Sudah jamak bahwa pada hakikatnya agama berasal dari Tuhan dan diperuntukkan bagi manusia. Fungsi agama bagi manusia adalah untuk memberi petunjuk (hudal lin nas), sedangkan pesan petunjuk yang ada di dalamnya tergantung pada harapan manusia terhadap agama itu sendiri.
Tentu saja, harapan manusia terhadap agama tergantung pada problem kehidupan yang mereka hadapi yang kemudian mendorongnya mencari solusi alternatif dari agama. Itu sebabnya, problem kehidupan yang dihadapi manusia berbeda-beda dan mengalami perubahan sesuai konteks ruang dan waktu, demikian juga fungsi dan penggunaan agama bergantung pada kondisi manusia berikut persoalan yang mereka hadapi sesuai ruang dan waktu.
Sejalan dengan itu, Abdul Karim Soroush—pemikir asal Iran—mengatakan, bahwa agama harus mempunyai dimensi basyari terlebih dulu, baru agama meminta manusia untuk beragama karena agama memang hadir untuk kepentingan manusia. Begitu juga dengan Nasr Hamid Abu Zaid yang menegaskan, bahwa Al-Qur’an sebagai sumber asasi agama bersifat manusiawi. Fazlur Rahman juga menyebut Al-Qur’an hadir sebagai sebuah dokumen untuk umat manusia. Domuken dalam hal ini adalah petunjuk.
Sekalipun Al-Qur’an membahas tentang Tuhan yang jumlahnya kira-kira mencapai 2.500 kata di dalamnya, namun Al-Qur’an bukan risalah mengenai Tuhan dan sifat-sifatnya. Al-Qur’an dimaksudkan untuk memberi petunjuk bagi manusia dengan cara membahas manusia dalam kedudukannya sebagai individu, dan anggota masyarakat (Al-Qur’an juga berbicara tentang manusia dengan menyebutkan beberapa istilah kunci, yakni basyar, insan, dan an-nas, unas, anasiy, insiy, dan ins).
Masih tentang Al-Qur’an sebagai pentujuk. Muhammad Abduh mencatat ada empat petunjuk, yakni petunjuk yang berbentuk hidayah ath-thabi’i dan ilham al-fithri yang dimiliki anak kecil sejak kelahirannya, hidayah al-hissi (petunjuk indrawi) sebagai pelengkap bagi yang pertama, hidayah al-aql (petunjuk akal), dan hidayah ad-dhin (petunjuk agama).
Syahdan, selain dari sisi ontologis, dimensi basyari Al-Qur’an juga bisa dilihat dari sisi maqashid-nya, yang menurut Asy-Shatibi mengacu pada hak asasi manusia yang ia sebut dengan ushulul hikmah. Menurut Asy-Shatibi, agama hadir untuk memelihara lima unsur asasi manusia, yakni pemeliharaan terhadap hak beragama, kebebasan berpikir, hak hidup, hak mendapat keturunan, dan mendapatkan harta.
Bahkan, Soroush menyebut maqashid al-syari’ah sebagai bagian esensial dari agama, unsur ajaran yang harus ada dan tidak boleh berubah. Ketiadaan dan perubahan unsur-unsur maqashidusy syari’ah membuat Islam tidak bisa menjadi agama.
Ketika Manusia Membaca Al-Qur’an
Al-Qur’an sebagai sumber asasi agama bersifat Ilahi-basyari, dan ia hadir untuk kepentingan manusia dan kemanusiaan. Maka, pendekatan yang bisa digunakan untuk memahami Al-Qur’an sejatinya juga yang lahir dari Al-Qur’an sebagai representasi dimensi Ilahi, dan yang lahir dari manusia sebagai representasi dimensi basyari-nya.
Secara linguistik, tafsir dan takwil disinggung di dalam Al-Qur’an, sehingga ia bersifat Ilahi. Akan tetapi, karena yang merumuskan langkah-langkah teoritis kedua istilah itu adalah manusia, akhirnya muncul bentuk tafsir dan takwil yang berbeda-beda, maka keduanya bisa disebut bersifat Ilahi-basyari sekaligus.
