BERTEMU AL-GHAZALI DI BASEMENT SEBUAH TOKO BUKU DI HARVARD SQUARE (BAGIAN 2)

Kuliah pertama hari itu, sesungguhnya kuliah paling pertama saya di IAIN Jakarta, adalah kuliah Sejarah Filsafat Islam. Dosennya adalah tokoh pemikir Islam terkemuka, yang amat berpengaruh di IAIN Jakarta. Saya pun amat menghormatinya. Kuliah 1,5 jam itu berjalan lancar dan mengasyikkan bagi saya pada awalnya. Dan saya menyimaknya dengan khusyuk. Sejam kira-kira berlalu, sampai si profesor membuka sesi tanya jawab. Beberapa mahasiswa pun bertanya, termasuk saya.

Saya, dengan sopan tentu saja, mempersoalkan pembabakan sejarah Islam yang beliau sampaikan, yang di dalamnya beliau menganggap bahwa sejarah filsafat Islam berakhir pada Ibn Rusyd. Saya katakan, bukankah dalam penelitian yang lebih belakangan, pemahaman sejarah filsafat Islam ini sudah ditinggalkan? Bahkan, bukan saja filsafat Islam tak berakhir pada Ibn Rusyd, ia—filsafat Islam yang sesungguhnya lebih pantas disebut sebagai filsafat Islam—justru baru mulai setelah Ibn Rusyd: mencakup, antara lain, Fakhr al-Din al-Razi, Nashir al-Din al-Thusi, Shadruddin al-Qunawi, Suhrawardi, Quthbuddin Syirazi, Mulla Sadra dan lain-lain? Tapi, betul-betul di luar dugaan saya, si profesor menanggapi pertanyaan saya dengan marah. Saya sudah lupa argumentasi apa yang beliau sampaikan, tapi nada marah itu tak beliau sembunyikan. Saya pun terdiam—seluruh isi kelas terdiam—dan tak menjawab lagi.

Sebuah kejadian yang membuat saya berpikir dua kali. Apakah ini tempat belajar yang tepat buat saya. Saya, sejak di ITB, adalah seorang mahasiswa yang biasa bersikap kritis terhadap dosen, meski saya sama sekali tak pernah bersikap tak sopan kepada mereka. Mana mungkin saya akan bersikap tak sopan sedang mereka adalah guru-guru saya? Saya, misalnya, pernah berdebat dengan Prof. Abdul Halim alm., seorang dosen hebat yang saya kagumi dan hormati, di hari pertama perkuliahan di Jurusan Teknik Industri ITB. Beliau pun tak segan memberinilai A kepada saya. Lalu, saya juga pernah mengritik DR. Kuntoro Mangkusubroto, lagi-lagi seorang dosen hebat yang menjadi favorit saya. Alm Dr. Wimar Witoelar, yang saya pernah menjadi asisten beliau dalam beberapa pelajaran yang diampunya, juga pernah saya kritik juga. Dan mereka tak pernah marah karenanya. Saya bahkan, sebagai Ketua Angkatan Mahasiswa Jurusan Teknik Industri ITB, pernah memobilisasi mahasiswa untuk meminta Departemen Teknik Industri meninjau kembali penempatan seorang dosen yang kami pandang tak mendukung mahasiswa (hingga akhirnya dosen itu pun diganti). Tapi kali ini, dalam pelajaran Sejarah Filsafat Islam ini, saya bahkan tak merasa sedang mengkritik.

Baca Juga:  Orang-Orang Yang Dicintai Allah, Siapakah Dia? (1)

