Apakah Nasionalisme itu Bid’ah?!

Dalam kesempatan hari kemerdekaan seperti kali ini, penting untuk kita bahas masalah yang sering dilontarkan secara berulang dalam diskusi mengenai hubungan Islam dan negara/bangsa: Apakah Islam membenarkan nasionalisme dan gagasan negara-bangsa, ataukah menentangnya? Apakah gagasan negara-bangsa itu bid’ah dan, sebagai gantinya, kita harus mengembangkan gagasan internasionalisme—semacam khilafah universal—yang melampaui itu semua?

Al-Qur’an memang menyebut misi nubuwah (kenabian) sebagai menebarkan rahmat bagi seluruh alam. Benar, memang itulah tujuan akhir risalah Islam. Tapi, bukankah Allah juga mengajarkan: “Jauhkan dirimu dan keluargamu dari neraka”? (QS. At-Tahrim [66]: 6). Mengapa yang disebut hanya diri dan keluarga, bukan semesta alam?

Pada dasarnya, gagasan nasionalisme  dan negara-bangsa bisa dilihat sebagai sarana pendekatan untuk mencapai tujuan itu, yakni Islam sebagai rahmat bagi semesta. Sebab, “alam yang terahmati” itu adalah tujuan akhir, sedangkan mulai dari diri dan keluarga itu adalah sarana untuk mencapainya. Tentu, tak realistis mengurus alam yang begitu besar dan beragam ini tanpa penahapan. Dalam manajemen, ada perencanaan jangka pendek dan jangka panjang, segmentasi dan positioning, pengembangan model, pilot project, dsb. Inilah antara lain pendapat Muhammad Iqbal.

Menurut Ibn Khaldun, manajemen masyarakat & pembentukan peradaban membutuhkan semacam “nasionalisme” yang disebutnya ‘ashabiyah. ‘Ashabiyah yang dimaksud adalah kohesi sosial yang terbentuk dalam kabilah-kabilah atau klan-klan—Al-Qur’ an menyebutnya syu’ub dan qaba’il. Menurutnya, inilah jaminan survival masyarakat manusia. Gagasan ‘ashabiyah ini kiranya adalah sumber gagasan nasionalisme. Hanya dengan ‘ashabiyah kelompok-kelompok masyarakat bisa menjadi kuat dan menjamin non-agresi—dengan kata lain, konflik dan perpecahan.

Gagasan negara-bangsa adalah semacam bentuk ‘ashabiyah ini, yang dapat melahirkan kohesi sosial-primordial: mewujudkan kesalingpahaman (ta’aruf, di antara suku-suku bangsa dan kabilah-kabilah itu; baca QS. Al-Hujurat [49]: 13), dan kerjasama serta sinergi yang produktif, mencegah kecenderungan agresi, dan mendukung manajemen pengembangan kemajuan masyarakat.

Baca Juga:  Semua Hukuman Allah itu Bersumber dari Ihsan-Nya. Semua Hukuman Fikih itu (Harusnya Juga): Ihsan! (1)

Di dalam Al-Qur’an pun, Allah mengajarkan kepada kita bahwa Nabi Ibrahim mendoakan negerinya secara khusus, “Ya Tuhanku, jadikan negeri ini aman sentosa…” (QS. Al-Baqarah [2]: 126). Ini adalah  nash/teks Qur’ani yang mengajarkan teladan tentang kecintaan kepada negeri.

Nabi Muhammad Saw. pun pernah bersabda mengenai negeri kelahirannya, “Sungguh kau, wahai Makkah, adalah negeri yang paling kucintai. Andai pendudukmu tak mengusirku, aku takkan  meninggalkanmu.” Sampai-sampai dalam Al-Qur’an direkam doa beliau Saw. untuk negeri Makkah (atau Jazirah Arab) yang dicintainya itu.

Lalu, lupakah kita akan kerinduan Nabi kepada Makkah, yang sampai-sampai disebut Allah Swt. sebagai latar bagi pemindahan kiblat dari Masjidil Aqsha di Yerusalem ke kota kelahiran Nabi itu? (QS al-Baqarah [2]: 144).

Yang harus dihindari adalah chauvinisme atau jingoisme yang didorong ego kelompok hingga mengabaikan atau malah melanggar kelompok hak kelompok lain.

Mukadimah Konstitusi kita dengan bijak menyebut Persatuan Indonesia—yang merupakan istilah/konsep malah lebih pas ketimbang nasionalisme—dan,  dalam satu napas, menyatakan: “ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial …” Inilah yang dalam Pancasila diungkapkan dalam sila Kemanusiaan yang adil dan beradab, mendahului sila Persatuan Indonesia.

Di sini gagasan negara-bangsa dan nasionalisme bertemu kemanusiaan universal (rahmatan lil ‘alamin). Inilah nasionalisme yang benar. Prinsip ini, pada gilirannya, mengambil bentuk partisipasi dalam organisasi-organisasi internasional dan ketaatan pada aturan-aturan kerjasama antarnegara secara adil dan bermartabat.

Persoalan lainnya yang muncul adalah, haruskah sebuah negara terdiri dari satu agama saja, dan diatur oleh hukum agama itu saja?

Piagam Madinah susunan Nabi Saw. memperlihatkan sebaliknya. Ia adalah konstitusi yang mengatur koeksistensi dan kerjasama damai penduduk Madinah dari berbagai suku dan agama dalam ikatan aturan universal yang disepakati bersama.

Baca Juga:  Hijrah (16) : Manusia, Kesalahan, dan Pertobatan

Maka, mari syukuri anugrah NKRI yang pluralistik, serta memiliki Pancasila dan Konstitusi yang saksama dan dihuni oleh penduduk yang berbudaya. Mari berjihad mempertahankan NKRI dari siapa saja yang akan merusak keharmonisan dan keberagaman masyarakat dan budayanya, dalam sinaran agama—yang oleh Nabi Saw. sendiri dinyatakan—sebagai seharusnya bersifat lapang dan jembar (hanifiah samhah). WalLah al-Musta’an.

Previous Article

Makna Merdeka

Next Article

Ibnu Rusyd: Syariat dan Takwil

Subscribe to our Newsletter

Subscribe to our email newsletter to get the latest posts delivered right to your email.
Pure inspiration, zero spam ✨