Di tangan para mufasir dan teolog, kedua istilah itu disebut bersifat Ilahi saja sehingga kedua teori itu menjadi sakral. Bahkan, karena pertarungan metodologis yang menteologis, keduanya mengalami nasib berbeda. Yang bersifat Ilahi dan sakral hanyalah tafsir, sedangkan takwil yang sebenarnya lebih populer di dalam Al-Qur’an dinilainya tidak bersifat Ilahi dan profan. Bahkan para pengguna takwil dituduh melenceng dari agama.
Penting dicatat, bahwa kata takwil terungkap sebanyak 17 kali, sedangkan kata tafsir tidak lebih dari satu kali. Karena itu, popularitas takwil dalam bahasa Arab pada masa turunnya Al-Qur’an 10 kali lipat lebih besar dari pada penggunaan tafsir.
Di sisi lain, setelah melalui pertarungan dan seleksi sejarah, tafsir mendapat dukungan besar dan dominan dalam sejarah pemikiran Islam. Sebaliknya, takwil menjadi tersingkir dan orang-orang yang menggunakan takwil dipandang sebagai orang yang di dalam hatinya terdapat kesesatan yang bertujuan hanya untuk membuat fitnah dalam Islam.
Rupanya, seiring dengan pergeseran paradigma nalar keislaman, dari paradigma Islam teosentris ke paradigma Islam antroposentris, begitu juga sejatinya tafsir mengalami pergeseran, dari tafsir yang digunakan paradigma Islam teosentris, yakni tafsir (pembacaan) Ilahiah, baik yang digunakan oleh penganut nalar taklifi-wujudi maupun yang digunakan oleh penganut nalar taklifi-mi’yari, ke tafsir yang digunakan paradigma Islam antroposentris.
Model tafsir terhadap agama (Al-Qur’an) yang digunakan oleh paradigma tafsir antroposentris sejatinya adalah yang lahir dari manusia, sehingga hasil tafsirannya bersifat manusiawi, seperti hermeneutika. Penggunaan tafsir seperti ini, meminjam istilah Syibistari, disebut tafsir (pembacaan) manusiawi terhadap agama (qira’ah basyariyyah lid dhin).
Memang, penggunaan pembacaan manusiawi semacam hermeneutika ke dalam studi agama, khususnya Islam, melahirkan perdebatan. Jika takwil yang mendapat dukungan Al-Qur’an saja bisa tersingkir oleh teologisasi tafsir yang menjadi metode penganut paradigma Islam teosentris, apalagi hermeneutika sebagai salah satu bagian dari ilmu pengetahuan yang lahir dari manusia dan menjadi model nalar tafsir penganut paradigma Islam antroposentris.
Lalu Apa itu Tafsir atau Pembacaan Manusiawi?
Kita tahu bahwa, istilah pembacaan manusiawi diperkenalkan oleh Syibistari dengan karyanya yang berjudul, Qira’ah Basyariyyah li Ad-Dhin. Syibistari memulai argumentasinya dari prinsip bahwa memahami agama bisa melalui dua jalur: dari Tuhan menuju manusia, dan dari manusia menuju Tuhan.
Yang pertama bermakna bahwa Allah Swt menghendaki manusia agar beragama, sembari menjelaskan rambu-rambu ajaran agama, hukum-hukumnya, dan tujuannya dalam beragama. Yang kedua bermakna bahwa manusia sendiri yang mengharuskan dirinya untuk beragama dengan tujuan untuk membangun jati dirinya menjadi manusia yang lebih baik dan bergerak menuju Allah Swt. Gerak dan langkahnya menuju Allah Swt menjadi tujuan asasi dari agama karena agama berhubungan dengan kepentingan manusia, bukan dengan kepentingan Allah Swt.
