Isra Mikraj: Rahasia Perjalanan Suci Nabi Muhammad

Isrâ’ adalah perjalanan Rasulullah saw. dari Masjid al-Ḥarâm, Mekah, ke Masjid al-Aqṣâ, Baitul Maqdis, Palestina. Sedangkan Mi‘râj adalah perjalanan Rasulullah saw. dari Masjid al-Aqṣâ ke tempat tertinggi, Sidratul Muntaha. Peristiwa Isrâ’ ini disebutkan secara nyata dalam surat al-Isrâ’ (17): 1 dan beberapa hadis sahih. Sedangkan peristiwa Mi‘râj disebutkan dalam surat an-Najm (53): 11-17. Menurut Buya Hamka, perjalanan biasa dari Mekah ke Palestina, baik berjalan kaki atau menggunakan unta membutuhkan waktu sekitar 40 hari (Tafsir Al-Azhar, jilid 6: 3999 & 4001). Sementara Rasulullah saw. melakukan perjalanan Isrâ’-Mi‘râj hanya dalam waktu satu malam.

Menurut Syekh Aḥmad aṣ-Ṣâwî, salah satu hikmah Rasulullah saw. diperjalankan (isrâ’) ke Masjid al-Aqṣâ adalah untuk menunjukkan kemuliaannya. Sebab, beliau menjadi imam salat (sebanyak dua rakaat) di Masjid al-Aqṣâ. Adapun makmumnya adalah para nabi dengan ruh dan jasadnya, para malaikat, dan arwah orang-orang mukmin. Hal ini menunjukkan kemuliaan Rasulullah saw., karena menjadi imam para nabi, para malaikat, dan orang-orang mukmin di Masjid al-Aqṣâ yang merupakan tempat nabi-nabi terdahulu (Tafsîr aṣ-Ṣâwî, II: 335-336).

Menurut pendapat yang masyhur, Isrâ’-Mi‘râj terjadi pada tanggal 27 Rajab satu tahun sebelum hijrah. Jumhur ulama hadis, fikih, dan kalam berpendapat bahwa Rasulullah saw. melakukan Isrâ’-Mi‘râj dalam waktu satu malam dalam keadaan sadar dengan jasad dan ruhnya (Sayyid Muhammad al-Mâlikî, Jalâ’ al-Afhâm Syarḥ ‘Aqîdah al-‘Awâm, 2004: 106-107). Hal ini bukanlah sesuatu yang mustahil, karena Isrâ’-Mi‘râj merupakan mukjizat yang diberikan Allah kepada Rasulullah saw. dan bukan kehendak Rasulullah saw., tetapi kehendak Allah Yang Mahakuasa, sebagaimana ditegaskan dalam surat al-Isrâ’ (17): 1. Artinya, Rasulullah saw. hanyalah objek, dan subjeknya adalah Allah.

Syekh Wahbah az-Zuḥailî menegaskan bahwa apabila Isrâ’-Mi‘râj dilakukan dengan ruh saja dalam keadaan tidur, maka ia tidak mungkin menjadi tanda kekuasaan Allah dan mukjizat agung Rasulullah saw. Jika Isrâ’-Mi‘râj dilakukan dengan ruh saja dalam keadaan tidur, maka tidak mungkin Ummu Hânî’ melarang Rasulullah saw. menceritakan peristiwa itu karena orang-orang pasti mendustakannya (At-Tafsîr al-Munîr, 2009, VIII: 17).

Apabila Isrâ’-Mi‘râj dilakukan dengan ruh saja dalam keadaan tidur, maka tidak mungkin Sayyidina Abu Bakar ra. mendapatkan gelar yang sangat utama, yaitu aṣ-Ṣiddîq, karena membenarkan peristiwa agung itu. Jika Isrâ’-Mi‘râj dilakukan dengan ruh saja dalam keadaan tidur, maka tidak mungkin orang-orang Quraisy mencela dan mendustakan apa yang diceritakan oleh Rasulullah saw. itu, sehingga banyak orang yang awalnya beriman kepada Rasulullah saw. menjadi murtad. Sebab, jika peristiwa Isrâ’-Mi‘râj itu dilakukan dengan ruh saja dalam keadaan tidur, maka mereka tidak akan mungkin mengingkarinya (hlm. 17).

Baca Juga:  Ahli Syariat dan Ahli Hakikat

Selain itu, Syekh Wahbah az-Zuḥailî membantah kesahihan hadis dari Sayyidah ‘Aisyah ra. dan Mu‘awiyah yang menyatakan bahwa peristiwa Isrâ’-Mi‘râj hanya dengan ruhnya saja dalam keadaan tidur. Jika hadis itu dianggap sahih, misalnya, ia tetap tidak bisa dijadikan pijakan (hujah). Sebab, Sayyidah ‘Aisyah ra. masih kecil dan Mu‘awiyah masih kafir ketika peristiwa Isrâ’-Mi‘râj terjadi. Oleh karena itu, pendapat Sayyidah ‘Aisyah ra. dan Mu‘awiyah tersebut tidak memiliki sanad (sandaran) kepada Rasulullah saw. (hlm. 13).

