Mengulik Nasionalisme dalam Islam (2)

Keistimewaan term ummah dibanding dengan term sejenisnya dalam pandangan Syariati adalah, bahwa konsep ummah mengharuskan adanya imamah, di mana imamah adalah ungkapan tentang pemberian petunjuk kepada ummah ke tujuan tersebut. Pemahaman ini selaras dengan ungkapan Syahrur yang berpendapat bahwa kata ummah berasal dari kata ammada yang dalam kamus Lisan al-Arab memiliki arti al-imam (pemimpin atau pemuka), yaitu orang-orang yang menganjurkan kebaikan dan diikuti perilaku serta petuahnya oleh manusia.

Komposisi ummah lebih dipahami sebagai komunitas Islam yang didasarkan pada kesamaan tauhid. Konsep Islam tentang komunitas ummah didasarkan pada persaudaraan dalam agama Islam. Islam memperkenalkan mukminin sebagai anggota satu komunitas (ummah) yang sama, yang dipersatukan oleh ikatan persaudaran dan kasih sayang yang diciptakan oleh satu tindakan dan tunduk kepada satu Tuhan. Ada yang berpendapat bahwa kata ummah di dalam Al-Qur’an kaitannya dengan manusia mengandung beberapa pengertian:

Pertama, setiap generasi manusia diutus seorang nabi atau rasul adalah umat yang satu, seperti ummat Nuh, ummat Ibrahim, ummat Musa, ummat Isa, dan ummat Muhammad. Dan di antara ummat setiap rasul ini ada yang beriman dan ada pula yang inkar. Jadi, manusia terbagi kepada beberapa umat berdasarkan nabi atau rasul yang diutus kepada mereka.

Kedua, suatu jamaah atau golongan manusia menganut suatu agama adalah umat satu, seperti umat Kristen dan umat Islam.

Ketiga, suatu jamaah manusia dari berbagai golongan sosial yang diikat oleh ikatan sosial yang membuat mereka bersatu adalah umat yang satu.

Keempat, seluruh golongan atau bangsa manusia adalah umat yang satu, sesuai dengan pasal 25 Piagam Madinah yang berbunyi: “Sesungguhnya Yahudi Bani Awf satu umat bersama orang-orang mukmin, bagi kaum Yahudi agama mereka dan bagi orang muslim agama mereka, termasuk sekutu-sekutu dan diri mereka, kecuali orang-orang yang berlaku zalim dan berbuat dosa atau berkhianat. Karena sesungguhnya orang yang demikian hanya akan mencelakai diri dan keluarga.”

Dalam pasal tersebut ummah yang dibentuk itu tidak hanya mencakup orang-orang mukmin saja, tetapi juga mencakup siapa saja yang mengikuti mereka dan bergabung dengan mereka. Artinya, setiap penduduk Madinah adalah satu ummah. Jadi, pemakaian kata ummah dalam pasal ini mengandung arti beberapa jamaah. Jamaah Arab dan jamaah Yahudi atau setiap penduduk Madinah adalah ummah yang satu bersama jamaah mukmin.

Baca Juga:  Perang Melawan Hawa Nafsu itu Sepanjang Hayat

Kedudukan dan hubungan mereka sebagai ummah yang satu adalah dalam kehidupan sosial dan politik. Sebab, faktor perekat sosial yang mempersatukan mereka menjadi ummah yang satu bukanlah faktor agama, melainkan faktor unsur kemanusiaan. Muhammad Abduh, ketika membahas konsep ummah, mengakui bahwa agama merupakan salah satu faktor perekat sosial, tetapi bukan satu-satunya.

Syu’b

Syu’b, syu’bah, dan insyi’ab, adalah istilah yang mempunyai arti bahwa bangsa manusia di planet bumi ini terbagi dalam berbagai cabang (syu’bah). Setiap cabang merupakan satu bangsa tersendiri. Artinya mereka memisahkan diri dalam berbagai kelompok, dan kelompok itu merupakan cabang dari kumpulan manusia. Selaras dengan definisi di atas, Shahrur mengemukakan bahwa kata syuub dalam bahasa Arab berasal dari kata syauba, dan termasuk dalam kategori fiil adhdadm yang bermakna perkumpulan kelompok (tajammu) atau sempalan (firqah).

Dalam masyarakat Arab kuno, konsep bangsa dan kebangsaan tidaklah dikenal, sebab tidak ada satu negarapun di Arabia ketika itu. Masyarakat Arab hampir seluruhnya terdiri dari orang-orang badui yang terbagi dalam suku-suku yang indipenden dan bagian-bagian. Menurut tradisi Arab suku induk dikenal sebagai suya’b.

Apabila sy’b itu menjadi sangat besar, maka ia dibagi ke dalam unit yang lebih kecil yang dikenal sebagai suku-suku. Suku-suku ini kemudian dibagi lagi ke dalam empat tingkatan menurun, dan setiap tingkatan diberi nama sendiri. Ada yang menerjemahkan syab dengan nation. Karena itu, untuk membantu memahami kata sya’b kita menggunakan dua pendekatan:

Pertama, pendekatan sejarah, berdasarkan dua riwayat, ayat Al-Qur’an yang menjelaskan tentang sya’b turun berkenaan dengan persepsi masyarakat Arab tentang kemuliaan status sosial berupa diskriminasi antara budak dan non budak dalam kasus Bilal, dan berkenaan dengan tradisi masyarakat berupa, keengganan untuk mengadakan perkawinan suku pada kasus wanita Bani Baydah.

Baca Juga:  Apakah Nasionalisme itu Bid’ah?!

