Kritik Ibnu Bajjah Terhadap Konsep Makrifat Al-Ghazali

Kehadiran Ibn Bajjah sangat memberikan corak baru terhadap filsafat Islam di negeri Islam barat dengan corak menolak konsep teori Al-Ghazali yang disebut dengan teori makrifat. Jadi, seseorang dapat mencapai puncak makrifat dengan cara meleburkan diri pada akal fa’al. Artinya, jika ia telah terlepas dari keburukan-keburukan masyarakat, dan menyendiri serta dapat memaknai kekuatan pikirannya untuk memperoleh pengetahuan ilmu sebesar mungkin, dan juga dapat memenangkan segi pikiran pada dirinya atas pikiran hewaninya.
Lebih dari itu untuk sampai pada makrifat, manusia harus uzlah (menjauhi masyarakat sama sekali). Menjauhi masyarakat dalam perspektif Ibn Bajjah bukan berarti menjauhi manusia, melainkan tetap berhubungan dengan masyarakat. Hanya saja, ia harus selalu menguasai dirinya serta hawa nafsunya sendiri dan tidak terbawa oleh arus keburukan masyarakat. Tentu sangat asyik kalau kita tarik pertanyaan: bagaimana sebenarnya konsep uzlah Ibn Bajjah? Apa yang dikritiknya dari Al-Ghazali?
Profil Ibnu Bajjah
Nama lengkap beliau Abu Bakar Muhammad Bin Yahya, Ibn Bajjah yang dikenal dengan nama julukan Ibnul-Sha’igh (Anak Tukang Emas), sedangkan di Eropa terkenal dengan nama sapa’an (Avenpace). Ibn Bajjah merupakan filsuf pertama di dunia Islam belahan barat, ia muncul pada tiga atau empat sepuluh tahun pertama abad ke-12 di Andalusia atau saat ini dikenal dengan Spanyol (Juhaya S. Praja, Pengantar Filsafat Islam, hlm: 197).

Ibn Bajjah lahir di Saragosa abad ke-5 H, banyak orang  yang tak mengetahui tanggal lahirnya. Al-Bajjah berasal dari keluarga At-Tujib, karenanya ia juga di kenal sebagai At-Tujibi (Juhaya S. Praja, Pengantar Filsafat Islam, hlm: 197-198). Kendatipun kehidupan Ibn Bajjah tidak diketahui secara pasti, beliau juga adalah seorang sarjana bahasa dan sastra Arab yang tekun serta menguasai dua belas macam ilmu pengetahuan ketika beliau pergi ke Granada (Spanyol).

Baca Juga:  Historisitas Khittah NU

Banyak di antara karyanya yang hanya berupa risalah (catatan singkat) dan komentar pendek, serta banyak di antaranya yang tidak berjudul. Salah satunya adalah Tadbir al-Mutawahhid (Tingkah Laku Sang Penyendiri). Kitab dalam bahasa Arab telah dicetak Ceres Editions di Tunis pada tahun 1994.  Isi kitab ini mirip dengan kitab al-Farabi, Al-Madinah al-Fadilah. Hanya ia lebih menekankan kehidupan individu dalam masyarakat, yang disebut mutawahhid.

Kritik Ibnu Bajjah

Ibn Bajjah menempatkan akal dalam posisi yang sangat penting. Dengan perantaraan akal, manusia dapat mengetahui segala sesuatu, termasuk dalam mencapai kebahagaiaan dan masalah Ilahiyat. Akal, menurut Ibn Bajjah terdiri dari dua jenis:

  1. Akal Teoretis: Akal ini diperoleh hanya berdasarkan pengalaman terhadap sesuatu yang konkret atau abstrak.
  2. Akal Praktis: Akal ini diperoleh dengan melalui penyelidikan (eksperimen) sehingga menemukan ilmu pengetahuan. Oleh karna itu, pengetahuan yang diperoleh akal ada dua jenis pula: pertama, yang dapat dipahami, tetapi tidak dapat dihayati, dan yang kedua, yang dapat dipahami dan dapat pula dihayati (Muslim Ishak, Tokoh-Tokoh Filsafat Islam dari Barat (Spanyol), hlm: 31).