Dari Masjid al-Aqṣâ ke Sidratul Muntaha

Sayyid Aḥmad Marzûqî dan Sayyid Muḥammad al-Mâlikî menyebutkan bahwa setiap Muslim wajib mengimani peristiwa Isrâ’-Mi‘râj (Manẓûmah ‘Aqîdah al-‘Awâm, 2004: 9 dan Jalâ’ al-Afhâm, hlm. 105). Hal senada juga diungkapkan oleh Syekh Muḥammad Amîn al-Kurdî. Menurutnya, Muslim yang mengingkari peristiwa Isrâ’ setelah mengetahuinya adalah kafir, dan Muslim yang mengingkari peristiwa Mi‘râj setelah mengetahuinya adalah fasik (Tanwîr al-Qulûb fî Mu‘âmalah ‘Allâm al-Guyûb, hlm. 44).

Menurut Syekh Wahbah az-Zuḥailî, realitas modern yang mengukuhkan terjadinya peristiwa Isrâ’-Mi‘râj adalah adanya perjalanan ke ruang angkasa yang dilakukan oleh para astronaut pada masa sekarang. Dengan demikian, Rasulullah saw. adalah astronaut pertama yang melakukan perjalanan ke ruang angkasa, dan bahkan melebihi pencapaian para astronaut masa sekarang. Sebab, beliau mencapai tempat yang tidak pernah dicapai oleh para astronaut masa sekarang, yaitu Sidratul Muntaha (At-Tafsîr al-Munîr, hlm. 20).

Rasulullah saw. Mi‘râj dari Masjid al-Aqṣâ ke Sidratul Muntaha melewati langit pertama bertemu Nabi Adam as, di langit kedua bertemu Nabi Yahya as. dan Nabi ‘Isa as, di langit ketiga bertemu Nabi Yusuf as, di langit keempat bertemu Nabi Idris as, di langit kelima bertemu Nabi Harun as, di langit keenam bertemu Nabi Musa as, di langit ketujuh bertemu Nabi Ibrahim as, dan akhirnya sampai di Sidratul Muntaha. Keterangan ini berdasarkan hadis sahih riwayat Imam al-Bukhârî, Imam Muslim, dan Imam Aḥmad (Tafsir Al-Azhar, hlm. 4001-4002).

Ketika sampai di Sidratul Muntaha, maka Rasulullah saw. melihat Allah dengan mata telanjang (Mawlid al-Barzanjî Naśr, hlm. 64 & Mawlid al-Barzanjî Naẓm, hlm. 178 dalam Majmû‘ah al-Mawâlid, penerbit al-‘Aidrûs Jakarta). Menurut Sayyid Aḥmad Marzûqî dan Sayyid Muḥammad al-Mâlikî, Rasulullah saw. melihat Allah dengan penglihatan yang tidak bisa digambarkan dan dijelaskan. Dalam kesempatan agung ini, Allah mewajibkan salat 50 kali dalam sehari semalam―yang akhirnya dikurangi oleh Allah menjadi 5 kali―kepada Rasulullah saw. dan seluruh umat Islam (Manẓûmah ‘Aqîdah al-‘Awâm, hlm. 9 dan Jalâ’ al-Afhâm, hlm. 106-107).

Baca Juga:  Agama dan Sains di Tengah Wabah

Pertemuan Rasulullah saw. dengan Allah di Sidratul Muntaha ini bukan menunjukkan Allah berada di sana. Bagaimana pun Allah tidak butuh apa pun, baik tempat maupun lainnya, karena Dia tidak sama dengan makhluk. Makanya, salah satu sifat wajib bagi Allah yang disebutkan dalam ‘Aqîdah al-‘Awâm adalah Mukhâlafatuhû li al-Ḥawâdiś (Allah Berbeda dengan makhluk) dan Qiyâmuhû bi Nafsihî (Allah Berdiri Sendiri). Hal ini sejalan dengan beberapa ayat, seperti: “Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia” (asy-Syûrâ: [42]: 11) “Dan tidak ada sesuatu yang setara dengan Dia” (al-Ikhlâṣ [112]: 4), dan “Sungguh, Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari seluruh alam” (al-‘Ankabût [29]: 6) (Jalâ’ al-Afhâm, hlm. 24).

Rasulullah Melihat Allah Yang Maha Indah Berkali-kali

Imam Hasan al-Baṣrî menyebutkan bahwa satu-satunya makhluk yang bisa melihat Allah di dunia hanyalah Nabi Muhammad saw. (Syekh Ahmad an-Naḥrâwî, Ad-Durr al-Farîd, hlm. 55). Menurut Syekh Muhammad Nawawî al-Jâwî, Nabi Muhammad saw. menyaksikan Allah dan berbicara dengan-Nya berkali-kali ketika Isrâ’-Mi‘râj. Beliau melihat Allah dengan mata kepala secara langsung. Allah memberikan kekuatan kepada kedua mata Nabi Muhammad saw., sehingga beliau mampu melihat Allah secara sempurna. Peristiwa ini melampaui jangkauan akal (suprarasional), sehingga secerdas apapun akal manusia tidak akan sanggup memahami dan mengetahui hakikat pertemuan Allah dengan Rasulullah saw. tersebut (Fatḥ al-Majîd, hlm. 50 & 55-56).