Kedua, dengan pendekatan sistematis, ayat terrsebut memiliki kandungan pokok berikut: pertama, seruan Allah kepada manusia secara universal bahwa Allah menciptakan manusia dari seorang laki-laki dan seorang pertempuan. Kedua, konsekuensi logis dari penciptaan, yakni perkembangan dan penyebaran manusia menjadi syuub dan qabail. Ketiga, sesuai dengan makna dasar kata sya’b sebagaimana dikemukakan, manusia berkumpul pada satu rumpun keturunan tertentu dan tersebar keberbagai kelompok sosial dan mereka diharapkan saling mengenal. Keempat, kemuliaan manusia ditentukan oleh tingkat ketaqwaan.

Jelas sudah bahwa, kedua pendekatan di atas, sya’b dapat diartikan sebagai kelompok sosial yang besar yang memiliki tradisi atau, berinteraksi satu dengan yang lain untuk saling mengenal, dan menggunakan bahasa tertentu yang membedakan dari kelompok sosial lainnya. Dalam kajian sosiologis syab dapat disamakan dengan kelompok sosial khusunya yang diikat oleh kebudayaan yang sama.

Qawm

Qawm yang akar katanya terdiri dari qaf, wau, dan mim memiliki dua makna dasar, yaitu kelompok manusia dan berdiri tegak atau tekad. Kata qawm seakar dengan kata qama-yaqumu-qiyaman yang berarti berdiri. Kata itu bisa juga berarti memelihara sesuatu agar tetap ada, misalnya qiyam al-shalat. Secara leksikal, qawm adalah kelompok manusia yang dihimpun oleh suatu hubungan atau ikatan yang mereka tegakkan di tempat qawm tersebut berada. Berdasarkan hubungan makna dasar yang pertama dan kedua di atas, term qawm berkonotasi sebagai kelompok manusia yang mengurusi suatu urusan tertentu.

Adapun faktor terbentuknya qawm menurut Shahrur adalah bahasa, sebab baginya munculnya qawm itu bersamaan dengan bahasa sebagai media komunikasi antara pembicaraan dan pendengar. Selaras dengan pengertian qawm di atas, Ali Syariati mengartikan bahwa qawm merupakan tipe masyarakat yang kehidupannya dibangun atas dasar penyelenggaraan fungsi-fungsi secara bersama-sama antara individu-individu, artinya individu-individu yang menjadi anggota qawm itu adalah sekelompok orang yang menghuni suatu wilayah tertentu dan secara bersama-sama melaksanakan tugas-tugas mereka.

Baca Juga:  Sakit sebagai Karunia

Ali Syariati mengindentikkan arti qawn dengan ummah dalam hal sama-sama mengandung makna dinamis. Namun, kata qawm yang di dalamnya terkandung makna qiyam (yang tentu saja merupakan gerakan) menunjukan gerak yang terdapat pada suatu kerja sama yang dibutuhkan oleh kehidupan bersama pula.

Menurutnya, istilah kandungan arti bergerak dalam qawm lebih berkonotasi statis, sebab orang-orang yang tergabung dalam qawm itu memang bergerak, tapi tidak pernah beranjak dari tempatnya sendiri. Qiyam adalah perubahan bentuk wujud dan bukan perubahan kualitas sesuatu atau tempat dimana ia berada. Berdasarkan penjelasan di atas, dalam Islam ada konsep nasionalisme sebagaimana yang dipahami oleh konstruksi pengertian ala barat.

Namun, nilai-nilai nasionalisme yang ada dalam Islam terfragmentasi dalam istilah ummah, syub, dan qawm. Islam hanya mengenal ummah karena ummah terdiri dari orang-orang yang bersatu di bawah sistem nilai tauhid, meskipun secara faktual mereka mempresentasikan banyak perbedaan ras, suku,warna kulit, dan bahasa.

Dalam dimensi sejarah, nasionalisme menurut pemahaman Kiai selalu dikaitkan dengan lahimya Piagam Madinah (Mitsaqal-Madinah), yang oleh para ahli politik Islam, seperti Montgomery Watt (1988) dan Bernard Lewis (1994) dianggap sebagai cikal-bakal terbentuknya negara nasional (nation state) dan menempatkan Nabi Muhammad Saw. tidak hanya sebagai pemimpin agama tetapi juga pemimpin negara.

Pembentukan Piagam Madinah yang dilakukan Nabi Muhammad Saw. waktu itu, tidak hanya dihuni oleh umat Islam,api juga dihuni umat dari agama lain, seperti Yahudi, Nasrani, dan umat yang masih menyembah berhala. Dalam pembentukan Piagam Madinah, ada semangat untuk menyelamatkan Madinah sebagai tempat umat Islam dan pemeluk agama lainnya yang hidup secara koeksistensi.

Oleh karena itu, realitas sosial dalam Piagam Madinah adalah pengakuan adanya pluralitas dalam kehidupan berbangsa dan bermasyarakat, bukan sebagai perjanjian agama, melainkan merupakan kontrak sosial kebangsaan, yang menyangkut aspek hubungan antar umat manusia tanpa melihat agama, suku, dan kabilah. Perjanjian Piagam Madinah tidaklah sama dengan status agama. Ia hanya sebagai instrumen bukan tujuan, yang penting esensinya tersebut menjiwai semangat kebersamaan yang dianjurkan Islam.

0 Shares:
You May Also Like
Read More

Manfaat Kesedihan

Hari ini saya menerima, dari beberapa teman, komentar seseorang yang rupanya, membaca tulisan-tulisan saya dan mengikuti wawancara-wawancara dengan…