Mitt Romney, mantan senator yang pernah menjadi cawapres AS, pernah menyatakan: “(Untuk menyelesaikan masalah Palestina) kita hanya perlu menendang kaleng ke pinggir jalan.” Yang dimaksud kaleng itu tentunya orang/bangsa Palestina. Memang, para pimpinan Israel dan Barat sempat berpikir bahwa, berurusan dengan masalah Palestina dengan mempertimbangkan kemauan orang Palestina sendiri tidaklah penting. Toh mereka tak punya daya upaya. Cukup kerja sama dengan negara-negara kaya di Timteng saja. Nantinya kalau sudah terjadi trickle down (tetesan ke bawah) kemakmuran atas bangsa Palestina, semuanya akan beres dengan sendirinya. Dengan kata lain, tuntutan orang Palestina akan reda dengan sendirinya.
Kejadian serangan kilat Hamas ke wilayah Israel yang begitu canggih pada tanggal 7 Oktober 2023 lalu hanya menunjukkan bahwa policy menyampingkan orang Palestina ini telah gagal. Orang Palestina ternyata bukan cuma kaleng di tengah jalan. Mereka adalah makhluk hidup yang punya daya hidup dan kekuatan, sehingga justru melawan dengan hebat ketika ditendang.
Itulah analisis Juan Cole, yang bukunya berjudul Peace Movements (edisi Indonesia diterbitkan Bentang), beberapa hari lalu didiskusikan di Teras Bentang, Yogyakarta. (Sebelumnya, Juan Cole dikenal sebagai penulis buku, Muhammad: Prophet of Peace Amid the Clash of Empires). Meski mempromosikan perdamaian, dalam berbagai tulisannya di websitenya yang bernama Informed Content, Cole banyak mengecam policy Israel yang menindas dengan melakukan pencaplokan wilayah Palestina secara sewenang-wenang.
Langkah Israel dengan melakukan retaliasi yang brutal dan melabrak semua hukum internasional—yang memang sudah biasa dilakukannya terhadap berbagai kesepakatan internasional (baca: berbagai resolusi PBB sepanjang puluhan tahun)—atas Gaza, diduga juga tak akan membantu harapan Israel untuk keamanan negerinya. Di antaranya, blokade total dan penghancuran warga serta fasilitas sipil—termasuk air dan listrik—tanpa diskriminasi, di Gaza. Dengan dalih yang tak masuk akal, yakni bahwa semua warga sipil Gaza adalah bagian dari “gerakan terorisme” Hamas. Padahal setidaknya ada sejumlah 40 % anak di Gaza. Belum lagi perempuan, lansia, dan orang-orang sakit. Kenyataannya, sampai hari ini, sekitar separuh dari lebih 10 ribu korban genosida Israel atas warga Gaza terdiri dari anak-anak. Dan hal ini hanya menambah buruk catatan ulah blokade Israel atas wilayah ini sebelumnya, yang mengakibatkan 70 % warga muda Gaza tak punya pekerjaan, hanya 4 % air yang layak minum, serta aliran listrik yang menyala hanya beberapa jam setiap harinya di wilayah ini. Belum lagi sejarah panjang, pengusiran dan penindasan—yang tak jarang diwarnai pembunuhan—warga Palestina di berbagai wilayah Palestina lainnya. Tercatat, di tahun ini saja, sampai bulan Agustus, sudah terjadi pembunuhan 200 warga Palestina. Sementara, Cole telah membuktikan akurasi peta pencaplokan wilayah Palestina oleh Israel sejak tahun 1946 hingga tahun 2000, yang menyisakan hanya 30 % tanah bagi warga Palestina, dibanding luas wilayah Palestina sebelum pencaplokan.
Seperti dinyatakan oleh Monica Marks, Asisten Profesor di New York University, Abu Dhabi, pemerhati gerakan Islam di Timur Tengah: “Untuk memerangi ancaman keamanan secara efektif, para pemimpin Israel harus…memperhitungkan fakta bahwa inti dari daya tarik Hamas bagi banyak anggota yang direkrutnya, bukanlah ekstremisme keagamaan, melainkan kemarahan, kesedihan, dan keputusasaan. Tentakel yang mengikat generasi muda yang sakit hati ini tidak akan dikalahkan dengan menciptakan lebih banyak kehancuran dan keputusasaan.
Memastikan bahwa warga Palestina mendapatkan kebebasan, martabat, dan kesempatan penentuan nasib sendiri, yang mereka tuntut selama lebih dari 75 tahun, akan menjadi cara paling efektif untuk menjamin keamanan jangka panjang Israel.”
Tapi, bukan Israel kalau tidak bebal. Apalagi ketika urusan berada di tangan Netanyahu yang, oleh Cole, disebut sebagai seorang fasis. Bukannya menendang kaleng yang ada di tengah jalan, Israel malah telah menendang jalan itu sendiri. Dan, dengan demikian, justru menutup jalur perdamaian, seraya mengundang kebuntuan yang bisa berakibat fatal bagi dirinya.
Maka, kecuali ada perubahan drastis dalam policy Israel terhadap isu Palestina, yang akan terjadi justru adalah kekacauan demi kekacauan yang lebih dahsyat. Dengan risiko kekacauan Israel sendiri. Banyak pengamat menyatakan, pada akhirnya perang di Gaza ini akan berlangsung berlarut-larut, dengan ujung mundurnya Israel tanpa berhasil menaklukkan Hamas. Alih-alih, Hamas akan menjadi lebih kuat daripada sebelumnya. Belum lagi jika terjadi pembangkangan di wilayah-wilayah pemukiman Palestina di luar Gaza, dan campur tangan negara-negara dan kelompok-kelompok anti-Israel yang sekarang mengepung negeri liliput ini. Bahkan, menurut tak sedikit pengamat, dukungan tanpa reserve negara-negara adidaya Barat, pada akhirnya tak akan banyak membantu.
Dan apa pun yang akan terjadi, bagian dunia yang masih waras, selalu menunggu bangsa Palestina kembali merdeka dan mendapatkan kembali tanah air yang menjadi hak-hak mereka, yang selama puluhan tahun telah dirampas.