Tapi, tentu saja saya tak segegabah itu untuk memutuskan berhenti berkuliah di IAIN Jakarta di hari pertama perkuliahan saya itu. Saya pun terus menyemangati diri saya untuk hadir di perkuliahan, dan bertemu si profesor, sedikitnya empat kali dalam seminggu (kalau waktu itu saya berhenti, pasti tak akan seperti inilah jalan hidup saya). Dan tentu saja saya sudah siap untuk menerima sikap ketidaksenangannya kepada saya. Apa boleh buat. Tapi, yang terjadi justru sebaliknya. Ya, sebaliknya. Bahkan, sedini pertemuan kedua saya dengan beliau, sikap si profesor berbalik 180 derajat kepada saya. Sangat menyenangkan, bahkan seperti menjadikan saya mahasiswa favoritnya. Saya sampai sekarang tak tahu alasannya. Mungkin barangkali setelah memarahi saya itu si profeaor menyesal. Karena sesungguhnya memang tak ada alasan yang terlalu kuat bagi beliau untuk memarahi saya dengan pertanyaan saya itu. Apalagi itu saya sampaikan dalam diskusi di perkuliahan S-2. Yang pasti, saya menjadi tahu bahwa si profesor memang adalah seorang yang sangat baik hati, meski tegas dan berwibawa. Selain merupakan seorang sarjana yang ahli di bidang pemikiran Islam, beliau sesungguhnya adalah seorang pendidik yang baik, yang punya passion, bahkan kecintaan kepada anak didiknya.

Alhasil, sejak saat itu beliau seperti memberikan perhatian khusus kepada saya. Beliau tak pernah marah dan selalu menerima saya dengan ramah, meski hampir selalu saya menyerahkan makalah di menit-menit terakhir. Dan, selalu saja, jika terjadi perdebatan antara saya dan mahasiswa lain terkait makalah yang saya sampaikan di kelas, beliau menjadi pendukung saya. Dan, sudah menjadi kesepakatan para mahasiswa, bahwa dukungan beliau  sama saja dengan approval bahwa apa yang saya sampaikan itu benar. Padahal, terhadap mahasiswa lain, beliau kadang mendukung, kadang tidak. Saya pun tak pernah tak mendapat nilai A dalam semua mata kuliah beliau yang saya ikuti. Maka saya menjadi makin hormat kepada beliau, dan melihatnya dengan kecintaan seorang anak-murid kepada gurunya.

Baca Juga:  Peran Para Tokoh Thariqah ‘Alawiyah dalam Bidang Sosial-Filantropik dan Perdamaian

Empat semester saya kuliah di IAIN Jakarta, hingga akhirnya—cerita lebih rinci tentang hal ini menyusul—saya mendapatkan beasiswa Fulbright untuk kuliah di Universitas Amerika. Sayangnya, saya harus meninggalkan IAIN Jakarta sebelum seluruh program saya di sini tuntas. Saya sudah menyelesaikan semua tugas perkuliahan. Bersama para pengajar istimewa, termasuk Prof. Quraish Shihab—yang kepada beliau saya belajar tafsir dan hadis—Prof. Deliar Noer, Prof. Sutan Takdir Alisyahbana, Prof. Parsudi (Supardi) Suparlan (yang belakangan menjadi salah seorang penguji-gigih saya dalam wawancara beasiswa Fulbright saya), dan banyak dosen-dosen hebat lainnya. Tapi saya belum sempat menyelesaikan tesis master saya di IAIN Jakarta. Dan, belakangan, ketika sudah menyelesaikan studi saya di Harvard University, saya kembali menemui si profesor untuk menyampaikan keinginan saya menyelesaikan tesis master saya di IAIN Jakarta. Si profesor menerima saya dengan segala keramahan dan dukungan, tapi berkata: “Untuk apa mau menyelesaikan master di sini. Anda kan sudah menjadi master lulusan Harvard, langsung saja ambil saja di sini”. Saya pun amat berterimakasih kepada beliau, meski akhirnya memilih melanjutkan kuliah S-3 di UI. Justru karena si profesor yang saya hormati dan cintai itu belakangan sudah pensiun menjadi pimpinan di sana. Dan atmosfer akademik di Pascasarjana IAIN pada waktu itu sempat agak berubah menjadi tak senyaman sebelumnya. Takdir pun berkuasa, tak terlalu lama setelah itu, si profesor hebat dan baik hati itu meninggalkan kita semua. Indonesia dan dunia intelektual Islam amat kehilangan beliau. Saya pun tak terkecuali. Sedih juga rasanya saya tak sempat banyak bersilaturahmi dengan beliau setelah itu. Semoga Allah senantiasa merahmati beliau. Allaahumma’rhamhu rahmatal abraar.

Tentu sampai di sini pembaca ingin tahu, siapakah profesor yang saya maksudkan. Beliau, tak lain dan tak bukan, adalah…. (bersambung)

Baca Juga:  Musik Sufi Perspektif Ulama Fikih dan Ulama Tasawuf
0 Shares:
You May Also Like