Manusialah yang membutuhkan agama, bukan Allah Swt. Beragama adalah hak asasi manusia, dan Allah Swt memberi hak itu kepada manusia dengan menurunkan agama-agama kepada nabi yang berbeda-beda. Karena itu, agama tidak boleh bertentangan dengan dimensi-dimensi yang dimiliki manusia, seperti dimensi berfilsafat, ilmu pengetahuan, nilai-nilai akhlak dan hak asasi manusia.
Mungkinkah manusia memahami agama jika agama itu mengabaikan atau bertentangan dengan hak asasi dan dimensi dimensi manusia itu? Jadi, yang dimaksud pembacaan manusiawi terhadap agama adalah pemahaman manusia terhadap agama sesuai dengan tuntutan dimensi-dimensi manusia dan kemanusiaannya, baik ilmu pengetahuan yang dimilikinya maupun hak asasi manusianya.
Sementara itu, jika melihat pemikiran Soroush tentang adanya hubungan positif antara agama dengan ilmu-ilmu pengetahuan manusia yang merupakan bagian dari dimensi yang dimiliki manusia, bisa dikatakan bahwa agama boleh dibaca dengan menggunakan ilmu-ilmu pengetahuan manusia, baik ilmu pengetahuan keagamaan, seperti tafsir, takwil, ilmu pengetahuan kealaman, maupun ilmu pengetahuan filsafat, terutama para intelektual yang mengkaji agama itu muncul.
Sejalan dengan itu, sebuah pernyataan Soroush, bahwa ia membaca agama dengan menggunakan perspektif manusia, historis, dan membumi, bukan perspektif metafisika, ahistoris, dan melangit bisa disebut sebagai pembacaan manusia terhadap agama atau Al-Qur’an sebagai sumber asasi agama.
Karena itu, Soroush menyebutkan bahwa hasil pembacaannya terhadap agama dengan istilah humanisasi dan historisasi agama, karena ia merupakan hasil pengalaman nabi dalam bertemu Yang Sakral. Sedangkan pengetahuan keagamaan ia sebut humanisasi dan historisasi pengetahuan keagamaan, karena ia merupakan hasil pembacaan atau tafsir manusia terhadap agama.
Dari sini sudah jelas bahwa, ketiga teori penafsiran teks (tafsir, takwil, dan hermeneutika) sejatinya disatupadukan, bukan malah dipertentangkan. Perpaduan ketiganya akan dapat mengungkap sebagian pesan Al-Qur’an yang selama ini belum terpikirkan, baik oleh tafsir maupun takwil.
Kendati tidak mampu menemukan pesan hakiki yang memang hanya milik Tuhan dan Nabi Muhammad Saw, paling tidak perpaduan ketiganya bisa menemukan pesan komprehensif yang masih dalam lingkup medan semantik Al-Qur’an. Pesan yang ditemukan tafsir bersifat semi objektif, pesan yang ditemukan takwil bersifat mistis, dan pesan yang ditemukan hermeneutika bersifat praksis.
Pesan semi objektif sebagai pengikat terhadap pesan hakiki dari Al-Qur’an, pesan mistis sebagai pengikat agar manusia tidak terlalu jauh dari pemilik pesan, dan pesan praksis sebagai pelaksana pesan di bumi yang kian berubah tanpa kendali ini. Pesan semi-objektif dan pesan mistis sudah banyak beredar di kalangan umat Islam, melalui tafsir dan tasawuf.
Tetapi, pesan praksis masih dalam proses penggalian dan perumusan bentuk. Di sinilah nilai pentingnya penggunaan pembacaan manusiawi semacam hermeneutika dalam menggali pesan Tuhan dalam Al-Qur’an. Tentu saja disertai seleksi kritis terhadap hermeneutika yang hendak digunakan. Wallahu a’lam bisshawaab.
*) Salman Akif Faylasuf. Alumni PP Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo. Sekarang Nyantri di PP Nurul Jadid Paiton Probolinggo.