Islam dan Kehendak Bebas Manusia (3): Signifikansi Historis Konsep Kemahakuasaan Tuhan dan Kebebasan Manusia

Al-Qur’an muncul merespons sebuah situasi tragis kemanusiaan dan keagamaan yang dialami masyarakatnya saat itu, Arab Jahiliah. Hal ini berarti bahwa pandangan-pandangan yang ia sodorkan mempunyai signifikansi historis yang khas dan partikular. Hal ini kemudian membawa konsekuensi logis bahwa narasi-narasi Al-Qur’an baru akan bisa dimengerti secara utuh sebagai sebuah pandangan-dunia tatkala signifikansi historisnya ikut dilibatkan.

Ketika itu, masyarakat Arab Jahiliah berada dalam situasi yang membahayakan kemanusiaan mereka sendiri. Mereka meyakini bahwa individu-individu itu tidak bernilai secara intrinsik, yang sepanjang hidupnya hanya berada dalam permainan takdir dan nasib yang tidak bisa ditolak.

Keyakinan fatalisme ini bergandengan dan bersimbiosis dengan fanatisisme nasab dan suku. Secara sosiologis dan politik, keyakinan-keyakinan ini dijaga dan dibudayakan, disebabkan oleh fungsinya yang sangat efektif dalam melindungi status quo keluarga-keluarga terhormat dan suku-suku penguasa di tengah-tengah masyarakat dikuasainya.

Kaum bangsawan yang mengandalkan nasab dan keturunan merasa amat terbantu oleh keyakinan tentang takdir yang tidak bisa diubah. Toh mereka berada dalam takdir yang enak, sehingga mereka ingin terus melestarikan keyakinan palsu seperti itu.

Para penyair yang pada dasarnya adalah orang-orang elit yang pintar pun, tidak luput untuk ikut melestarikan keyakinan akan takdir yang tidak bisa diubah ini. Alasannya adalah karena ada simbiosis mutualisme antara penguasa dan penyair-penyair tersebut.

Sebelum muncul dari lisan Muhammad sesuatu—yaitu Al-Quran—yang lebih indah dari syair-syair para penyair Jahiliah, tidak ada satu pun penyair Jahiliah yang menyuarakan soal kebebasan individu dalam berkehendak; yang artinya menentang kepercayaan utama saat itu soal fatalisme. Lagi pula, untuk apa menyuarakan sesuatu—sekalipun itu benar—apabila penguasa tidak akan senang jika mendengarnya, dan apabila tidak ada uang di baliknya.

Baca Juga:  Ibnu Rusyd: Syariat dan Takwil

Dengan hitungan beberapa dekade saja sejak tersingkirnya budaya Jahiliah itu setelah datangnya pandangan-dunia Quranik yang rasional dan berkeadilan, kelak spirit fatalisme takdir dan fanatisisme nasab ini hidup kembali—secara amat kuat—dalam wadah yang berbeda. Dulu wadahnya adalah Arab Jahiliah, di kemudian hari wadahnya menjadi Arab Islam, dan dunia Islam secara keseluruhan. Dulu manusia dianggap tidak berdaya di hadapan takdir, di kemudian hari mereka tetap dianggap tidak berdaya, tapi kali ini di hadapan takdir Tuhan. Dulu fanatisisme itu ada pada nasab, di kemudian hari masih tetap pada nasab, dan ditambah juga dengan fanatisisme mazhab.

Kerajaan Umayyah merasa amat terbantu oleh keyakinan akan takdir mutlak Tuhan ini. Toh mereka berada dalam takdir yang enak—yaitu takdir menjadi penguasa dunia Islam yang amat luas itu. Beberapa—tapi banyak—ulama, mutakallimun, dan fuqaha yang pada dasarnya adalah orang-orang elit yang pintar itu pun, akhirnya tidak luput untuk turut melestarikan keyakinan akan takdir mutlak Tuhan dan kelemahan manusia di hadapannya. Alasannya adalah, sama saja seperti dahulu, adanya simbiosis mutualisme antara penguasa dengan kelas elit ulama.

Kembali ke periode awal kemunculan Islam, ketika keyakinan Jahiliah semakin membudaya,  status quo kelas penguasa dan kekayaannya yang ekstrem semakin menguat, serta posisi kaum marginal yang semakin melemah, Al-Qur’an datang ke hadapan masyarakat Arab menawarkan sebuah visi yang amat berbeda mengenai hakikat umat manusia.

Al-Qur’an menyuarakan kebebasan manusia dari belenggu keyakinan dan kebudayaan yang kontraproduktif terhadap kemanusiaan; seperti keyakinan pada fatalisme, fanatisisme, dan kelemahan manusia di hadapan takdir. Bukan lagi suku, setelah kedatangan Islam, individulah yang harus dihormati—dan yang pertama harus dihormati dari individu adalah kebebasannya. Bukan lagi nasab, melainkan takwa yang harus dijadikan standar kemuliaan.

Baca Juga:  9 Ujaran Cinta Haidar Bagir

Bukan lagi takdir, melainkan Tuhan yang harus manusia takuti. Akan tetapi, kepercayaan kepada kekuasaan Tuhan ini tidak sama dengan kepercayaan pada kelemahan manusia di hadapan takdir.

Muhammad Saw. memperkenalkan Tuhan Yang Maha Adil, yang akan menolong mereka yang berbuat kebaikan, dan akan menghukum mereka yang berbuat kejahatan. Sehingga, dalam pandangan-dunia Quranik, manusia tidaklah lemah, melainkan memiliki kekuatan yang cukup untuk mengubah keadaan yang memang harus diubah. []

0 Shares:
You May Also Like
Read More

Ayo Bertasawuf

Oleh: Darmawan Ketua Program Nuralwala: Pusat Kajian Akhlak dan Tasawuf Apa itu tasawuf? Apakah tasawuf merupakan bagian dari…