Berbeda dengan Nabi Musa as. yang tidak diberikan kemampuan untuk melihat Allah di dunia. Dalam hal ini, beliau pernah meminta kepada Allah untuk melihat-Nya secara langsung ketika masih hidup di dunia, tetapi beliau tidak sanggup melihat-Nya. Ketika Allah menampakkan Diri kepada sebuah gunung, maka gunung itu langsung hancur lebur, sehingga membuat Nabi Musa as. langsung jatuh pingsan (al-A‘râf [7]: 143 dan Markaz Tafsîr li ad-Dirâsât al-Qur’âniyyah, al-Mukhtaṣar fî Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm, 1436 H.: 167).

Nabi Muhammad saw. melihat Allah dan berbicara dengan-Nya di dunia sebanyak sepuluh kali. Kesimpulan ini dipahami dari perintah Nabi Musa as. kepada Nabi Muhammad saw. untuk meminta keringanan kepada Allah mengenai jumlah salat fardu. Disebutkan dalam hadis sahih bahwa Allah mewajibkan salat fardu 50 kali sehari semalam kepada Nabi Muhammad saw. dan umatnya ketika Isrâ’-Mi‘râj. Namun, Nabi Musa as. menyuruh Nabi Muhammad saw. menghadap Allah lagi untuk meminta keringanan, karena umat Islam tidak akan mampu melaksanakannya (Imam Ibn Kaśîr, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Aẓîm, 2000: 1084).

Baca Juga:  Iman Perlu Bagi Kebahagiaan, Iman Perlu Bagi Pengetahuan yang Lebih Tinggi

Setiap kali Nabi Muhammad saw. menghadap Allah untuk meminta keringanan, maka jumlah salat fardu yang 50 tersebut dikurangi 5, dan begitu seterusnya hingga akhirnya menjadi 5 kali dalam sehari semalam (50, 45, 40, 35, 30, 25, 20, 15, 10, dan 5). Meskipun Allah mengurangi jumlah salat fardu dari 50 kali menjadi 5 kali dalam sehari semalam, tetapi Dia tidak mengurangi pahalanya. Artinya, meskipun umat Islam melaksanakan salat fardu 5 kali sehari semalam, tetapi mereka tetap mendapatkan pahala salat fardu 50 kali. Sebab, setiap salat fardu yang 5 memiliki nilai (pahala) 10, sehingga semuanya berjumlah 50 (Zuhur [10], Asar [10], Magrib [10], Isya [10], dan Subuh [10] = 50).

Nabi Musa as. masih menyuruh Nabi Muhammad saw. menghadap Allah lagi untuk mengurangi jumlah salat fardu yang 5 kali tersebut, karena umat Islam tidak akan mampu melaksanakannya. Akan tetapi, Nabi Muhammad saw. mengabaikan perintahnya seraya berkata: “Saya sudah menghadap Allah berkali-kali hingga saya malu sekali” (hlm. 1084).

Menurut Syekh Muhammad Nawawî al-Jâwî, perintah Nabi Musa as. kepada Nabi Muhammad saw. agar menghadap Allah lagi untuk meminta keringanan jumlah salat fardu tersebut memiliki dua hikmah. Pertama, hikmah secara lahir. Ia berkaitan dengan kepentingan umat Islam, yaitu mendapatkan keringanan jumlah salat fardu dari 50 menjadi 5 tanpa mengurangi pahalanya. Kedua, hikmah secara batin. Ia berkaitan dengan kepentingan Nabi Musa as., yaitu beliau mendapatkan pancaran cahaya ilahi dari wajah Nabi Muhammad saw. yang telah melihat Allah. Setiap kali Nabi Muhammad saw. menghadap Allah, maka pancaran cahaya ilahi tersebut semakin bertambah. Makanya, Nabi Musa as. menyuruh Nabi Muhammad saw. untuk menghadap Allah lagi agar beliau juga mendapatkan pancaran cahaya ilahi yang terus bertambah tersebut (Fatḥ al-Majîd, hlm. 56).

Namun demikian, menurut Sayyid Muhammad al-Mâlikî, kisah Isrâ’-Mi‘râj tidak ditujukan agar Nabi Muhammad saw. melihat Allah dan bermunajat kepada-Nya. Namun, ia bertujuan untuk menampakkan kerajaan, kekuasaan, dan kemuliaan Allah dan tanda-tanda-Nya yang agung kepada Nabi Muhammad saw., sebagaimana disebutkan dalam surat al-Isrâ’ (17): 1 dan an-Najm (53): 18. Sehingga peristiwa Isrâ’-Mi‘râj ini menjadi keistimewaan dan keunggulan bagi Nabi Muhammad saw. atas makhluk-makhluk yang lain (Jalâ’ al-Afhâm, hlm. 107). Wallâhu A‘lam wa A‘lâ wa Aḥkam…

0 Shares:
You May Also Like