BERTEMU AL-GHAZALI DI BASEMENT SEBUAH TOKO BUKU DI HARVARD SQUARE (BAGIAN 1)

Semua bermula di suatu subuh setelah sahur di bulan Ramadhan tahun 1987. Umur saya 30 tahun pada waktu itu. Tiba-tiba, bak (kalau mau dramatis) habis mendapatkan laylatul qadar, saya tergerak mendaftar kuliah S-2 ke UIN Jakarta. Meski lulusan ITB, belajar agama memang sudah menarik perhatian saya sejak SMA. Maka, ketika masuk ITB, segera saja saya menjadi pengunjung setia perpustakaan Masjid Salman ITB. Sebuah perpustakaan tidak besar yang, oleh keluasan wawasan pengasuhnya—alm. Bang Ammar Haryono—penuh diisi buku-buku Islam bermutu dari berbagai bahasa. Hingga secara tidak sengaja, ketika saya sedang mengembalikan buku, saya disapa oleh seseorang yang belum saya kenal, yang belakangan menjadi sahabat saya dan ikut memulai pendirian Penerbit Mizan. Namanya Zainal Abidin Shahab. Lain jurusan di ITB, tapi sama-sama gandrung membaca buku-buku Islam berkualitas.

Lalu, saya pun diajak aktif untuk mengasuh majalah Pustaka, terbitan perpustakaan Salman juga. Sebuah majalah yang menerbitkan karya-karya tulis paling serius dari para intelektual nasional kita, dari berbagai bidang, dan berbagai agama. Bagi yang mengikutinya, akan terasa tidak berlebihan ketika orang menjuluki majalah ini sebagai Majalah Prisma-nya Islam. Bahkan pernah suatu saat sirkulasinya bersaing dengan majalah Prisma. Saya pun menjadi editor dan juga menulis di majalah tersebut. Terkadang saya pun harus menghabiskan waktu berjam-jam di Perpustakaan ITB yang, meski merupakan perpustakaan sebuah perguruan tinggi teknologi, juga menyimpan buku-buku Islam berkualitas. Dan juga buku-buku di bidang lain, termasuk ekonomi, politik, dsb. Saya pun akhirnya tergeret menjadi aktivis Masjid Salman, dan tentu saja juga menjadi panitia berbagai kegiatannya yang amat aktif di masa-masa itu. Khususnya setelah saya mengikuti Latihan Mujahid Dakwah asuhan alm. Bang Imaduddin Abdurrahim. Tak jarang saya harus tidur di ruang amat dingin di balik mihrab Masjid Salman karena harus lembur bekerja mempersiapkan banyak hal terkait aktivitas saya di masjid ini. Saya bahkan sempat “mewakili” “kelompok Salman” dalam pemilihan Ketua dan Wakil Ketua Himpunan Mahasiswa Tahun Pertama Bersama (TPB) angkatan 1976, yang anggotanya berjumlah tak kurang dari 1200 orang mahasiswa. Kami pun terpilih—saya memutuskan untuk menjadi wakil ketua, meski awalnya dicalonkan sebagai ketua, karena saya pada dasarnya bukan orang yang suka berpolitik, sementara pada waktu itu kepemimpinan mahasiswa sangat diwarnai persaingan politik antara “kelompok Islam”, kelompok sosialis”, dan “kelompok nasionalis”.

Baca Juga:  Puasa: Membelenggu diri, Membelenggu Setan

Alhasil, makin lama saya makin terseret ke dalam pusaran Islam di kampus. Tapi, memang minat saya lebih kepada dunia pemikiran dan intelektualisme. Maka, lebih banyak waktu saya di Masjid Salman saya habiskan untuk berkutat dalam kegiatan Majalah Pustaka. Dan, pengalaman saya di Majalah Pustaka inilah—yang belakangan juga menjadi perintis penerbitan buku Islam berkualitas dengan sampul-sampul indah kaligrafis karya alm. Pak Ahmad Noe’man dan, sesekali, juga lukisan abstrak religius karya Pak Ahmad Sadali, kakak beliau—mengilhami dan seperti mempersiapkan saya mendirikan Penerbit Mizan.

Nah, setelah melintasnya niatan melanjutkan sekolah di IAIN Jakarta itu, segera saja saya memberanikan diri menelepon Prof. Muhammad Quraish Shihab, yang dengan penuh keramahan dan antusisasme mendukung niat saya itu. Saya sebelumnya tak tahu bahwa IAIN Jakarta memang bisa menerima mahasiswa S2 yang S-1-nya bukan berasal dari jurusan agama Islam. Meski, tetap saja, belum pernah sebelum itu ada sarjana S1 dari ITB yang menjadi mahasiswa S-2 IAIN pada waktu itu. Tentu saja saya tetap harus menjalani tes masuk. Termasuk menerjemahkan bahan-bahan dari kitab-kitab berbahasa Arab gundul dalam suatu ujian tertulis langsung. Beruntung saya sempat mendapatkan pelajaran bahasa Arab di masa-masa sekolah dasar dan menengah pertama saya, selain dibimbing ayah saya alm—Muhammad Bagir Alhabsyi—yang seperti ngotot agar ada anaknya yang menguasai bahasa Arab. Maklum, beliau sendiri amat menguasai bahasa Arab dan adalah juga penerjemah buku-buku bahasa Arab yang piawai. Meski pun mungkin hasil tes saya jauh dari sempurna, ternyata saya lulus tes masuk IAIN Jakarta dan diterima menjadi mahasiswa program pascasarjana di sana.

Maka mulailah saya masuk lebih dalam ke jaringan intelektualisme Islam Ciputat. Tadinya saya memang sudah mengenal para tokohnya, di samping banyak tokoh-tokoh Islam negeri ini, tapi kali ini saya berada di tengah pusarannya. Saya pun memulai hari saya kuliah di universitas yang, kata almarhum M. Dawam Raharjo, adalah Qumnya Indonesia ini. Tapi, persis di hari pertama itulah, saya mengalami suatu peristiwa yang membuat saya hampir memutuskan untuk berhenti dan tak jadi berkuliah di perguruan tinggi ini. Saya ingat siang itu saya berjalan lunglai pulang ke rumah kontrakan saya di Ciputat, dekat lokasi IAIN juga, setelah mengalami peristiwa tidak mengenakkan di dalam kelas. Kelas pertama saya di IAIN Jakarta, di hari pertama kuliah saya (bersambung).

Baca Juga:  Dimensi Politik Ibnu Thufail dalam Risalah Hayy Ibn Yaqzan
0 Shares:
You May Also Like