk dapat merespon pertanyaan tersebut, kiranya butuh empat model penjelasan: Pertama, penjelasan dari sisi hermeneutis, kedua penjelasan dari sisi teologis, ketiga penjelasan dari sisi historis, dan keempat penjelasan analogis.

Pertama, dari sisi hermeneutis, pertanyaan mendasar yang dapat mengantar pada jawaban atas pertanyaan besar di atas adalah, apa maksud ad-dzikr dalam ayat di atas? Selain itu, kemudahan apa yang sebenarnya diberikan? Dalam Tafsir Bahrul Ulum karya As-Samarqandi, dijelaskan bahwa Al-Qur’an dimudahkan untuk diingat dan dihafal. Selain itu, ia juga menambah penjelasannya dengan pandangan ulama lain yang berpendapat bahwa kemudahan yang dimaksud dalam kata tersebut adalah dalam hal pembacaannya. Hal ini seperti apa yang diriwayatkan oleh al-Hasan, bahwa Nabi bersabda:

Baca Juga:  Al-Qur’an Hadir untuk Kepentingan Manusia dan Tawaran Membaca Kitab Suci

“Seandainya tidak ada firman Allah Swt. ‘Sungguh Kami telah mudahkan Al-Qur’an untuk ad-dzikr’, adakah orang yang mau mengambil pelajaran’. Maka tidak akan ada lidah yang bisa membaca dan mengucapkan Al-Qur’an.”

Sementara itu, dalam Tafsir Zadul Masir karya Ibnu al-Jauzi, dikatakan bahwa: “Kami mudahkan Al-Qur’an untuk diingat, untuk dihafal dan dibaca, adakah yang mau mengambilnya sebagai peringatan. Yakni orang yang berzikir yang mengingat Quran dan membacanya, sebagai dorongan dan motivasi supaya membaca dan mempelajari Al-Qur’an. Tidak ada dari kitab-kitab Allah yang dibaca secara redaksional kecuali Al-Qur’an. Di antara agama-agama samawi, kitab suci yang menggunakan redaksi ketika turun hanyalah Al-Qur’an.”

Penjabaran ini menjelaskan, kemudahan yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah dalam membaca, mengingat, dan menghafalnya.

Kedua, dari sisi teologis, jawaban mengapa masih perlu mempelajari Al-Qur’an tentu akan sangat mudah dijelaskan dalam beberapa hadis berikut, salah satunya adalah karena, “Sebaik-baik kalian adalah yang mempelajari Al-Qur’an dan mengajarkannya” (HR. Bukhari).

Hadis lainnya yang dapat menjawab pertanyaan tersebut adalah hadis yang berbunyi, “Sesungguhnya ada manusia yang menjadi “Ahli Allah”. Para Sahabat bertanya, “siapakah mereka? Nabi menjawab, “Mereka adalah ahli Al-Qur’an, Merekalah ahli Allah dan diistimewakan di sisi-Nya” (HR. Ahmad).

Selain itu, upaya untuk terus mempelajari Al-Qur’an adalah salah satu jalan untuk terhindar dari hadis yang berbunyi “Mereka pandai membaca (menghafal) Al-Qur’an tapi tidak melampaui tenggorokan mereka)” (HR. Muslim). Kalimat tidak melampaui tenggorokan tersebut hanyalah kalimat majaz, yang mana kalimat tersebut merupakan kiasan dari tidak sampai ke hati dan pikiran.

Ketiga, dari sisi historis. Pada bagian ini penulis akan menjabarkan penjelasan berdasarkan riwayat-riwayat sahabat terdahulu. Sebagai contoh, ketika turun surat al-Baqarah ayat 187, utamanya pada bagian, “Dan makan dan minumlah hingga terang bagimu benang putih dan benang hitam dari fajar”.

Mengenai ayat tersebut, terdapat riwayat dari Adi bin Hatim, “Ketika muncul ayat ini saya bergegas mengambil tali hitam dan tali putih aku taruh di bawah bantal, aku memandangnya secara terus menerus selama semalaman namun tidak terjadi apa-apa pada tali tersebut. Pagi harinya aku menghadap Rasulullah dan menceritakan kejadian tersebut, kemudian Rasulullah menjawab yang dimaksud ayat ini adalah gelap malam dan terangnya siang.”

Baca Juga:  Renungan Haji Perspektif Spiritual

Hal ini mengisyaratkan kepada kita bahwa Sahabat saja yang merupakan murid Nabi langsung, orang asli Arab yang ahli dan fasih dalam bahasa Arab bahkan dalam sastranya, dan mengalami sendiri situasi turunnya Al-Qur’an, apakah mereka mudah memahami Al-Qur’an kadangkala tidak mengetahui makna kata dalam Al-Qur’an. Lalu, bagaimana dengan orang zaman sekarang, misalnya yang spesifik tinggal di Indonesia, yang sebagiannya tidak memahami bahasa Arab, tidak mengetahui bagaimana memaknai lafad Arab, apalagi teori-teori penafsiran? Fakta ini secara jelas menunjukkan pentingnya pemahaman terhadap Al-Qur’an.

Secara analogis, untuk menjawab pertanyaan di atas, kita sebagai orang Indonesia, misalnya disuguhi puisi yang indah berbahasa Indonesia karya sastrawan besar yang sarat dengan metafora, analogi, dan berbagai teknik sastra lainnya tentu kita tidak langsung bisa memahami. Begitu juga dengan Al-Qur’an, yang selain telah diakui mempunyai kandungan sastra paling unggul di kalangan semua sastrawan Arab, ditambah lagi Al-Qur’an bukanlah buatan manusia, melainkan buatan Allah. Sehingga kadar kesulitannya pun sangat jauh berbeda, oleh karenanya Al-Qur’an patut dipelajari berjenjang-jenjang.

Selain itu, Al-Quran juga bisa dianalogikan sebagai satelit yang memancarkan siaran TV. Dia hanya meneruskan apa yang disiarkan oleh pemilik stasiun TV. Daya jangkaunya sebenarnya mengcover seluruh dunia. Namun, kita harus punya antena parabola untuk bisa menangkap siarannya. Tanpa parabola, jangankan yang dipelosok, bahkan yang di pusat Ibu Kota sekalipun tidak bisa menerima signal dan siaran itu. Sehingga dalam hal ini seorang tersebut perlu tools untuk bisa menangkap makna yang disiarkan dalam Al-Qur’an. Tools-nya adalah Ilmu Al-Quran dan Tafsir. Sehingga sekalipun telah dijanjikan kemudahannya, kita tetap harus menyediakan seperangkat pengetahuan, alat yang bisa menangkap sinyal, pesan-pesan yang disampaikan Al-Qur’an. Tanpanya, kita hanya sekadar TV yang tidak memiliki antena, sehingga tidak akan menangkap makna yang disampaikan Al-Qur’an.

Baca Juga:  Makna Batin Kisah Nabi Nuh
0 Shares:
You May Also Like