Pembicaraan yang saya angkat mengenai rasionalisme sejauh ini masih cukup konsisten pada definisi rasionalisme yang saya gunakan, yaitu: Pandangan hidup yang meyakini kemampuan akal manusia untuk memisahkan kebenaran dari kesalahan. Rasionalisme percaya bahwa secara inheren kita mampu mengetahui bahwa pembunuhan itu buruk dan monopoli kekayaan juga sama buruknya. Dalam batas-batas pengertian ini, Islam awal adalah sebentuk rasionalisme, yang secara frontal menantang irasionalitas sistem sosial dan moral masyarakat Arab jahiliah.
Meskipun dapat dikatakan demikian, Islam tak pernah meletakkan akal lebih tinggi daripada Tuhan dan firman-Nya. Islam memiliki nilai-nilai religius yang prinsipil, yang secara absolut menjadi asas fundamental kehidupannya. Di antaranya: eksistensi Tuhan Yang Esa, eksistensi kehidupan akhirat, dan kebenaran risalah para nabi.
Akal dalam Islam tidak mungkin dipakai untuk mengeliminasi keyakinan pada eksistensi Tuhan atau mengeliminasi keyakinan pada kebenaran wahyu yang Tuhan berikan kepada Muhammad dan nabi-nabi lainnya.
Oleh karena itu, rasionalisme Islam adalah rasionalisme religius. Karena alasan serupa—seperti saya kemukakan di muka—harus diakui bahwa kadar rasionalisme Islam tak sebesar kadar rasionalisme humanis sekuler yang dengan tegas berani untuk mempertanyakan eksistensi Tuhan, apalagi hanya sekadar eksistensi wahyu.
Karakter religius dalam rasionalisme Islam ini tampak semakin nyata apabila kita melanjutkan penelitian ini pada dokumentasi ayat-ayat penggunaan rasio dalam Al-Qur’an yang selalu dihimpit oleh perintah merenungkan kebesaran Tuhan. Bagi Al-Qur’an, orang-orang berakal tak hanya akan berhenti mabuk-mabukan dan berhenti membunuh orang, melainkan juga hanya orang-orang berakal-lah yang mampu menyadari tanda-tanda keberadaan dan kebesaran Tuhan di alam semesta (Al-Jahiz, 1997). Tamat…