ZIARAH (Bagian 1)

Kata “ziarah” berasal dari bahasa Arab. Artinya, mengunjungi atau bertandang. Maknanya umum, bisa bertandang ke rumah orang, mengunjungi tempat lain, atau melakukan ibadah keagamaan yang melibatkan kegiatan bepergian mengunjungi tempat peribadatan tertentu. Bisa di luar kota, atau bahkan di luar negeri. Contohnya ziarah haji. Tapi, dalam tulisan bersambung saya ini, meski tetap mengandung semua makna umum di atas, kata ziarah saya maksudkan untuk secara khusus menunjuk kegiatan mendatangi makam atau kuburan. Ya, ziarah kubur.

Meski besar dalam tradisi Thariqah ‘Alawiyah, yang mengutamakan penghormatan kepada leluhur—termasuk dengan melakukan ziarah ke kuburan mereka—saya tak sejak awal memiliki tradisi berziarah kubur ini. Tampaknya penyebabnya adalah cara pandang keagamaan ayah saya yang modernis dan rasionalis. Saya tak ingat ayah saya pernah mengajak saya berziarah kubur, atau kalau menganjurkan saya melakukannya. Sebelum meninggal pun, jangankan mewasiatkan agar kami mengunjungi kuburannya, ayah saya justru menginginkan untuk dikuburkan di mana pun beliau wafat. Tak usah payah membawa pulang ke kota tempatnya tinggal, apalagi sampai harus memilih lokasi makam tertentu. Sehingga, meski sebagian besar keluarganya tinggal di Jakarta, beliau dimakamkan di pemakaman Cikutra di Bandung, karena beliau wafat di kota ini. Wasiat beliau yang lain adalah agar makam beliau dibuat sesederhana mungkin. (Tapi, tentu saja kami sekeluarga tetap rutin berziarah ke makam beliau. Untuk mendoakan beliau, sambil terus menyampaikan rasa terima kasih atas jasa-jasa beliau membesarkan dan memelihara kami dengan sebaik-baiknya).

Selain itu, tak ada kebiasaan lain berziarah kubur. Kecuali tentu kepada Rasulullah saw, kepada sahabat dan keluarganya, yang dimakamkan di Makkah dan Madinah. Yakni pada kesempatan saya beberapa kali melakukan ibadah haji atau umrah. Itu saja.

Baca Juga:  Menuju Manusia Rohani

Sampai akhirnya saya tertarik lebih jauh kepada tasawuf. Seperti sudah banyak diketahui, salah satu gagasan penting tasawuf adalah tentang kewalian. Khususnya dalam aliran Akbarian. Yakni ajaran tasawuf (atau ‘irfan) Ibn ‘Arabi, Sang Syaikh Akbar. Bukan hanya mengajarkan bahwa para awliya’ adalah orang-orang suci pelanjut missi kenabian, melainkan juga ajaran tentang pentingnya menziarahi kuburan mereka.

Meskipun demikian, saya tak begitu saja lantas tertarik pada kegiatan ziarah kubur. Baru ketika makin jauh—tentu sejauh kemampuan saya—belajar tasawuf/‘irfan, minat saya terhadap kegiatan ziarah kubur makin berkembang. Sampai, suatu saat, saya mendapati bahwa filsafat Islam—suatu aliran rasionalistik dalam pemikiran Islam—ternyata juga mengembangkan hujjah tersendiri untuk mendukung pandangan tentang manfaat ziarah kubur. Setidaknya, sebagian filsuf di dalamnya. Termasuk Ibn Sina, Fakhruddin al-Razi, dan Mulla Sadra (pandangan mereka tentang ziarah kubur ada saya tuliskan sebagai suatu bab khusus dalam buku saya, Makrifat Sakit dan Kematian). Ringkasnya, mereka berargumentasi bahwa jasad orang yang sudah wafat, sesungguhnya masih menyimpan ruh kehidupan. Artinya, menziarahi mereka setelah wafatnya, memiliki kesamaan dengan mendatangi mereka ketika mereka masih hidup. Dan, dalam hal mendatangi makam awliya’, kita seperti mendatangi awliya’ saat mereka hidup. Sedangkan, di sisi lain, dipercayai bahwa para awliya’ merupakan wasilah (perantara) antara manusia dengan Allah Swt. Seperti dikabarkan dalam sebuah hadis Qudsi, permintaan para awliya’ pasti dikabulkan oleh Allah. Maka, berdoa atau meminta kepada Allah—bukan kepada para wali itu, tentu saja—akan mempunyai peluang lebih besar jika didukung perantaraan mereka.

Yang tak kalah penting, bahkan mungkin lebih penting, adalah bahwa berziarah kubur para wali juga dipercayai membuka kemungkinan terjadinya transmisi kebijaksanaan mereka kepada kita, jika saja kita membuka diri (baca: membersihkan hati) untuk menerima pancaran itu. (Bersambung)

Baca Juga:  Agama dan Sains di Tengah Wabah
0 Shares:
You May Also Like