Berbeda dengan Al-Ghazali, menurut Ibn Bajjah, manusia dapat mencapai puncak makrifat hanya dengan melalui akal saja, bukan dengan jalan sufi, alih-alih melalui jalan al-qalb atau al-zauq. Manusia kata Ibn Bajjah, setelah bersih dari sifat kerendahan dan keburukan masyarakat, akan dapat bersatu dengan akal aktif dan ketika itulah ia akan memperoleh puncak makrifat karena limpahan dari Allah (Muhammad Ghallab, Al-Ma’rifah  Mufakkir al-Muslim, 1966).

Tak hanya itu, dalam bukunya yang berjudul Tadbir al-Mutawahhid, Ibn Bajjah mengkritik konsep uzlah tasawuf Al-Ghazali. Pengasingan diri secara total dari masyarakat tentu bertentangan dengan tabiat manusiawi sebagai makhluk sosial (Ahmad Fu’ad al-Ahwny, hlm: 92). Bagi Ibn Bajjah, uzlah yang tepat adalah uzlah falsafi, yakni tetap hidup dan tetap berhubungan dengan masyarakat. Namun, ia wajib meninggalkan segala sifat-sifat yang tercela dari masyarakat dan sanggup mengendalikan diri dari perbuatan yang dapat menyesatkan.

Baca Juga:  Ramadan dan Kesalehan Sosial

Konkretnya, uzlah itu bukanlah menjauhi manusia, melainkan tetap juga berhubungan dengan masyarakat, hanya saja ia dituntut harus bisa menguasai dirinya sendiri dari hawa nafsunya, dan tidak terbawa oleh arus keburukan-keburukan kehidupan masyarakat. Dengan kata lain ia harus tetap kokoh pendirian, harus berpusat pada dirinya sendiri dan juga selalu merasa bahwa dirinya sedang menjadi panutan dan pembuat aturan-aturan bagi masyarakat, bukan malah tenggelam di dalamnya.

Perlu dijelaskan lagi, bahwa manusia penyendiri (uzlah) yang dimaksud oleh Ibn Bajjah adalah uzlah aqliyyah, berbeda dengan uzlah sufiyah yang dikemukakan oleh Al-Ghazali. Bahkan, Ibn Bajjah mengkritik habis uzlah yang dimaksud Al-Ghazali, karena dinilai sangat bertentangan dengan tabiat atau watak manusia sebagai makhluk sosial.

Filsafat Ibn Bajjah ini banyak terpengaruh oleh pemikiran Islam dari kawasan Timur, sepeti Al-Farabi dan Ibn Sina. Hal ini disebabkan kawasan Islam di timur lebih dahulu melakukan peneliltian ilmiah dan kajian filsafat dari kawasan Islam di barat (Andalus). Tentunya, sangat wajar kalau filsafat Ibn Bajjah lebih mendasarkan pemikirannya pada hal yang realitas, karena Ibn Bajjah adalah penganut filsafat dan logika karya-karya Al-Farabi, meskipun Ibn Bajjah sudah berhasil memberikan sejumlah besar penambahan dalam karya-karya Al-Farabi.

Lebih dari itu, dasar filsafat Ibn Bajjah adalah lebih condong terhadap filsafat Aristoteles, terutama dalam ilmu metafisika dan psikologi yang disandarkan pada ilmu fisika, dan itulah sebabnya tulisan-tulisan Ibn Bajjah penuh dengan wacana mengenai fisika (M.M. Syarif, Para Filosof, hlm: 149-150). Secara umum, kendatipun pandangan-pandangan filsafat Ibn Bjjah tidak begitu sempurna, namun beliau (Ibn Bajjah) telah membentangkan jalan bagi pemikiran filsafat Ibn Thufail dan juga Ibn Rusyd.

0 Shares:
You May Also Like