Renungan Haji Perspektif Spiritual

Izinkan saya menulis renungan ini sebelum lupa dan masih segar dalam ingatan. Renungan ini saya tulis berdasarkan pengalaman pulang dari ibadah haji. Semoga berkenan dan bermanfaat khususnya bagi diri saya sendiri.

Yang saya rasakan bahwa haji adalah “gerakan terus menerus”. Kita bergerak dari Tanah Air yang jauh menuju Tanah Suci. Kita bergerak dari rutinitas sehari hari menuju Tuhan. Selama ini, kehidupan kita telah jauh menyimpang dari Dia. Interaksi dengan lingkungan di luar kita selama ini telah mengubah kita. Rutinitas dan hiruk pikuk kehidupan sehari hari, telah  menurunkan keimanan kita ke titik yang paling rendah.

Ketika berangkat dari tanah air kita sudah menyiapkan diri dengan niat dan tekad untuk meninggalkan segala urusan dunia. Kita bergerak menuju fitrah kita sebagai manusia. Kita memakai ihram ketika di Miqat seakan-akan kita memakai kain kafan menuju kematian kita.

Ketika tawaf kita bergerak 7 kali mengelilingi Ka’bah, menyatu dengan lautan manusia yang berjubel, seakan-akan kita hanya partikel tidak berarti, yang tenggelam dalam keabadian Allah. Gerakan ini menghilangkan ego dan individualitas kita. Tidak ada “aku”, yang ada hanya “kita”, yang bergerak berputar bersama sama dengan tujuan mendekati Allah.

Ketika sa’i kita bergerak lagi dari Shafa ke Marwah 7 kali. Sa’i adalah gerakan cinta dan usaha seorang ibu, yaitu Siti Hajar yang terus bergerak mencari air untuk Ismail anaknya yang kehausan. Sa’i adalah gerak perjuangan dan pencarian kehidupan. Dalam setiap prosesi haji selalu ada gerakan.

Di Arafah kita wukuf untuk berdiam diri, mulai tengah hari sampai terbenam matahari. Setelah terbenam matahari kita harus bergerak ke Muzdalifah untuk mabit lalu bergerak lagi ke Mina untuk jumrah. Arafah (terambil dari kata a’rif) bermakna pengetahuan (makrifat), dilambangkan dengan berada tengah hari di Padang Arafah yang terang benderang. Arafah juga melambangkan awal penciptaan manusia sejak zaman Nabi Adam yang diturunkan di Arafah dan bertemu dengan Siti Hawa di Jabal Rahmah. Arafah sekaligus melambangkan akhir kehidupan manusia bagaikan di Padang Mahsyar. Seluruh umat manusia tidak berarti di hadapan-Nya, semua memakai ihram seperti kain kafan yang dipakai saat mati.

Baca Juga:  Mengulik Nasionalisme dalam Islam (2)

Muzdalifah atau Masy’ar (dari kata syu’ur) bermakna kesadaran,  dilambangkan dengan berada di tengah malam yang gelap gulita, namun penuh kesadaran setelah melewati Arafah.

Mina melambangkan cinta dan keimanan yang total, setelah mendapatkan pengetahuan di Arafah dan kesadaran di Masy’ar, sehingga Ibrahim bersedia menyembelih Ismail di Mina ini, karena cinta dan kepasrahan yang total kepada-Nya.

Jadi, ibadah haji ini adalah ibadah yang penuh dengan gerak. Apakah itu melambangkan bahwa kita harus dinamis, tidak boleh hanya diam dalam status quo kita yang makin lama makin menjerumuskan kita? Wallahualam

0 Shares:
You May Also Like