Telaah Sosiologis Rasionalisme di Awal Islam (3): Rasionalisme yang Islam Tawarkan

Cadasnya geografi padang pasir mendorong orang-orang Arab jahiliah untuk menggantungkan hidupnya kepada pertolongan saudara sesuku. Akan tetapi, selain alasan geografis, ada pula alasan teologis mengapa mereka tak mampu (atau, lebih tepatnya tak mau) untuk berdiri mandiri menghadapi kerasnya kehidupan (Akyol, 2011).

Tidak ada satu Tuhan yang benar-benar bisa dipercaya untuk membantu kehidupan individu-individu yang terhimpit. Masing-masing suku (bahkan masing-masing keluarga) punya tuhan sendiri-sendiri. Tuhan milik kepala suku, tentu saja lebih superior daripada tuhannya orang-orang biasa. Tak ada tuhan yang benar-benar tuhan; yang akan mengadili semua orang; yang bisa diharapkan keadilan dan bantuannya (Haykal, 2005).

Tidak adanya satu Tuhan yang akan mengadili semua orang secara sama rata berarti tidak ada pula arena pengadilan yang maha adil. Dalam agama yang Muhammad bawa, akhirat adalah tempatnya keadilan akan benar-benar ditegakkan. Akan tetapi, saat itu, suku-suku Arab jahiliah tak sampai mampu untuk mempercayai adanya kehidupan akhirat—hal yang membuat orang-orang kuat tidak takut dan tidak segan melakukan apa pun sesukanya (Armstrong, 1994; Akyol, 2011).

Gagasan dasar keyakinan pada akhirat adalah pengadilan yang paling adil. Gagasan ini muncul karena manusia pada dasarnya tak pernah menemukan keadilan sempurna di dunia. Karena orang-orang Arab jahiliah tak punya kepercayaan akan akhirat, maka bagi mereka, satu-satunya keabadian adalah keabadian temporal di dunia ini. Etika kebahagiaan Arab jahiliah adalah: Nikmati dunia ini, sebelum Anda mati dan tak bisa menikmati apa-apa lagi (Armstrong, 2013).

Kondisi, suasana, dan sistem-sistem sosial dan moral yang irasional seperti itulah yang ditantang oleh Islam. Rasionalisme yang Islam tawarkan adalah ajakan untuk berpikir menggunakan akal sebaik mungkin untuk memisahkan kebenaran dari kesalahan, yang berimplikasi pada tindakan meninggalkan tradisi irasional–seperti yang dengan panjang lebar dijelaskan di atas—menuju sistem sosial dan moral yang lebih masuk akal (Cole, 2018).

Baca Juga:  Manfaat Kesedihan

Pertama-tama, Al-Qur’an mendefinisikan manusia sebagai wakil (khalifah) Tuhan di muka bumi. Konsekuensi logis dari definisi tersebut adalah munculnya keyakinan bahwa posisi setiap individu manusia di alam semesta ini adalah lebih tinggi dari makhluk mana pun—dan, yang lebih penting: Tak ada individu yang bisa mengaku lebih mulia dari individu yang lain (Akyol, 2011).

Implikasi logis berikutnya adalah: Karena manusia (per individu) adalah wakil Tuhan, maka pertanggungjawaban atas setiap tindakan kita adalah kepada Tuhan. Jika Abu Sufyan meludahi seorang budak Ethiopia, maka meski Abu Sufyan adalah bangsawan terhormat, ia tetap berdosa, dan akan dibalas oleh Tuhan. Sebaliknya, si budak yang tabah dan sabar, akan memperoleh rahmat Tuhan (Haykal, 2005).

Selanjutnya, gagasan tentang Tuhan Yang Maha Adil tersebut mengantarkan masyarakat Arab untuk memahami satu lagi prinsip moral yang utama, bahwa Tuhan ingin mereka mengerjakan kebaikan dan menghindari keburukan.

Prinsip ini hanya bisa berjalan dengan pengakuan yang tegas terhadap kemampuan akal setiap orang untuk menentukan mana yang baik dan mana yang buruk. Tak heran, mengapa berkali-kali terdokumentasikan dalam Al-Qur’an ajakan Muhammad kepada umat manusia untuk menggunakan rasio alias akal pikirannya (Madjid, 1992; Nasution, 2011).

Ayat-ayat yang berisi seruan untuk berpikir adalah alamat bagi rasionalisme Islam awal, sebab dengan ayat-ayat tersebut Al-Qur’an menunjukkan pendiriannya bahwa orang-orang yang berakal tak mungkin berperilaku layaknya binatang yang terus-menerus melestarikan kesetiaan pada suku dan nasab, memonopoli kekayaan, mempertahankan perbudakan, melakukan pembunuhan, dan tradisi irasional lainnya.

Demikian itulah secara sekilas kami tunjukkan satu demi satu revolusi moral yang muncul dari gerakan keagamaan yang rasional yang Muhammad ciptakan. Ia disebut revolusi karena perubahan yang ia bawa sangatlah cepat—hanya dalam hitungan puluhan tahun—dan dengan dampak begitu mendalam (Lewis, 2013).

Baca Juga:  Tentang Makar Allah

Begitu pula, gerakan ini disebut rasional karena cita-citanya yang lebih masuk akal untuk meninggikan martabat dan hak-hak asasi manusia. Tuhan yang Muhammad perkenalkan adalah Tuhan yang menjamin tegaknya keadilan atas hak-hak setiap orang. Bersambung…

0 Shares:
You May Also Like